Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menerbitkan Buku Sendiri "Bukan Budaya Kita"

19 Juli 2022   06:48 Diperbarui: 19 September 2022   14:57 1213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi naskah buku| Dok Freepik via Kompas.com

Tradisi menerbitkan buku sendiri (self publishing) tumbuh karena penolakan penerbit sebagai institusi media. Dan Poynter, seorang praktisi perbukuan yang disebut god father untuk ribuan buku yang lahir di Amerika mengatakan "tidak seorang pun yang menghadapi begitu banyak penolakan seperti halnya para penulis". Nama-nama penulis pesohor ini di Amerika dan Eropa telah memulai tradisi menerbitkan buku sendiri pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, seperti Mark Twain, Edgar Alan Poe, dan Virginia Wolf.

Di Indonesia jika melacak sejarah beberapa pendiri penerbit, sejatinya mereka mulai dengan aktivitas penerbitan mandiri (self publishing). Pendiri Penerbit Tiga Serangkai di Solo adalah pasangan suami istri yang berprofesi sebagai guru, Abdullah Marzuki dan Siti Aminah. Mereka melihat celah peluang ketika guru-guru sulit mendapatkan buku pelajaran. 

Dengan riset sederhana, mereka menyusun sebuah model "buku pintar" pada masa itu lalu menerbitkannya. Pasar ternyata menyambut buku tersebut. Keduanya kemudian mendirikan Penerbit Tiga Serangkai. Nama Tiga Serangkai yang didirikan tahun 1958 dipungut dari nama Toko Buku Tiga yang menjadi langganan mereka membeli buku dan punya andil memasarkan buku karya mereka.

Boleh dibilang pasangan suami-istri guru itu telah sukses melakukan penerbitan mandiri sebelum akhirnya menjadi penerbit konvensional dan penerbit mayor. Lebih dulu dari mereka Penerbit Erlangga didirikan oleh juga seorang guru, Marulam Hoetahoeroek. Berbeda dengan Tiga Serangkai, Marulam merintis Penerbit Erlangga langsung melibatkan para penulis kenalannya seperti Widagdo dalam bidang fisika.

Agak lebih maju tahun 1980-an, seorang Iwan Gayo mendirikan Penerbit Upaya Warga Negara dengan terbitan yang sangat laris pada masa itu yakni Buku Pintar. Iwan Gayo merintis penerbitan ini dari kisah pilu ketika ia rugi total menerbitkan buku kumpulan soal. Buku itu baru selesai dicetak pas saat ujian masuk perguruan tinggi dilaksanakan.

Sumber: Bambang Trim
Sumber: Bambang Trim

Sejarah Perbukuan Indonesia

Sedikit perlu mengulik sejarah perbukuan atau institusi media di Indonesia. Industri pers dan industri buku berkembang bersamaan akibat penyempurnaan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (1450) yang memicu terjadinya Zaman Pencerahan di Eropa (abad ke-17 dan abad ke-18). Melalui VOC, Belanda memboyong mesin cetak ke Indonesia dan melakukan aktivitas penerbitan pada abad ke-17.

Akhir abad ke-19, usaha penerbitan juga dirintis oleh peranakan Tionghoa di Indonesia dan kaum bumiputra. Setelah kemerdekaan, penerbit bumiputra mulai unjuk gigi, seperti munculnya Penerbit Erlangga dan Penerbit Tiga Serangkai selain Balai Pustaka---penerbit milik Belanda yang kemudian dinasionalisasi. 

Beberapa penerbit juga didirikan oleh para sastrawan/penulis, seperti Penerbit Dian Rakyat milik Sutan Takdir Alisjahbana dan Penerbit CV Endang milik Achmad Notosoetardjo (Ketua Ikapi pertama tahun 1950).

Dapat disebut bahwa penerbitan di Indonesia didirikan oleh tiga kelompok masyarakat. Pertama, mereka yang memang seorang penulis/sastrawan, jurnalis, dan editor, pernah bekerja di penerbitan sebelumnya. Kedua, mereka yang berprofesi awal sebagai guru dan penulis. Ketiga, mereka yang benar-benar pengusaha dan melihat peluang di industri media. Kelompok terakhir ini secara umum lahir pada masa Orde Baru ketika proyek-proyek perbukuan digiatkan oleh pemerintahan Soeharto.

Karena itu, sejatinya buku telah menjadi budaya Indonesia pada masa kolonial Belanda yang diinisiasi oleh kaum bangsawan (sebab mereka memiliki akses terhadap kemampuan baca-tulis dan bacaan) lalu kaum terpelajar. Saat krisis yang terjadi tahun 1960-an, budaya buku agak tersendat. 

Masyarakat lebih memilih bahan pokok daripada buku. Saat Orde Baru berkuasa, buku digiatkan, tetapi telah hadir pesaing buku bernama televisi. Budaya buku sedikit menjauh meskipun usaha penerbitan buku yang didominasi oleh penerbit buku teks (pelajaran) tetap berdiri.

Memang ada semacam "rantai putus" dari Zaman Pergerakan hingga Zaman Perang Kemerdekaan ketika para pemimpin bangsa adalah "orang-orang buku". Mereka bukan hanya pembaca yang rakus, melainkan juga penulis yang ulung.

Zaman ini juga melahirkan banyak sekali sastrawan dan para penulis yang mumpuni dengan latar belakang bacaan yang mencengangkan. Namun, pada masa Orde Baru para pejabat "senang sekali" menyebut masyarakat kita tidak gemar membaca atau tidak memiliki budaya membaca buku. Faktanya memang terjadi degradasi kebiasaan membaca meskipun pada zaman itu situasi dan kondisi bangsa sudah membaik.

Kongres Perbukuan Nasional I pada tahun 1995 yang diselenggarakan Pusat Perbukuan merekam puluhan permasalahan di dalam industri buku, tidak terkecuali masalah minat dan budaya membaca yang rendah. Sastrawan Taufiq Ismail pernah secara lantang menyatakan telah terjadi tragedi nol buku. Anak-anak sekolah tidak lagi "dipaksa" membaca buku sehingga tidak lagi mengenal karya-karya sastra yang bernilai tinggi.

Pada masa tahun 1980-an hingga awal 2000-an, penerbitan buku masih mengandalkan industri percetakan. Cetak massal harus dilakukan untuk menekan harga jual buku. Angka tiras pertama 3.000 eksemplar menjadi acuan skala ekonomi. Angka ini dianggap menjadi sebuah "kutukan" karena buku-buku yang terbit di Indonesia sulit terjual lebih dari 3.000 eksemplar atau malah kurang dari itu. Biang kerok yang sering ditampilkan adalah rendahnya minat membaca.

Kebijakan pemerintah seperti subsidi kertas, pajak perbukuan, dan lainnya masih mengemuka yang dianggap menjadi penyebab harga buku mahal. Buku tidak terjangkau, tetapi di satu sisi produk lain selain buku justru laku, seperti kaset, CD, DVD, lalu kini pulsa dan kuota internet.

Ekosistem Perbukuan

Ekosistem perbukuan merupakan ekosistem yang unik dan kurang banyak diketahui oleh awam. Masyarakat Indonesia pernah atau sampai sekarang masih ada yang tidak dapat membedakan antara penerbit dan pencetak (percetakan), bahkan terjadi juga di lembaga pemerintah. 

Ekosistem ini melibatkan dua unsur, yaitu unsur eksternal pemasok naskah (penulis, penerjemah, dan penyadur) dan unsur internal penggarap naskah (editor, desainer, ilustrator). Selain itu, ada lagi unsur pencetak (percetakan) dan unsur toko buku.

Iklim perbukuan di Indonesia pada beberapa dekade digambarkan kurang sehat karena rendahnya minat membaca dan minat membeli buku orang-orang Indonesia. Tahun 2000-an digambarkan masyarakat Indonesia lebih senang membeli CD/DVD daripada buku. 

