Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gereget Gelar di Kover Buku

30 Januari 2020   08:56 Diperbarui: 30 Januari 2020   12:31 1287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Bambang Trim/Salamadani

Salah satu poin yang kerap saya insafkan di dalam penulisan buku ilmiah-akademis adalah soal pencantuman gelar di kover buku. Konvensi internasional dalam penulisan ilmiah seperti Chicago Manual of Style (CMS) atau American Psychological Association (APA) memang melarang pencantuman gelar akademis atau kredensial penulis di kover buku---termasuk juga di daftar rujukan atau daftar pustaka.

Ada kala ketika saya mengingatkan perihal ini, beberapa dosen/akademisi langsung insaf. Namun, ada juga yang membuka perdebatan soal boleh tidaknya gelar akademis dicantumkan di kover (depan) buku.

Tentu ada pertanyaan: Mengapa tidak diperbolehkan?

Alasan pertama dari sisi pembaca. Pembaca buku ilmiah-akademis diharapkan objektif terhadap materi/isi buku tanpa memandang penulisnya bergelar apa. Jadi, ia (si pembaca) tidak boleh serta-merta percaya pada isi buku mentang-mentang penulisnya seorang profesor atau doktor.

Sebaliknya, ia juga tidak boleh meremehkan penulis yang gelarnya hanya dari pendidikan vokasi D-3. Sekali lagi, objektivitas diharapkan muncul pada pembaca tanpa memandang gelar penulisnya.

Alasan kedua dari sisi penulis untuk melindungi penulis sendiri agar tidak tersandung dengan gelar yang disandangnya. Jadi, ketika buku yang ditulis seorang profesor atau seorang bergelar doktor kualitasnya di bawah standar, ia tidak perlu malu atau dicemooh dengan gelar yang disandangnya tersebut.

Ada alasan yang sering dijadikan "pembenaran" bahwa pencantuman gelar di kover buku itu untuk membantu pemasaran buku. Apalagi, jika nama penulisnya belum populer atau masih penulis pemula. Gelar itu setidaknya membuat pembaca yakin untuk membeli dan membaca buku.

Alasan lain bahwa pencantuman gelar dapat menguatkan asumsi sang penulis memang pantas menulis buku topik tertentu. Ilmunya linear dengan topik bukunya.

Ada pula alasan yang mengada-ada bahwa pencantuman gelar untuk menghormati kegigihan penulis yang telah bersusah payah menempuh pendidikan hingga ia memperoleh gelar akademis yang mentereng. Sungguh sayang gelar yang begitu susah didapatkan malah tidak dicantumkan.

Selain gelar akademis, banyak juga penulis yang mencantumkan gelar kredensial lainnya, seperti kiai haji atau haji; gelar sertifikasi di belakang nama (contohnya para pemegang sertifikat hipnosis); dan gelar kebangsawanan.

Memang tujuan jamak adalah pemasaran untuk mengundang penasaran. Tentu banyak juga di antara mereka yang tidak setuju jika mereka dicap 'riya' atau sekadar ingin "menakut-nakuti" pembaca dengan sederet gelar.

Lembaga pengindeks karya tulis ilmiah seperti Scopus tegas membuat aturan gelar akademis tidak boleh dicantumkan pada kredit nama penulis. Para dosen atau akademisi di Indonesia mematuhinya karena kalau tidak, jelas karya mereka tidak akan dimuat atau mendapat peringatan. Adapun karyanya terindeks Scopus merupakan jalan bagi para dosen/akademisi untuk meningkatkan angka kredit jabatannya.

Mereka patuh karena ada aturan yang tegas. Sebaliknya, mereka tidak patuh pada kover buku karena memang tidak ada aturan meskipun itu semacam konvensi internasional di kalangan akademisi.

Namun, kini Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) sebagai lembaga perbukuan yang dibentuk sesuai dengan amanat UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan dan PP Nomor 75/2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Sistem Perbukuan sudah menggodok aturan standar dan kaidah terkait penulisan-penerbitan.

Salah satu poin yang dimasukkan adalah ketentuan tentang penyebutan nama penulis pada kover buku yang harus menanggalkan gelar kredensial.

Artinya, aturan ini pun akan diberlakukan, terutama pada buku-buku pendidikan yang dinilai oleh Puskurbuk, Dikti, atau juga LIPI. Gelar akademis boleh saja dicantumkan pada halaman riwayat atau biografi singkat penulis.

Mereka yang masih menentang dan tidak setuju, silakan saja menerbitkan buku sendiri dengan mencantumkan gelar pada kover depan buku. Soalnya ini bukan aturan mutlak untuk semua buku.

***

Zaman gelar diagung-agungkan sebenarnya sudah hampir punah. Pemerintah melalui program sertifikasi telah memaklumkan adanya KKNI (Kualifikasi Kerja Nasional Indonesia). Ada dua jalur kompetensi yang diakui di dalam KKNI yaitu jalur pendidikan dan jalur pengalaman hingga level 9. Salah seorang yang mencapai posisi level 9 dari jalur pengalaman profesional adalah Ibu Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan. Saat mengikuti uji kompetensi level 9 tersebut, Ibu Susi bahkan belum memiliki ijazah SMA.

Di kampus, pemerintah mulai memaklumkan juga RPL (rekognisi pembelajaran lampau) yang memungkinkan para praktisi/profesional mengajar di kampus tanpa harus bergelar S2 atau S3. Hal ini mulai diberlakukan pada pendidikan vokasi yang merekrut dosen-dosen praktisi meskipun mereka hanya lulusan D-3. Jadi, dunia pendidikan pun sudah berubah soal memosisikan gelar akademis ini.

Saya sendiri hanya memegang dua ijazah pendidikan tinggi. Satu program D-3 dan satu lagi S-1 dari program ekstensi. Saya tidak pernah merasa rendah diri untuk memberi kuliah atau pelatihan di depan para master, doktor, dan profesor karena setiap orang pasti memiliki kelebihan ilmu dan keterampilan sendiri-sendiri.

Saya jelas tidak pernah mencantumkan gelar akademis saya, soalnya juga baru D-3 dan S-1, apa yang mau dibanggakan?

Nah, karena hal ini juga mungkin ada yang menganggap saya sentimen terhadap pencantuman gelar akademis karena saya sendiri belum S-2 apalagi S-3. Tentu bukan itu saudara-saudara alasannya. Bagaimanapun saya sudah menargetkan kembali mengambil pendidikan S-2 tahun ini dan berlanjut ke S-3. Soal gelar ini hanya soal waktu dan takdir dari Allah Swt.

***

Saya menuliskan kembali hal ini karena sempat terjadi perdebatan di media sosial. Namun, sejatinya saya tidak ingin berdebat, tetapi hanya menyampaikan informasi terkait standar dan kaidah penulisan-penerbitan buku yang diamini secara internasional.

Jika pun ada yang tidak setuju atau merasa risih, tentu memiliki cara pandang yang berbeda. Artinya, tidak perlu geregetan dengan konvensi atau aturan yang ditetapkan.

Perihal setuju dan tidak setuju kembali kepada diri masing-masing. Analoginya sama dengan kelaziman memakan bubur ayam dengan "aksesoris" berupa ayam suwir, irisan telur rebus, cakue, asinan, kacang, dan kerupuk. Namun, Anda ingin menambahkan topping jagung. Ya, tidak ada yang melarang meskipun sebagian besar penjual bubur ayam tidak menyediakannya.

Namun, analogi ini pun mungkin tidak pas benar. Apa yang pas adalah bertindak sesuai dengan pengalaman, pengertian, dan pemahaman. 

Selamat berkreasi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun