Beberapa kali dalam kegiatan pelatihan menulis untuk para dosen, saya mendapat pertanyaan tentang persentase plagiat. Maksudnya, berapa persen plagiat alias jiplakan mentah-mentah diizinkan dalam suatu karya tulis?
Sejatinya ini mirip alkohol dalam pandangan Islam bahwa 0,1% pun terlarang. Jadi, tidak ada sepersekian persen plagiat di dalam karya tulis yang dapat ditoleransi. Jika Anda mengutip karya tulis orang lain, sebutkan sumbernya atau tuliskan atribusi pada karya tersebut sebagai karya kutipan.
Pertanyaan yang dilontarkan dosen tersebut karena keliru memaknai similarity (kemiripan) sebagai toleransi plagiarisme. Kemiripan artinya seberapa banyak kutipan menggunakan kutipan langsung. Di dalam dunia akademis untuk memunculkan orisinalitas karya dimaklumkan pengutipan dengan cara tidak langsung atau pengutipan parafrasa.
Perhatikan contoh teks asli berikut ini.
AI bukanlah hal yang baru dan bukan hal yang ajaib. Pengembangan pertama AI dimulai sejak tahun 1950-an. AI mengacu pada kemampuan sistem-sistem komputer atau mesin untuk menunjukkan perilaku cerdas yang memungkinkan mereka untuk bertindak dan belajar sendiri.Â
Dalam bentuk paling dasarnya, AI mengambil data, menerapkan beberapa aturan kalkulasi (atau algoritma) pada data tersebut kemudian mengambil keputusan atau memperkirakan hasil (Marr dan Ward, 2021: 4).
Parafrasa dapat dilakukan seperti ini.
AI telah dikembangkan kali pertama sejak tahun 1950-an. Karena itu, AI bukanlah sesuatu yang mutakhir dan bukan pula sebuah keajaiban. Secara sederhana pola kerja AI adalah mengambil data, menerapkan algoritma pada data tersebut, lalu membuat keputusan dan memperkirakan hasilnya.Â
Jika dibedah lebih jauh, AI berbasis pada keandalan sistem-sistem komputer atau mesin untuk mendemonstrasikan kecerdasannya. Hal tersebut memungkinkan peranti ini mampu bertindak dan belajar secara mandiri (Marr dan Ward, 2021: 4).Â
Masalahnya, keterampilan parafrasa jarang diajarkan sejak SMA atau bahkan di perguruan tinggi. Mahasiswa terbiasa mengutip suatu teks apa adanya. Parafrasa memerlukan keterampilan mengubah struktur tulisan, mencari diksi yang bersinonim, dan tentu mempertahankan makna kutipan. Kutipan yang diparafrasa akan menjadi pelanggaran hak cipta jika makna yang dikandungnya berubah.
Persentase kemiripan yang sering digunakan oleh lembaga seperti kampus adalah 20--30%. Artinya, sebuah lembaga dapat menoleransi jumlah kutipan langsung itu sebanyak 20% atau 30%.Â
Sisanya harus orisinal dengan cara juga memanfaatkan parafrasa. Tentu bagi yang tidak biasa parafrasa hal ini sangat menyulitkan.
Dalam konteks penulisan nonfiksi, mustahil seseorang tidak mengutip sumber lain atau karya yang pernah ditulis oleh orang lain sebelumnya. Kutipan diperlukan untuk menegaskan teori, memperjelas permasalahan, dan sebagainya.Â
Bahkan, karya sendiri yang kita kutip juga harus ditandai dan diberi atribusi. Namun, karya sendiri yang dikutip selayaknya juga dibatasi.
Spektrum Plagiat
Alat pengecek similarity atau kemiripan seperti Turnitin sering dikelirukan menjadi alat pengecek plagiat. Melalui aplikasi Turnitin yang dapat ditelusuri adalah penggunaan sumber-sumber lain di dalam teks. Penggunaan sumber tersebut belum tentu plagiat apabila penulis mencantumkan sumber atau atribusi secara tepat.
Persentase kemiripan, bukan plagiat, diberlakukan agar penulis tidak menulis suatu karya berdasarkan comotan dari karya orang lain. Ada istilah mozaic plagiarism ketika seorang penulis mengutip berbagai sumber di sana-sini lalu menggabungkannya sehingga menjadi kutipan yang tidak kentara---tetapi sekali lagi, plagiator melakukannya tanpa atribusi.
Namun, memang ada juga penulis yang kerjaannya hanya mengumpulkan kutipan dari sumber lain dari awal hingga akhir. Artinya, meskipun ia bukan plagiator, ia tetap melanggar etika akademis karena hanya mengumpulkan karya orang lain di sana sini. Tampak tidak ada usaha dirinya mengeluarkan pemikiran sendiri.
Turnitin membuat spektrum plagiat yang disebut Plagiarism Spectrum 2.0 dengan 12 tipe karya tidak orisinal. Hampir semua ketidakorisinalitasan itu menyebutkan tidak disebutkan sumber atau atribusi pada karya yang dihasilkan, padahal itu merupakan kutipan.Â
Turnitin juga menempatkan self plagiarism (swaplagiat) dalam spektrum plagiat menengah. Swaplagiat adalah memublikasikan ulang tulisan sendiri yang pernah dipublikasikan tanpa atribusi atau keterangan bahwa karya tersebut pernah dipublikasikan.
Orisinalitas Karya
Orisinalitas sering menjadi syarat penilaian atau lomba karya tulis, tetapi kerap syarat orisinalitas itu tidak diikuti cara kerja para penilai atau dewan juri untuk mendeteksi sebuah karya benar-benar orisinal atau tidak. Memang diperlukan penelitian seperti rekam jejak penulis, karya-karya sebelumnya, dan perbandingan dengan karya yang diajukan.
Penggunaan aplikasi seperti Turnitin juga dapat membantu pelacakan kemiripan dan fakta atribusi yang tidak dlakukan oleh penulis sebagai indikasi plagiat.Â
Di tengah kemudahan seseorang mengelabuhi penilai dan deteksi plagiarisme melalui teknologi, para penilai, editor, dan dewan juri juga harus melakukannya secara canggih.
Orisinalitas karya sering diabaikan karena minimnya kreativitas dan keengganan berpikir. Apalagi keengganan untuk membaca secara analitis. Membaca dilakukan semata untuk menjiplak.Â
Kecanggihan Plagiator
Plagiator saat ini makin canggih karena terbantu oleh teknologi. Kalau dibuat pembagian, ada plagiat tradisional dan ada plagiat modern. Plagiat tradisional masih banyak dilakukan saat ini, termasuk dengan cara mentah-mentah menjiplak tulisan orang lain kemudia mengakui sebagai karyanya.
Jika kemudian diketahui dan diperkarakan, beberapa plagiator bersikap "pura-pura bego" dengan alasan khilaf dan kemudian meminta maaf. Umumnya plagiator melakukan jiplakan secara sadar dan terencana.
Memang ada plagiator tidak sengaja karena misalnya, lupa mencantumkan atribusi saking banyaknya materi yang dikutip atau salah mencantumkan atribusi karena ketidaktahuan. Hal ini dapat dimaklumi sebagai buah dari rendahnya keliterasian masyarakat kita, terutama masyarakat yang mengaku sebagai penulis.
Plagiator yang memanfaatkan teknologi atau pihak ketiga (calon penulis) untuk melakukan plagiat juga makin banyak. Aplikasi seperti text spinner dapat digunakan untuk mengelabuhi deteksi plagiarisme. Namun, ibarat pepatah: sepandai-pandainya plagiator menulis, setiap saat ia akan terdeteksi jua.Â
Membohongi diri sendiri dengan mengakui karya orang lain sebagai karya sendiri mungkin masuk spektrum gangguan kejiwaan juga. Namun, dianggap biasa untuk meraih tujuan. Ada yang melakukannya karena tuntutan tugas akademis dan kenaikan pangkat.Â
Ada juga yang melakukannya demi prestise mendapatkan pengakuan sebagai penulis. Lalu, ada juga yang melakukannya benar-benar demi uang.
Meskipun plagiat ini sebuah kejahatan, ada saja pembelaan dari orang-orang terhadap aksi plagiat. Mungkin yang membela memang tidak pernah berposisi sebagai penulis yang karyanya dibajak mentah-mentah atau karyanya digunakan orang lain tanpa atribusi.Â
Mungkin juga tidak paham betul bahwa plagiarisme sama dengan pencurian dengan kekerasan---sudah mencuri lalu melukai hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H