Tahun 2010-an hingga kini digambarkan masyarakat lebih senang membeli pulsa dan kuota daripada buku. Ini masalah yang tidak pernah ada habisnya dibahas sehingga menimbulkan gerakan literasi. Kadar literasi bangsa Indonesia berdasarkan survei CCSU (Center Connecticut State University) di AS berada pada posisi 40 dari 41 negara.

Karena itu, pemerintah mencoba turun tangan mengatasi persoalan perbukuan meskipun berkali-kali kebijakan perbukuan diturunkan. DPR menyampaikan inisiatif menyusun regulasi RUU Perbukuan yang disambut oleh Kemdikbud hingga berbuah UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan UU tersebut juga sudah disahkan yakni PP Nomor 75 Tahun 2019. Lalu, kini sudah dituangkan pula beberapa peraturan Mendikbudristek tentang perbukuan, seperti standar dan kaidah perbukuan serta penilaian buku.

Lembaga yang pernah berdiri, Bekraf, pada masanya juga turut berkontribusi. Di antaranya melahirkan organisasi penulis Satupena dan menginisiasi beberapa pertemuan perbukuan. 

Salah Kaprah Penerbit Mandiri

Tahun 2000 saya memutuskan keluar bekerja dari sebuah penerbit mayor. Saya mendirikan penerbit dengan nama CV Bunaya Kreasi Multidimensi. Ini tidak saya sebut sebagai penerbit mandiri karena saya mendirikannya bekerja sama dengan dua orang teman. Kantornya di rumah saya dan buku pertama terbit ialah Menggagas Buku: Langkah Efektif dan Sistemik Menuliskan Ide Anda ke Dalam Buku. Buku ini dicetak 3.000 eksemplar, laku terjual pada masa itu.

Namun, meskipun laku, manajemen pemasarannya kurang baik. Saya pernah juga dikadali oleh seorang pegiat literasi dan mahasiswa sebuah kampus. Mereka memesan buku itu sebanyak 200 eksemplar untuk acara pameran di kampus. Buku lenyap, uang pun tidak datang karena modal percaya sama orang. Ini mungkin salah satu duka dalam merintis usaha penerbitan buku.

Saat ini saya belum kapok untuk menulis dan menerbitkan buku. Lewat bendera Penulis Pro Indonesia, saya menerbitkan buku elektronik sendiri. Saya menulis sendiri dan mendesainnya sendiri lalu menjualnya sendiri lewat Google Play Book. Ada beberapa orang yang sudah membeli buku bertajuk Seluk-Beluk Monografi.

Jadi, dalam satu sampai dua dekade yang lalu, iklim perbukuan tidak seperti saat ini. Saat ini kita mengenal yang namanya buku elektronik dengan menggunakan platform PDF, ePub, dan lainnya. 

Kita juga mengenal teknologi cetak manasuka (print on demand) sehingga mencetak buku perdana tidak harus 3.000 eksemplar, dapat dibuat cetak tiras rendah, 100 eksemplar misalnya. Pendeknya, teknologi telah menawarkan aktivitas penerbitan buku menjadi lebih murah dan lebih cepat.

Ini yang membuat gejala penerbitan mandiri (self-publishing) semestinya menemukan momentum. Namun, terjadi salah kaprah soal penerbit mandiri ini. Salah kaprah definisi juga terjadi seperti yang termuat di dalam buku panduan yang disusun oleh Bekraf. Buku panduan itu menyatakan bahwa telah terjadi pergeseran makna penerbit mandiri dari sebelumnya penerbit yang didirikan oleh penulis menjadi sebuah usaha jasa.

Entah siapa yang menjadi narasumber Bekraf pada masa itu sehingga muncul kerancuan antara self publisher dan vanity publisher, termasuk juga publishing service. Tidak pernah terjadi pergeseran makna.

Self publisher atau penerbit mandiri ialah penerbit yang didirikan oleh seorang penulis. Ia menulis sendiri, mengelola editorial/produknya sendiri, dan memasarkan sendiri. 

Konteks editorial dan pemasaran ini juga dapat melibatkan profesional lain. Namun, penerbit mandiri itu benar-benar dimiliki sendiri oleh penulis dengan badan usaha/hukum yang relevan adalah CV atau PT.

Sistem pendaftaran izin usaha yang baru yakni OSS memungkinkan penerbit cukup berbadan usaha perseorangan atau bahkan PT perseorangan. Kebijakan ini sedang digodok di Pusat Perbukuan bekerja sama dengan BKPM untuk memberi kemudahan berusaha, terutama bagi penerbit mandiri.

Kerancuan berpikir ini yang juga merebak di kalangan penulis. Mereka menyebut telah melakukan penerbitan mandiri, tetapi faktanya mereka membayar penerbit berbayar (vanity publisher) untuk melakukannya. Mereka tidak memiliki kontrol terhadap penerbitan bukunya sendiri.

Alhasil, penerbitan mandiri sejatinya bukan budaya kita. Para penulis terkecoh dengan istilah yang tidak pada tempatnya. Sekali lagi, penerbit mandiri itu bermakna seorang penulis menghasilkan naskah secara mandiri, mengembangkan editorial naskah juga secara mandiri (bekerja sama dan mengontrol editor, desainer, dan ilustrator), serta memasarkannya juga sendiri. Model ini pernah coba dilakukan oleh Dewi Dee melalui Penerbit True Dee ketika awal menerbitkan Supernova. 

Sebuah penerbit mandiri sangat mungkin dijalankan satu orang, penulis sendiri, atau dijalankan oleh sekelompok orang yang dikoordinasi oleh penulis. Sekelompok orang tadi dapat merupakan pekerja lepas. Kontrol utama tetap di tangan penulis.

Banyak kasus buku yang sukses diterbitkan oleh penerbit mandiri kemudian diterbitkan oleh penerbit mayor. Contoh kasus adalah novel Supernova dan kawan-kawannya yang akhirnya diterbitkan oleh Bentang. Artinya, hak penerbitan buku tersebut dialihkan. Hal ini juga yang kerap menjadi motivasi para penerbit mandiri bahwa pada akhirnya buku mereka akan diakuisisi oleh penerbit mayor. Penerbitan mandiri dijadikan pemantik.

Jiwa Penerbit Mandiri

Jiwa penerbit mandiri sejati adalah entrepreneurship. Seorang penulis yang ingin menjadi penerbit mandiri haruslah seorang authorpreneur atau writerpreneur. Ia harus siap berbisnis dan juga siap menanggung risiko bisnis. Karena itu, uang yang dimilikinya menjadi modal yang akan diputarkan dalam bisnis yang tidak terlalu populer di Indonesia, bisnis buku!

Satu hal lagi, penulis sebagai penerbit mandiri harus mengenali seluk-beluk organisasi penerbit. Ia perlu memiliki pengetahuan multidimensi, seperti produksi, keuangan, dan pemasaran. Tidak cukup hanya bermodal mampu menulis. 

Ia juga harus memiliki intuisi yang tajam terhadap naskah yang ditulisnya bahwa akan ada pembaca buku yang jumlahnya signifikan. Jadi, harus ada progress yang signifikan kata Pak Jokowi, hehehe.

Itu sebabnya jika penulis masih bermental menitipkan uangnya untuk dikelola oleh orang lain seperti vanity publisher, ia bukanlah penerbit mandiri. Ia sama sekali tidak punya kontrol terhadap bukunya. 

Soal ini sudah menggejala di mana-mana yang juga menumbuhkan bisnis jasa penerbitan berbayar, bahkan didirikan oleh orang yang sama sekali tidak mengerti penerbitan buku. Harga penerbitan berbayar yang murah meriah sering kali menjadi penarik para penulis untuk menitipkan bukunya di sana.

Menerbitkan buku sendiri memang bukan budaya kita. Budaya kita mungkin adalah bagian dari kelirumologi. Salam insaf!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun