Kini hanya ada satu perguruan tinggi yang membuka program studi penerbitan yakni Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia). Sengaja pada semester gasal ini saya meminta dapat mengajar di semester I alias para mahasiswa yang notabene baru lulus dari SMA/SMK. Saya ingin mengetahui apa latar belakang mereka memilih prodi yang relatif "asing" bagi kebanyakan orang Indonesia.
Pada kenyataannya mahasiswa saya sebagian besar tidak memiliki orientasi yang jelas tentang studi ilmu penerbitan ini. Segelintir dari mereka menyatakan maksudnya menjadi penulis dan ada juga yang menjadi editor.Â
Hal yang mengagetkan saya, sebagian dari mereka berasal dari SMK yang tidak ada hubungannya dengan ilmu penerbitan---ada yang berasal dari SMK Tata Boga dan SMK Akuntansi.Â
Ya, saya berpikiran positif saja bahwa mahasiswa saya yang dari SMK kulineran itu akan mampu menuliskan atau mengedit buku tentang resep makanan atau yang lebih serius tentang gastronomi. Pengetahuannya yang "tidak nyambung" sebenarnya sebuah bekal berharga jika meminjam teori David Epstein soal generalis dalam bukunya Range.Â
Toh saya juga dipikir-pikir tidak nyambung ketika dari SMA jurusan A-1 (Fisika) malah masuk ke Fakultas Sastra, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaran.
Mari Kita Mulai dari Sejarah
Sejarah pembukaan program studi terkait ilmu penerbitan ini bermula dari almamater saya di Universitas Padjadjaran. Atas prakarsa Profesor Jusuf Sjarif Badudu dan beberapa tokoh lainnya didirikanlah Program Studi D-3 Editing di Universitas Padjadjaran pada tahun 1988.Â
Saya belum melacak lebih jauh mengapa program studi itu dinamakan Editing bukan Penyuntingan dalam bahasa Indonesia, padahal pendirinya Jus Badudu.Â
Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1990 muncul Jurusan Penerbitan di Politeknik UI yang merupakan kerja sama antara Pusat Grafika Indonesia (Pusgrafin) dan UI. Jadi, pernah ada dua kampus yang menyelenggarakan program studi ilmu penerbitan. Belakangan Politeknik UI berubah menjadi Politeknik Negeri Jakarta (PNJ). Pusgrafin kemudian menghentikan kerja sama dengan UI.
Tahun 2008 Pusgrafin mengalami revitalisasi sehingga secara kelembagaan berubah menjadi Politeknik Negeri Media Kreatif. Polimedia pada awalnya membuka program studi Ilmu Grafika dan Penerbitan demi turut serta menyiapkan SDM andal untuk industri kreatif di Indonesia.
Ilmu penerbitan sangat terkait dengan industri penerbitan buku. Ia merupakan cabang dari ilmu komunikasi. Walaupun demikian, di Unpad program studi ini dimasukkan ke Fakultas Sastra, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan nama Program Studi Editing. Ilmu kebahasaan memang diajarkan secara lengkap dan praktis mengingat ini adalah pendidikan vokasi.
Jika menyelisik mata kuliah yang diajarkan di Program Studi Editing Unpad pada masa lalu, terlihatlah multidisplin ilmu yang dibenamkan, yaitu ilmu bahasa, ilmu komunikasi (perpustakaan dan jurnalistik), ilmu manajemen, dan ilmu grafika. Saya dapat menyebutkan beberapa mata kuliah yang boleh disebut "unik", yaitu
- Pengantar Penerbitan;
- Pengetahuan Dasar Grafika;
- Komposisi;
- Kemahiran Berbahasa;
- Integrated Practise;
- Pengantar Perpustakaan;
- Praktik Penyuntingan;
- Proses Komunikasi;
- Penjurus;
- Bibliografi;
- Peristilahan;
- Rancang Buku/Perwajahan;
- Distribusi Buku; dan
- Bahasa Surat Kabar.
Total SKS pada masa saya kuliah tahun 1991 itu sebanyak 114 SKS. Tahun 1997 Unpad membuka program ekstensi S-1 Sastra Indonesia untuk menampung lulusan Prodi D-3 Editing melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.Â
Saya melanjutkan kuliah di ekstensi yang tersisa 42 SKS dengan beberapa mata kuliah unik juga, yaitu Praktik Penyuntingan, Wacana, Penerjemahan, Kajian Sastra, Pengelolaan Penerbitan, Dokumentasi dan Kearsipan, Apresiasi Sastra, Filsafat Seni dan Bahasa, dan Jurnalistik.
Buku atau Media Massa
Latar belakang dibukanya program studi penerbitan adalah untuk menyiapkan tenaga terdidik di bidang penerbitan yaitu penulis dan editor atau bahkan seorang desainer.Â
Jika melihat beberapa mata kuliah yang saya sampaikan, secara dominan yang diajarkan perihal penerbitan buku dan sedikit menyajikan perihal penerbitan media massa (jurnalistik).Â
Begitu pula yang terjadi pada mahasiswa Editing Unpad masa itu ketika berpraktik kerja dan bekerja. Mereka terbagi ke penerbit buku dan penerbit media massa. Namun, secara dominan ada di penerbit buku.
Sebagai informasi Prodi Editing Unpad telah ditutup pada tahun 2010. Adapun Prodi Penerbitan di PNJ telah berubah menjadi Prodi Penerbitan (Jurnalistik). Jadi, satu-satunya kampus yang mengajarkan ilmu penerbitan buku di Indonesia hanya tinggal Polimedia. Di Polimedia saat ini saya mengampu mata kuliah Dasar-Dasar Penulisan dan Pengantar Ilmu Penerbitan.
Keadaan ini tentu memprihatinkan jika mengingat sejarah panjang industri penerbitan di Indonesia yang telah ada sejak zaman kolonial Belanda. Lalu, tradisi perbukuan juga telah dimulai sejak awal tahun 1900-an.Â
Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) berdiri tahun 1950 diawali dengan 13 penerbit. Ilmu penerbitan pada saat itu masih dikuasai oleh segelintir orang. Sebut saja seperti Sutan Takdir Alisjahbana yang mengalami penggemblengan langsung dari tokoh penerbitan Belanda kala ia menjadi redaktur di Balai Pustaka. STA juga menjadi salah seorang perintis berdirinya Ikapi. Dari STA ilmu penerbitan juga diturunkan ke H.B. Jassin yang memang direkrut STA.
Sebenarnya antara penerbitan buku dan penerbitan media massa (media berkala) terdapat hubungan yang sangat erat. Hanya penerbitan media massa terbantu oleh perkembangan ilmu jurnalistik di ranah ilmu komunikasi. Adapun ilmu penerbitan buku tidak sepopuler ilmu jurnalistik. Itu mengapa sedikit sekali ahli atau pakar penerbitan buku di Indonesia.
Berdasarkan data Perpusnas RI saat ini ada lebih dari 135 ribu buku terbit di Indonesia---data tahun 2019 disebutkan 95.630 judul buku---berdasarkan jumlah pengajuan ISBN (International Standard Book Number). Namun, buku ber-ISBN tidak mencerminkan mutu buku itu layak untuk dibaca. ISBN diberikan kepada penerbit dan bukunya apabila memenuhi syarat administratif, bukan syarat mutu dari penilaian.
Karena itu, aktivitas penerbitan buku yang bertambah dari tahun ke tahun, termasuk buku elektronik, semestinya juga diimbangi dengan pengembangan ilmu penerbitan secara formal dan nonformal agar melahirkan SDM-SDM andal di bidang perbukuan.Â
Kunci terbitnya buku bermutu dan kemajuan industri perbukuan sangat dipengaruhi oleh pelaku perbukuan, terutama para penulis dan editor.
Sejarah Perkembangan Ilmu Penerbitan
Akhir tahun 1960-an pemerintah Orde Baru mulai menaruh perhatian yang besar terhadap dunia perbukuan. Sebuah proyek kerja sama antara Pemerintah Belanda dan Indonesia tahun 1968 hingga 1977 melahirkan Pusat Grafika Indonesia.Â
Pusgrafin adalah lembaga di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lembaga ini memiliki tugas dan fungsi melatih SDM Indonesia untuk menguasai ilmu grafika dan ilmu penerbitan.
Beberapa buku tentang penerbitan dari Barat diterjemahkan. Di antaranya adalah karya Datus C. Smith Jr. berjudul Penuntun Penerbitan Buku dan karya H.G. Andersen dkk. berjudul Pengelolaan Penerbitan Buku. Pusgrafin kemudian menjadi kiblat bagi pengembangan ilmu penerbitan dan ilmu grafika di Indonesia.
Pada tahun 1972, Presiden Soeharto mencanangkan Tahun Buku Internasional di Indonesia saat peringatan Hari Pendidikan Nasional. Peringatan di Istana Bogor ini melahirkan lembaga bernama Yayasan Buku Utama. Selain itu, Pemerintah juga memaklumkan adanya Proyek Penyediaan Buku Bacaan Sekolah Dasar (PPBBSD) yang dikenal dengan Proyek Inpres. Proyek ini memicu lahirnya banyak penerbit dan penulis buku di Indonesia.
Tahun 1978, pemerintah mendirikan Badan Pertimbangan Pengembangan Buku Nasional (BPPBN) sebagai wadah yang memayungi para penerbit buku di Indonesia. BPPBN merupakan lembaga nonstruktural yang bertanggung jawab kepada Menteri P&K. BPPBN juga mendapat tugas mengkaji perlunya undang-undang perbukuan.
Pemerintah Indonesia membuat gebrakan melalui Menteri P&K era kepemimpinan Daoed Joesoef awal tahun 1980-an. Sebuah proyek besar yang didanai Bank Dunia untuk pengadaan buku dilaksanakan dengan nama Proyek Buku Terpadu (PBT). Proyek ini dikelola dengan manajemen terpadu mulai dari naskah hingga produksi dan distribusi. Artinya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidkan dan Kebudayaan beradaptasi menjadi penerbit buku.
Staf PBT dikirim untuk berlatih ilmu penerbitan bekerja sama dengan British Council dan British Publisher Association. Pusgrafin juga dilibatkan dalam penataran tentang penerbitan buku. PBT ini kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pusat Perbukuan di Kemendikbud tahun 1987.
Dari lintasan sejarah ini bahwa sejak Orde Baru ilmu penerbitan dikembangkan dan disebarluaskan oleh dua lembaga pemerintah yaitu Pusgrafin dan Pusat Perbukuan. Hal ini dapat terlacak dari aktivitas pelatihan/penataran perbukuan, penilaian/sayembara penulisan dan buku, penghargaan perbukuan, hingga pembinaan terhadap pelaku perbukuan (penerbit dan pencetak). Di sisi lain lembaga swasta yang diwakili oleh Ikapi juga menyelenggarakan pelatihan/kursus di bidang perbukuan.Â
Demikian pula penerbit tua Balai Pustaka turut mewarnai perkembangan ilmu penerbitan di Indonesia. Salah satu sumbangsih Balai Pustaka pada tahun 1980-an adalah penerbitan buku berjudul Penyuntingan Naskah karya Judith Butcher (mantan kepala editor Cambridge University Press). Buku ini masih diterbitkan di Barat dengan judul Butcher Copy Editing.
Pengembangan ilmu penerbitan melahirkan tokoh-tokoh pendidik dan pelatihan penerbitan buku yang dapat disebutkan di sini di antaranya Taya Paembonan (mantan Kepala Pusat Perbukuan), Hassan Pambudi (Pusgrafin), Ajip Rosidi (Ikapi), Alfons Taryadi (Gramedia), Dadi Pakar (Ikapi), Sofia Mansoor (Penerbit ITB), Frans M. Parera (Gamedia), Pamusuk Eneste (Gramedia), dan Mula Harahap (Ikapi). Â
Momentum Membumikan Ilmu Penerbitan
Baru saja saya mengikuti rapat pembahasan draf peraturan menteri tentang pembinaan pelaku perbukuan. Sebuah momentum berkembangnya ilmu penerbitan lahir ketika Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan disahkan DPR dan Pemerintah. Lalu, pada akhir 2019 disahkan pula Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Sistem Perbukuan.Â
Perhatian pemerintah terhadap sistem perbukuan nasional ini menyiratkan keseriusan untuk menangani berbagai permasalahan perbukuan dengan dasar peningkatan daya literasi bangsa Indonesia.Â
Berkali-kali saya mengutip pernyataan Ignas Kleden dalam sebuah esai perbukuan bahwa buku adalah perilaku budaya, proses produksi budaya, dan produk budaya. Sebagai bangsa yang berbudaya sudah seyogianya kita menguasai perihal perbukuan, dalam hal ini ilmu penerbitan.
Di dalam pedoman Kualifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2020 telah pula dimuat aktivitas penulis dan pekerja sastra dengan nomor 90024 yang di antaranya mencakup penulisan dan penyuntingan. Hal ini menegaskan profesi penulis dan editor telah diakui dalam industri. Momentum lain adalah dimulainya sertifikasi penulis buku nonfiksi dan editor buku oleh LSP Penulis dan Editor Profesional tahun 2019. Sampai kini telah 6.000 orang disertifikasi.
Regulasi yang kukuh dan pengakuan terhadap profesi perbukuan setidaknya mendorong dikembangkannya ilmu penerbitan atau studi penerbitan di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia untuk menghasilkan SDM kompeten di bidang perbukuan. Hal yang patut menjadi perhatian adalah mengembangkan ilmu penerbitan digital yang diharapkan mampu melahirkan SDM pengembang buku elektronik/digital. Profesi ini telah disebut-sebut di UU Sisbuk, tetapi belum terdefinisi dengan jelas siapa sebenarnya yang disebut sebagai pengembang buku elektronik tersebut dan kompetensi apa saja yang harus dimiliki.
***
Saya pribadi telah berusaha mengembangkan ilmu penerbitan (buku) di Indonesia dengan mewujudkan impian sertifikasi pelaku perbukuan, terlibat dalam penyusunan regulasi perbukuan, dan setia menjadi pendidik di bidang ilmu penerbitan.Â
Antusiasme masyarakat Indonesia untuk mempelajari ilmu penerbitan ternyata sangat tinggi, terutama kalangan akademisi yang berkutat dengan aktivitas memublikasikan dan mendiseminasikan hasil penelitiannya.
University press atau penerbitan universitas yang kini didirikan di kampus-kampus memerlukan pasokan tenaga terdidik di bidang perbukuan dan juga aliran ilmu penerbitan karena praktis saat ini secara dominan pengelola penerbitan kampus tidak memiliki latar belakang kompetensi yang memadai di bidang penerbitan buku. Itu mengapa kebanyakan mutu penerbitan universitas tidak lebih baik daripada penerbit konvensional. Hal ini jelas berbeda dengan apa yang terjadi di Eropa atau Amerika ketika penerbit universitas mampu mengalahkan penerbit konvensional dan disegani.
Di Indonesia juga muncul fenomena tumbuhnya usaha jasa penerbitan, penerbitan berbayar (vanity publisher), dan penerbitan mandiri (self-publishing) yang justru dikelola oleh mereka yang tidak menguasai dan memahami ilmu penerbitan, termasuk dalam tataran praktis. Akibatnya, kita dapat melihat penerbitan buku yang serampangan dan jauh dari standar buku bermutu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H