Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gereget Gelar di Kover Buku

30 Januari 2020   08:56 Diperbarui: 30 Januari 2020   12:31 1287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Bambang Trim/Salamadani

Memang tujuan jamak adalah pemasaran untuk mengundang penasaran. Tentu banyak juga di antara mereka yang tidak setuju jika mereka dicap 'riya' atau sekadar ingin "menakut-nakuti" pembaca dengan sederet gelar.

Lembaga pengindeks karya tulis ilmiah seperti Scopus tegas membuat aturan gelar akademis tidak boleh dicantumkan pada kredit nama penulis. Para dosen atau akademisi di Indonesia mematuhinya karena kalau tidak, jelas karya mereka tidak akan dimuat atau mendapat peringatan. Adapun karyanya terindeks Scopus merupakan jalan bagi para dosen/akademisi untuk meningkatkan angka kredit jabatannya.

Mereka patuh karena ada aturan yang tegas. Sebaliknya, mereka tidak patuh pada kover buku karena memang tidak ada aturan meskipun itu semacam konvensi internasional di kalangan akademisi.

Namun, kini Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) sebagai lembaga perbukuan yang dibentuk sesuai dengan amanat UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan dan PP Nomor 75/2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Sistem Perbukuan sudah menggodok aturan standar dan kaidah terkait penulisan-penerbitan.

Salah satu poin yang dimasukkan adalah ketentuan tentang penyebutan nama penulis pada kover buku yang harus menanggalkan gelar kredensial.

Artinya, aturan ini pun akan diberlakukan, terutama pada buku-buku pendidikan yang dinilai oleh Puskurbuk, Dikti, atau juga LIPI. Gelar akademis boleh saja dicantumkan pada halaman riwayat atau biografi singkat penulis.

Mereka yang masih menentang dan tidak setuju, silakan saja menerbitkan buku sendiri dengan mencantumkan gelar pada kover depan buku. Soalnya ini bukan aturan mutlak untuk semua buku.

***

Zaman gelar diagung-agungkan sebenarnya sudah hampir punah. Pemerintah melalui program sertifikasi telah memaklumkan adanya KKNI (Kualifikasi Kerja Nasional Indonesia). Ada dua jalur kompetensi yang diakui di dalam KKNI yaitu jalur pendidikan dan jalur pengalaman hingga level 9. Salah seorang yang mencapai posisi level 9 dari jalur pengalaman profesional adalah Ibu Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan. Saat mengikuti uji kompetensi level 9 tersebut, Ibu Susi bahkan belum memiliki ijazah SMA.

Di kampus, pemerintah mulai memaklumkan juga RPL (rekognisi pembelajaran lampau) yang memungkinkan para praktisi/profesional mengajar di kampus tanpa harus bergelar S2 atau S3. Hal ini mulai diberlakukan pada pendidikan vokasi yang merekrut dosen-dosen praktisi meskipun mereka hanya lulusan D-3. Jadi, dunia pendidikan pun sudah berubah soal memosisikan gelar akademis ini.

Saya sendiri hanya memegang dua ijazah pendidikan tinggi. Satu program D-3 dan satu lagi S-1 dari program ekstensi. Saya tidak pernah merasa rendah diri untuk memberi kuliah atau pelatihan di depan para master, doktor, dan profesor karena setiap orang pasti memiliki kelebihan ilmu dan keterampilan sendiri-sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun