Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menerbitkan Buku Sendiri "Bukan Budaya Kita"

19 Juli 2022   06:48 Diperbarui: 19 September 2022   14:57 1213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi naskah buku| Dok Freepik via Kompas.com

Sistem pendaftaran izin usaha yang baru yakni OSS memungkinkan penerbit cukup berbadan usaha perseorangan atau bahkan PT perseorangan. Kebijakan ini sedang digodok di Pusat Perbukuan bekerja sama dengan BKPM untuk memberi kemudahan berusaha, terutama bagi penerbit mandiri.

Kerancuan berpikir ini yang juga merebak di kalangan penulis. Mereka menyebut telah melakukan penerbitan mandiri, tetapi faktanya mereka membayar penerbit berbayar (vanity publisher) untuk melakukannya. Mereka tidak memiliki kontrol terhadap penerbitan bukunya sendiri.

Alhasil, penerbitan mandiri sejatinya bukan budaya kita. Para penulis terkecoh dengan istilah yang tidak pada tempatnya. Sekali lagi, penerbit mandiri itu bermakna seorang penulis menghasilkan naskah secara mandiri, mengembangkan editorial naskah juga secara mandiri (bekerja sama dan mengontrol editor, desainer, dan ilustrator), serta memasarkannya juga sendiri. Model ini pernah coba dilakukan oleh Dewi Dee melalui Penerbit True Dee ketika awal menerbitkan Supernova. 

Sebuah penerbit mandiri sangat mungkin dijalankan satu orang, penulis sendiri, atau dijalankan oleh sekelompok orang yang dikoordinasi oleh penulis. Sekelompok orang tadi dapat merupakan pekerja lepas. Kontrol utama tetap di tangan penulis.

Banyak kasus buku yang sukses diterbitkan oleh penerbit mandiri kemudian diterbitkan oleh penerbit mayor. Contoh kasus adalah novel Supernova dan kawan-kawannya yang akhirnya diterbitkan oleh Bentang. Artinya, hak penerbitan buku tersebut dialihkan. Hal ini juga yang kerap menjadi motivasi para penerbit mandiri bahwa pada akhirnya buku mereka akan diakuisisi oleh penerbit mayor. Penerbitan mandiri dijadikan pemantik.

Jiwa Penerbit Mandiri

Jiwa penerbit mandiri sejati adalah entrepreneurship. Seorang penulis yang ingin menjadi penerbit mandiri haruslah seorang authorpreneur atau writerpreneur. Ia harus siap berbisnis dan juga siap menanggung risiko bisnis. Karena itu, uang yang dimilikinya menjadi modal yang akan diputarkan dalam bisnis yang tidak terlalu populer di Indonesia, bisnis buku!

Satu hal lagi, penulis sebagai penerbit mandiri harus mengenali seluk-beluk organisasi penerbit. Ia perlu memiliki pengetahuan multidimensi, seperti produksi, keuangan, dan pemasaran. Tidak cukup hanya bermodal mampu menulis. 

Ia juga harus memiliki intuisi yang tajam terhadap naskah yang ditulisnya bahwa akan ada pembaca buku yang jumlahnya signifikan. Jadi, harus ada progress yang signifikan kata Pak Jokowi, hehehe.

Itu sebabnya jika penulis masih bermental menitipkan uangnya untuk dikelola oleh orang lain seperti vanity publisher, ia bukanlah penerbit mandiri. Ia sama sekali tidak punya kontrol terhadap bukunya. 

Soal ini sudah menggejala di mana-mana yang juga menumbuhkan bisnis jasa penerbitan berbayar, bahkan didirikan oleh orang yang sama sekali tidak mengerti penerbitan buku. Harga penerbitan berbayar yang murah meriah sering kali menjadi penarik para penulis untuk menitipkan bukunya di sana.

Menerbitkan buku sendiri memang bukan budaya kita. Budaya kita mungkin adalah bagian dari kelirumologi. Salam insaf!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun