Karena itu, pemerintah mencoba turun tangan mengatasi persoalan perbukuan meskipun berkali-kali kebijakan perbukuan diturunkan. DPR menyampaikan inisiatif menyusun regulasi RUU Perbukuan yang disambut oleh Kemdikbud hingga berbuah UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan UU tersebut juga sudah disahkan yakni PP Nomor 75 Tahun 2019. Lalu, kini sudah dituangkan pula beberapa peraturan Mendikbudristek tentang perbukuan, seperti standar dan kaidah perbukuan serta penilaian buku.
Lembaga yang pernah berdiri, Bekraf, pada masanya juga turut berkontribusi. Di antaranya melahirkan organisasi penulis Satupena dan menginisiasi beberapa pertemuan perbukuan.Â
Salah Kaprah Penerbit Mandiri
Tahun 2000 saya memutuskan keluar bekerja dari sebuah penerbit mayor. Saya mendirikan penerbit dengan nama CV Bunaya Kreasi Multidimensi. Ini tidak saya sebut sebagai penerbit mandiri karena saya mendirikannya bekerja sama dengan dua orang teman. Kantornya di rumah saya dan buku pertama terbit ialah Menggagas Buku: Langkah Efektif dan Sistemik Menuliskan Ide Anda ke Dalam Buku. Buku ini dicetak 3.000 eksemplar, laku terjual pada masa itu.
Namun, meskipun laku, manajemen pemasarannya kurang baik. Saya pernah juga dikadali oleh seorang pegiat literasi dan mahasiswa sebuah kampus. Mereka memesan buku itu sebanyak 200 eksemplar untuk acara pameran di kampus. Buku lenyap, uang pun tidak datang karena modal percaya sama orang. Ini mungkin salah satu duka dalam merintis usaha penerbitan buku.
Saat ini saya belum kapok untuk menulis dan menerbitkan buku. Lewat bendera Penulis Pro Indonesia, saya menerbitkan buku elektronik sendiri. Saya menulis sendiri dan mendesainnya sendiri lalu menjualnya sendiri lewat Google Play Book. Ada beberapa orang yang sudah membeli buku bertajuk Seluk-Beluk Monografi.
Jadi, dalam satu sampai dua dekade yang lalu, iklim perbukuan tidak seperti saat ini. Saat ini kita mengenal yang namanya buku elektronik dengan menggunakan platform PDF, ePub, dan lainnya.Â
Kita juga mengenal teknologi cetak manasuka (print on demand) sehingga mencetak buku perdana tidak harus 3.000 eksemplar, dapat dibuat cetak tiras rendah, 100 eksemplar misalnya. Pendeknya, teknologi telah menawarkan aktivitas penerbitan buku menjadi lebih murah dan lebih cepat.
Ini yang membuat gejala penerbitan mandiri (self-publishing) semestinya menemukan momentum. Namun, terjadi salah kaprah soal penerbit mandiri ini. Salah kaprah definisi juga terjadi seperti yang termuat di dalam buku panduan yang disusun oleh Bekraf. Buku panduan itu menyatakan bahwa telah terjadi pergeseran makna penerbit mandiri dari sebelumnya penerbit yang didirikan oleh penulis menjadi sebuah usaha jasa.
Entah siapa yang menjadi narasumber Bekraf pada masa itu sehingga muncul kerancuan antara self publisher dan vanity publisher, termasuk juga publishing service. Tidak pernah terjadi pergeseran makna.
Self publisher atau penerbit mandiri ialah penerbit yang didirikan oleh seorang penulis. Ia menulis sendiri, mengelola editorial/produknya sendiri, dan memasarkan sendiri.Â
Konteks editorial dan pemasaran ini juga dapat melibatkan profesional lain. Namun, penerbit mandiri itu benar-benar dimiliki sendiri oleh penulis dengan badan usaha/hukum yang relevan adalah CV atau PT.