Di tengah kemudahan seseorang mengelabuhi penilai dan deteksi plagiarisme melalui teknologi, para penilai, editor, dan dewan juri juga harus melakukannya secara canggih.
Orisinalitas karya sering diabaikan karena minimnya kreativitas dan keengganan berpikir. Apalagi keengganan untuk membaca secara analitis. Membaca dilakukan semata untuk menjiplak.Â
Kecanggihan Plagiator
Plagiator saat ini makin canggih karena terbantu oleh teknologi. Kalau dibuat pembagian, ada plagiat tradisional dan ada plagiat modern. Plagiat tradisional masih banyak dilakukan saat ini, termasuk dengan cara mentah-mentah menjiplak tulisan orang lain kemudia mengakui sebagai karyanya.
Jika kemudian diketahui dan diperkarakan, beberapa plagiator bersikap "pura-pura bego" dengan alasan khilaf dan kemudian meminta maaf. Umumnya plagiator melakukan jiplakan secara sadar dan terencana.
Memang ada plagiator tidak sengaja karena misalnya, lupa mencantumkan atribusi saking banyaknya materi yang dikutip atau salah mencantumkan atribusi karena ketidaktahuan. Hal ini dapat dimaklumi sebagai buah dari rendahnya keliterasian masyarakat kita, terutama masyarakat yang mengaku sebagai penulis.
Plagiator yang memanfaatkan teknologi atau pihak ketiga (calon penulis) untuk melakukan plagiat juga makin banyak. Aplikasi seperti text spinner dapat digunakan untuk mengelabuhi deteksi plagiarisme. Namun, ibarat pepatah: sepandai-pandainya plagiator menulis, setiap saat ia akan terdeteksi jua.Â
Membohongi diri sendiri dengan mengakui karya orang lain sebagai karya sendiri mungkin masuk spektrum gangguan kejiwaan juga. Namun, dianggap biasa untuk meraih tujuan. Ada yang melakukannya karena tuntutan tugas akademis dan kenaikan pangkat.Â
Ada juga yang melakukannya demi prestise mendapatkan pengakuan sebagai penulis. Lalu, ada juga yang melakukannya benar-benar demi uang.
Meskipun plagiat ini sebuah kejahatan, ada saja pembelaan dari orang-orang terhadap aksi plagiat. Mungkin yang membela memang tidak pernah berposisi sebagai penulis yang karyanya dibajak mentah-mentah atau karyanya digunakan orang lain tanpa atribusi.Â
Mungkin juga tidak paham betul bahwa plagiarisme sama dengan pencurian dengan kekerasan---sudah mencuri lalu melukai hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H