Salah satu kegiatan produktif yang dapat Anda lakukan saat "berdiam" di rumah adalah menulis. Menulis buku pilihan yang pas untuk waktu yang banyak dan Anda sudah mendambakannya sejak lama---terutama bagi Anda yang belum menulis buku. Paling tidak proses menggagas buku yang disebut proses pratulis dapat Anda lakukan untuk mengisi waktu. Karena itu, saya mengangkat topik ragangan di dalam artikel ini.Â
Kata 'ragangan' sudah jarang digunakan dalam konteks pemelajaran menulis. Ragangan mengandung makna kerangka karangan atau dalam bahasa Inggris disebut outline. Dalam kaitan menulis buku, menyusun ragangan hampir pasti tak dapat dihindarkan.
Saya menyebut dua kebiasaan orang menulis yaitu RDK dan RAK. Apa itu?
RDK adalah ragangan di dalam kepala. Artinya, seseorang dapat menulis dengan mengandalkan kerangka tulisan di dalam benaknya saja. Saya biasa melakukan ini untuk tulisan pendek semacam artikel. Jadi, saya tidak merencanakan ragangan di atas kertas dengan melakukan coretan pada buram atau membuat peta benak (mind map).
Satu lagi RAK adalah ragangan di atas kertas. Saya selalu membuat RAK ketika hendak menulis buku nonfiksi karena harus menggunakan pola. Pola di dalam penulisan buku nonfiksi ada yang disebut pola hierarkis/tahapan, pola prosedural/proses, pola klaster/kelompok, dan pola campuran.
Bagaimana dengan buku fiksi seperti novel? Saya teringat dengan ujaran Tom Clancy, penulis novel bergenre techno-thriller asal Amerika. Ia berujar, "Saya menulis novel sebagaimana Anda membacanya."
Jadi, Clancy menulis seperti air mengalir tanpa ia tahu bagaimana akhir ceritanya. Ia membangun plot secara bersamaan saat menulis. Saya pun ketika menulis novel anak berlaku seperti Clancy. Namun, kerangka awal cerita sudah ada di benak saya.
Tema dan Topik
Kembali ke soal RAK maka seorang penulis akan berurusan dengan yang namanya tema dan topik. Banyak orang yang tidak dapat membedakan tema dan topik.
Tema di dalam KBBI diberi makna seperti ini: pokok pikiran; dasar cerita (yang dipercakapkan, dipakai sebagai dasar mengarang, menggubah sajak, dan sebagainya). Adapun topik diberi makna begini: pokok pembicaraan dalam diskusi, ceramah, karangan, dan sebagainya; bahan diskusi.
Memang terlihat sama ketika tema disebut pokok pikiran, sedangkan topik disebut pokok pembicaraan. Ini betul membingungkan. Namun, saya ingin membedakan bahwa tema adalah gambaran umum pokok pikiran dalam karangan dan topik adalah gambaran khusus pokok pikiran.
Profesor Mortimer Adler pernah mengungkap sebuah penelitian bahwa sepanjang hidupnya manusia telah menghasilkan 1.800 ide. Bersama timnya, Prof. Adler kembali memeras ide itu menjadi hanya 64 ide. Ke-64 ide itu boleh disebut tema yang umumnya terdiri atas satu kata, seperti binatang, kesenian, peradaban, dan emosi.
Hal yang paling mudah untuk membedakan tema dan topik ketika Anda berkunjung ke sebuah toko buku besar. Saat mencari buku tertentu, Anda dibantu oleh penamaan bagian rak. Anda pun menemukan nama rak Religi, Bisnis, Sejarah/Biografi, Bahasa/Sastra, Pertanian, Hobi, Hukum, Pendidikan, dan sebagainya.
Lalu, misalnya Anda ke rak Komunikasi. Anda akan mendapatkan buku-buku bertema komunikasi. Coba ambil satu buku dan lihat kover belakangnya, biasanya di bagian atas ISBN (International Standard Book Number).
Anda mungkin mendapatkan satu tulisan dengan fon kecil seperti ini Komunikasi/Humas Perkantoran. Itu artinya buku bertema komunikasi dan bertopik humas perkantoran. Ada juga yang tertulis seperti ini Komunikasi/Komunikasi Massa.
Demikian pula jika Anda ke perpustakaan, di sana buku-buku dikelompokkan di dalam sebuah sistem klasifikasi. Sewaktu saya belajar di Prodi D-3 Editing Unpad, saya dikenalkan dengan sistem DDC Â yaitu Dewey Decimal Classification yang diciptakan oleh Melvil Dewey.Â
Sistem penomoran ini dapat Anda lihat juga pada KDT (katalog dalam terbitan) di buku. Contohnya: 000 untuk klasifikasi komputer, informasi, dan referensi umum; 100 untuk filsafat dan psikologi; 200 untuk agama; dan seterusnya. Semua itu adalah tema.
Jadi, dapat disimpulkan tema itu luas dan topik itu spesifik. Anda akan lebih mudah menulis berdasarkan topik, bukan tema. Jika Anda mengikuti perlombaan menulis, panitia selalu menyodorkan tema. Di sisi lain, Anda yang menulis harus tetap menemukan topik yang dinaungi oleh tema tersebut.
Tema wujudnya dapat berupa kata atau kelompok kata (frasa), sedangkan topik wujudnya adalah frasa atau klausa (anak kalimat). Agar lebih jelas dalam menulis, seseorang diminta menuliskan kalimat topik. Contohnya: Saya hendak menulis tentang fenomena COVID-19 dari segi perilaku masyarakat menyikapi pembatasan sosial.
Bagaimana? Apakah sudah lebih jelas tentang tema dan topik? Saya berharap demikian. Saya akan masuk ke persoalan RAK.
Ragangan di Atas Kertas
Sebuah ide/gagasan yang akan dieksekusi menjadi naskah buku tentu harus dituliskan. Anda dapat membayangkan sebuah peta pikiran yang di bagian tengah sebuah lingkaran atau kotak ide terdapat sebuah topik.
Pertanyaannya apakah topik identik dengan judul? Dalam beberapa kasus topik mungkin saja identik dengan judul yang dapat merupakan  frasa atau klausa. Topik tidak muncul di dalam sebuah tulisan, tetapi judul akan muncul sebagai kepala tulisan atau karangan. Jadi, Anda tidak usah bingung perbedaan antara topik dan judul.
Sebagai sebuah alur berpikir maka topik akan diturunkan atau bercabang menjadi subtopik, lalu subtopik akan menjadi sub-subtopik. Di dalam buku nonfiksi akan terjadi perubahan penyebutan.
Topik berubah menjadi judul. Subtopik berubah menjadi bagian/bab/unit. Sub-subtopik berubah menjadi sub-subbab. Di dalam buku yang sangat rumit kerangkanya, penulis dapat membagi isi buku terdiri atas bagian dan setiap bagian terdiri atas beberapa bab.
Lantas dari satu topik buku itu dibuat menjadi berapa subtopik atau berapa bab? Di situlah tantangannya buat Anda. Tidak ada patokan khusus sebuah buku nonfiksi dibuat dalam berapa bab, yang pasti bukan hanya satu bab.Â
Berbeda halnya dengan karta tulis ilmiah kesarjanaan, seperti skripsi, tesis, atau disertasi. KTI tersebut sudah ditentukan jumlah babnya dan Anda tidak dapat menambahi atau mengurangi.
Namun, ketika skripsi, tesis, atau disertasi Anda konversi menjadi buku ilmiah populer, tentu saja Anda bebas menentukan jumlah babnya meskipun alur berpikirnya tidak berubah. Alur berpikir di dalam karya kesarjanaan itu jelas menggunakan pola hierarkis/tahapan yaitu dari hal umum ke khusus.
Di atas kertas Anda dapat memetakan topik, subtopik, dan sub-subtopik dengan model pemetaan benak (mind mapping) ala Tony Buzan. Jika Anda tidak suka mencorat-coret di atas kertas, aplikasi di komputer dapat membantu.
Setelah coretan itu selesai, Anda dapat memindahkannya ke dalam tabel yang saya sebut matriks ragangan. Di dalam kolom matriks terdapat BAB-SUBBAB-DESKRIPSI-SUMBER-ESTIMASI HALAMAN. Jadi, dengan matriks ini buah pikiran Anda tentang sebuah buku nonfiksi akan semakin konkret.
Fungsi Matriks Ragangan
Siapa bilang menulis buku (nonfiksi) itu gampang? Ya, tentu gampang bagi yang sudah terbiasa menstrukturkan pikirannya dari topik ke subtopik dan sub-subtopik seperti yang sudah saya jelaskan. Bab-bab yang tercipta dari subtopik itu dapat kita anggap sebagai butiran-butiran pemikiran dan perasaan penulis.
Nah, bagaimana butiran itu disusun? Ini memerlukan sebuah pelatihan dan pembiasaan. Baiklah, saya ambil satu kasus.
Tahun 1977, budayawan Mochtar Lubis menyampaikan orasi kebudayan di TIM. Orasinya bertajuk "Manusia Indonesia". Buah pikiran Mochtar Lubis ini menjadi polemik karena ia memaparkan 6 sifat orang Indonesia. Keenam sifat itu secara berurut adalah 1) munafik; 2) enggan bertanggung jawab; 3) feodalistik; 4) artistik; 5) watak yang lemah.
Orasi tersebut kemudian dikonversi menjadi buku dengan judul yang sama. Pertanyaannya sekarang bagaimana Mochtar Lubis menyusun keenam sifat itu sebagai sesuatu yang berurutan? Apakah Mochtar Lubis menyusun seingatnya saja?
Seorang penulis sekaliber Mochtar Lubis pasti sudah menyusun enam sifat itu sedemikian rupa. Boleh jadi sifat munafik ditaruh di nomor satu karena itulah yang paling dominan ada pada manusia Indonesia.
Intinya seorang penulis seperti Mochtar Lubis tidak sekadar menghasilkan sebuah gagasan tentang manusia Indonesia yang cenderung negatif, tetapi juga menstrukturkan gagasan itu menjadi poin-poin pembahasan.
Anda akan lebih mudah memasukkan poin-poin itu di dalam sebuah matriks manakala akan menuliskannya di dalam bentuk buku. Matriks ibarat "mengunci" gagasan Anda agar tidak ke mana-mana lagi. Di samping itu, matriks membuat Anda dapat menulis dari bab mana pun yang paling Anda inginkan.
Model Pengembangan Gagasan
Alhasil, tantangan seorang penulis buku nonfiksi adalah pada pengembangan ide/gagasan menjadi poin-poin atau butiran yang dapat dipahami pembaca sasarannya. Anda dapat dianggap amatir jika menyusun poin-poin itu secara asal tanpa dapat menjelaskan mengapa satu subtopik menjadi bab awal dan subtopik lain menjadi bab akhir.
Mari kita maju sedikit ke pemikiran Stephen Covey yang paling populer yaitu 7th Habits. Apakah Covey menyusun tujuh kebiasaan manusia paling efektif itu ngasal? Anda pasti bersepakat dengan saya itu disusun dengan suatu perenungan dan pertimbangan, bahkan juga didahului oleh riset.
Lalu, Covey dalam perjalanannya mendapatkan lagi mata baru sehingga buku tujuh kebiasaan itu direvisi kembali dengan tambahan satu kebiasaan menjadi 8th Habits for Highly Effective People.
Dengan demikian, kalau ada seorang penulis seperti Ippho Santosa mendapat gagasan "7 Keajaiban Rezeki", tentu itu gambaran buah pikirannya. Mungkin saja ada yang menyangkal keajaiban rezeki itu bukan 7, tetapi 9. Namun, menyangkal saja tidak cukup karena sebaiknya yang menyangkal juga menulis buku baru.
Coba kita lihat buah pikiran Ippho:
- Bab 1 Sidik Jari Kemenangan (Lingkar Diri)
- Bab 2 Sepasang Bidadari (Lingkar Keluarga)
- Bab 3 Golongan Kanan (Lingkar Diri)
- Bab 4 Simpul Perdagangan (Lingkar Sesama)
- Bab 5 Perisai Langit (Lingkar Diri)
- Bab 6 Pembeda Abadi (Lingkar Diri)
- Bab 7 Pelangi Ikhtiar (Lingkar Diri
Struktur pikiran di dalam buku 7 Keajaiban Rezeki terwujud di dalam tujuh bab. Ada pemikiran yang berada di dalam kurung, yaitu lingkar diri, lingkar keluarga, dan lingkar sesama dengan bab tentang lingkar diri lebih dominan dibahas. Jadi, contoh ini menggambarkan keunikan buah pikiran dan perasaan seorang penulis.
Selain angka 7, Ippho juga ternyata "senang" dengan angka 8. Di dalam bukunya Percepatan Rezeki, Anda akan temukan butiran pemikiran dalam bentuk 8 poin dari Ippho.
Apakah hal itu kebetulan? Tentu tidak karena angka 8 itu dapat digunakan sebagai ciri yang mudah diingat, termasuk bagi penulis sendiri ketika ia berada dalam kegiatan tatap muka seperti bedah buku atau unjuk wicara.
Fenomena pemikiran penulis seperti Covey atau Ippho menunjukkan kepada kita bahwa gagasan dapat dipecah menjadi poin-poin atau butiran yang mengandung makna tertentu. Di perbukuan kita dapat melihat sebuah gagasan diwujudkan dengan judul menggunakan angka, seperti 7, 13, 30, 33, 40, 101, hingga 1.001.
Gagasan berupa poin-poin ini juga banyak dipakai dalam ceramah keagamaan atau ceramah motivasi. Salah satu alasannya tentu saja agar memudahkan pemaparan secara sistematis.Â
Masalahnya, apakah dengan poin berupa angka itu si penggagas sudah menyusunnya secara logis dan sistematis? Nah, ini pula yang membedakan antara penggagas pemula dan penggagas dengan jam terbang tinggi.
Fenomena lain pengembangan gagasan adalah formula. Ibaratnya sang penulis adalah dokter atau tabib, ia menawarkan sebuah formula untuk memecahkan masalah. Contohnya Robet Kiyosaki yang menawarkan formula Cashflow Quadrant (ESBI = employee-self employee-business owner-investor). CQ adalah formula perubahan seseorang dalam karier dari suatu kuadran ke kuadran lainnya.
Para motivator atau pemuka agama banyak yang senang menyodorkan gagasan berupa formula. Jika mereka menemukan sebuah formula, itu menjadi sesuatu yang luar biasa. Ary Ginanjar pernah sangat populer dengan formula ESQ. Kalau Anda membaca buku ESQ, termasuk rumit maka Anda lebih mudah memahami dengan mengikuti pelatihan ESQ.
Prolog dan Epilog
Sejatinya gagasan penting dalam penulisan buku nonfiksi adalah MASALAH. Orang mau membaca apabila buku itu mengungkit masalah pada dirinya dan memberi solusi.
Karena itu, di dalam pengembangan gagasan berbasis masalah, penulis harus sadar menuntaskan masalah dengan solusi yang jitu. Jika tidak, bukunya tidak akan memberi pengaruh yang signifikan.
Sebuah masalah perlu diperkenalkan dulu kepada pembaca dalam bentuk peristiwa, fenomena, atau momentum. Contohnya dengan situasi kondisi pandemi COVID-19 kini, Anda dapat mengembangkan sebuah gagasan tulisan dengan mencomot data dan fakta dari peristiwa, fenomena, dan momentum terkait pandemi.
Pengenalan yang banyak digunakan oleh para penulis Barat, termasuk penulis di Indonesia adalah model pengisahan atau dalam bahasa yang populer sekarang disebut story telling. Para penulis dapat mencomot kisah dari pengalaman pribadinya atau pengalaman orang lain.
Pada buku baru bertajuk Range: Mengapa Menguasai Beragam Bidang Bisa Membuat Kita Unggul di Dunia yang Mengedepankan Kekhususan Bidang karya David Epstein, Bab Pendahuluan dibuka dengan kisah Tiger Woods dan Roger Federer.
Saya yakin Epstein telah meriset dulu dan memilih kisah Tiger dan Roger sebagai pembuka bukunya yang mengupas soal kaum generalis ini.
Penulis kita secara dominan jarang membuka awal penulisan buku dengan berkisah. Malah seringnya langsung menyodorkan teori, definisi, atau konsep. Kalaupun berkisah, biasanya tidak terlalu kreatif mencomot kisah-kisah menarik.
Dulu di kalangan trainer atau motivator ada kecenderungan mencomot kisah Thomas Alva Edison untuk diselipkan di dalam buku. Jadi, seperti tidak ada kisah lain yang juga menarik untuk dikisahkan, padahal waktu terus berjalan dan meninggalkan sejarah orang-orang hebat dari masa ke masa.
Kembali dalam persoalan membuka tulisan pada buku, saya sering menganjurkan para penulis mengadakan bab bernama Prolog dan diakhiri dengan Epilog.
Sering kali penulis pemula sulit mengawal tulisan dan begitu pula, sulit mengakhirinya. Adanya bab Prolog dan Epilog akan membantu dalam memulai dan mengakhiri. Pilihan yang baik saat ini adalah memulai dengan berkisah dan mengakhiri dengan berkisah.
Ada penyebutan yang lebih kaku di dalam buku yaitu PENDAHULUAN dan PENUTUP. Terus terang saya tidak begitu suka dengan penamaan bab yang mirip skripsi ini.
Di dalam buku ada juga bagian halaman yang disebut introduksi (introduction). Bagian ini biasa terdapat di bagian awal buku (preliminaries) yang ditandai dengan nomor halaman Romawi kecil. Introduksi bukan merupakan bagian isi buku sehingga kedudukannya tidak sama dengan Prolog atau Pendahuluan.
Dari Sederhana ke Rumit
Saya pernah menuliskan kutipan ala para filsuf seperti ini: Membaca meluaskan derajat kefasihan; menulis menaikkan derajat kefasihan. Jadi, ada perbedaan antara aktivitas membaca dan menulis.
Khusus untuk menulis dengan membaca uraian saya, Anda akan terlatih menstrukturkan pikiran plus perasaan Anda sehingga ketika Anda berbicara, otomatis (autolancar kata anak muda sekarang) lebih sistematis dan lugas.
Anda dapat mulai menulis buku nonfiksi kategori "ringan dan lucu" seperti tip atau kiat melakukan sesuatu sampai kemudian bertahap menuju "yang sedang-sedang saja" hingga "yang rumit".
Proses akan membantu Anda untuk menstrukturkan gagasan, baik yang sederhana maupun yang rumit. Sederhana dan rumit bergantung pada tujuan Anda menulis dan siapa pembaca sasaran Anda.
Buku-buku "cepat saji" atau buku instan itu memang untuk mereka yang tidak mau berpikir berat-berat dan cenderung cukup tahu saja, tidak perlu paham.
Saya sodorkan salah satu contoh buku dengan pola klaster/kelompok. Buku seperti ini biasanya terdiri atas banyak bab dengan pembahasan pendek-pendek seperti kumpulan artikel.
Ada sebuah buku judulnya begini: 99 Ide Bisnis Rumahan dengan Modal Kurang dari 3 Juta. Pembaca yang sedang ingin berbisnis di rumah, tentu senang mendapatkan buku ini. Namun, apakah mereka akan paham menjalankan bisnisnya? Sepertinya tidak karena setiap bisnis (dari 99 itu) hanya dibahas empat halaman. Pembaca paling hanya mengangguk-anggukkan kepala.
Jadi, 4 x 99 = 396 halaman, buku tersebut sudah sangat tebal. Bahkan, ada yang lebih ekstrem, satu bisnis hanya dibahas 2 halaman.
Karena itu, ada buku yang tujuannya hanya membuat pembaca cukup tahu, tidak perlu paham, apalagi sampai mikir terlalu jauh. Buku "cepat saji" ibarat fast food yang tidak perlu mikir makannya. Berbeda jika Anda masuk ke restoran Padang, Anda akan dibuat berpikir melihat aneka masakan di piring sampai kemudian Anda berujar: "Da, nggak ada otak?!"
Hehehe, maaf tulisan ini begitu panjangnya. Terima kasih untuk Anda yang rela membaca sampai tuntas. Artikel ini buah dari kegiatan saya mengisi kelas belajar dari rumah bertajuk "11 Hari Menulis Buku Nonfiksi". Selamat mencoba membuat ragangan.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H