Gabriele menganjurkan istilah mental contrasting, yaitu menggabungkan positive thinking (membayangkan hasil yang diharapkan telah tercapai) dengan memikirkan hambatan-hambatan apa saja yang akan dihadapi.Â
Artikel lain mengungkapkan bahwa justru berpikir positif dapat menyebabkan beberapa orang mengalami depresi saat gagal. Sebabnya, secara "implisit" mereka menyalahkan diri sendiri karena tidak berbahagia.
Pemulihan Mental sebagai Gagasan
Masih ingat buku The Secret, Rhonda Byrne yang lakunya nggak ketulungan? Rhonda mengklaim ia baru mengetahui tentang ilmu yang selama ini terpendam, bahkan sengaja dipendam. Sebuah ilmu yang dipraktikkan oleh tokoh-tokoh dunia hingga mencapai suatu kesuksesan. Rhonda memungut gagasan dari masa lalu.
Lalu, mirip walaupun tidak sama persis, Henry Manampiring juga memungut gagasan untuk bukunya dari filosofi masa lalu yang kurang dikenal di Indonesia. Orang Indonesia kalau disodori topik filsafat, apalagi dari Yunani-Romawi kuno, bawaannya pasti sudah nggak enak. Tapi, yang dibawa oleh Henry atau Piring ini berbeda sehingga tanpa diduga direspons ratusan ribu pembaca di Indonesia.
Ia menyampaikannya dengan gaya story telling dan copy writing. Sejak awal ia juga mengatakan ini bukan filsafat yang berat, siapa pun dapat menerapkannya.Â
Baiklah, Stoisisme adalah salah satu gagasan yang berkaitan dengan pemulihan mental di tengah "perang" yang kita hadapi: perang di media sosial; perang di kompleks perumahan; perang di perkantoran dan karier; perang dagang; perang di keluarga; perang antargeng. Semua itu  sesuatu yang tidak dapat kita hindari, kecuali angkat kaki segera lebih awal ke IKN. He-he-he.Â
Lalu, perang-perang lainnya yang tentu tidak dapat dibanding dengan perang sesungguhnya bertaruh nyawa, seperti di Ukraina dan Gaza, Palestina. Namun, perang-perang di dalam kehidupan itu sudah cukup meluluhlantakkan mental.
Sebelum membaca buku Filosofi Teras, saya berkesempatan membaca naskah buku bertajuk Perspektif yang ditulis oleh Mbak Naftalia Kusumawardhani, seorang psikolog klinis. Buku ini berbasis pengisahan tentang orang-orang yang "berperang" dengan persepsinya. Sebuah kehormatan ketika Mbak Naftalia memberi kesempatan kepada saya untuk mengantarkan buku ini dengan beberapa paragraf.
Topik tentang kesehatan mental seperti yang sebelumnya juga diangkat oleh Marcella dalam buku fiksi bertajuk Nanti Kita Cerita tentang Hari ini memang lagi happening sejak beberapa tahun ke belakang. Gen Y (milenial) dan Gen Z mengalami situasi yang sangat berbeda pasca tahun 2000. Situasi yang boleh dibilang lebih sulit atau dianggap lebih toxic bagi mereka sehingga sedikit-sedikit memengaruhi kesehatan mental.
Kaum muda itu sebagian besar tampaknya tidak memiliki akar yang kukuh dalam pengasuhan dan pendidikan di keluarga dan sekitarnya sehingga begitu rapuh. Mereka tidak memiliki perpaduan antara hasrat, kegigihan, dan ketabahan---dibahas oleh Angela Duckworth dalam bukunya GRIT: Kekuatan Passion & Kegigihan. Mereka juga belum memiliki kecerdasan kegetiran (adversity quotient) seperti yang pernah diulas di dalam buku oleh Paul G. Stoltz.
Orang-orang semakin banyak menghadapi masalah kesehatan mental yang menyebabkan "sakit jiwa ringan" dan akhirnya "sakit jiwa akut". Karena itu, gagasan ini telah menjadi tren dalam beberapa tahun terakhir untuk diusung ke dalam tulisan, baik berupa artikel/esai maupun buku.Â