Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Membajak "Sawah Kering" Perbukuan

5 September 2019   06:30 Diperbarui: 19 Mei 2022   18:26 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

September ini tampaknya menjadi bulan yang ceria bagi dunia literasi kita. Beberapa kegiatan nasional dan lokal terkait perbukuan digelar. Salah satunya Indonesia International Book Fair 2019 yang menjadi agenda tahunan Ikapi. Sebelum itu, ada beberapa kegiatan literasi yang menarik, seperti bazar buku Patjar Merah di Malang, Mocosik di Yogyakarta, dan Litbeat di Perpusnas RI (agenda Komite Buku Nasional).

Namun, di tengah aktivitas literasi positif itu terbetik juga berita muram tentang dunia perbukuan. Teman-teman penerbit buku di Yogyakarta yang menyebut dirinya Konsorsium Penerbit Jogja melaporkan beberapa kasus pembajakan buku ke Polda DIY. Pembajakan buku di Yogya telah semakin kukuh dan meluas sehingga membesar menjadi industri pembajakan.

Memang mengherankan perilaku pembajakan ini. Sudah jelas masyarakat Indonesia dicap minat bacanya rendah dan yang namanya buku itu bukan kebutuhan primer seperti sembako, tetapi kok ya buku masih dibajak?

Hehehe, jangan terkecoh. Dari 250 juta lebih penduduk Indonesia apabila yang membaca buku hanya persentase kecil, itu masih signifikan memberi rezeki. Ada sederetan judul buku kategori laris dan sangat laris yang potensial untuk dibajak dari masa ke masa.

Pembajakan buku yang disoroti di sini adalah langsung menduplikasi buku dengan cara mencetak---belakangan juga dengan cara mendigitalkannya. Buku-buku itu dijual dengan harga sangat murah, mungkin hanya 1,5 atau 2 kali biaya produksi. 

Para pembajak tentu tak perlu berpayah-payah menyiapkan naskah, desain, dan sebagainya. Mereka juga tidak perlu membayar royalti kepada para penulis.

Seperti halnya tulisan Iqbal Aji Daryono di Detik.com yang menyentil soal moral para pembajak buku ini, rezeki yang sudah sulit diperoleh para penulis dan penerbit itu pun akhirnya hilang.

Ketika para penulis dan penerbit sedang "tertidur", para pembajak menggarap sawah perbukuan tanpa rasa bersalah. Perasaan tak bersalah itu mungkin muncul karena mereka (dianggap) turut membantu mencerdaskan bangsa dengan buku supermurah.

Status Facebook saya tentang pembajakan ini juga dikomentari oleh seorang pegiat perbukuan kawakan. Mengapa baru sekarang ribut-ribut, katanya. Dulu Ikapi sudah memberantasnya melalui satgas pembajakan buku.

Lha, bukan baru sekarang, melainkan sejak dulu hingga kini, pembajak buku itu ternyata tidak pernah jera. Penegakan hukum tidak tegak sebagaimana mestinya. Ada yang ditangkap, tetapi keluar lagi dalam waktu singkat.

Seorang teman lagi menyikapi lain soal pembajakan buku ini. Ia lebih menggugat peran negara yang menurutnya tidak hadir dalam menyediakan buku murah bagi masyarakat Indonesia. Konteks amanah buku murah ini sebenarnya sudah disinggung di dalam UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan yang umurnya baru dua tahun lebih.

Soal buku murah hanya dapat dipenuhi dengan tiga hal. Pertama, mencetak buku dengan tiras tinggi sehingga menekan biaya produksi. Tentu menjadi impian penerbit dapat mencetak buku paling tidak di atas 50.000 eksemplar per judul.

Kedua, menyediakan kertas murah khusus buku. Negara tak lagi memiliki pabrik kertas sehingga tidak dapat juga menyediakan kertas murah. Jadi, ini persoalan yang harus dipikirkan pemerintah soal tata niaga kertas.

Ketiga, mengonversi buku-buku cetak atau buku baru langsung pada format digital. Pemerintah dapat membelinya secara besar-besaran dan menyediakan akses pengunduhannya kepada publik.

Artinya, buku murah bukan berarti mengorbankan pendapatan penerbit dan penulis dari royalti karena itu sama saja dengan "membunuh" industrinya.

Bagaimana pun buku bukan seperti produk massal seperti mi instan atau sabun. Buku memerlukan daya cipta setiap judulnya yang melibatkan begitu banyak artisan penerbit (pelaku perbukuan), seperti penulis, editor, ilustrator, dan desainer, berikut tenaga promosi, penjualan, gudang, hingga toko buku.

Maka dari itu, pembajak buku tidak perlu dibela sebagai pahlawan kebetulan yang melihat celah kebutuhan buku murah. Mereka tetap saja para pencuri meskipun apa yang mereka perbuat memberi manfaat juga bagi orang lain yang merasa berkeberatan membeli buku asli dengan harga lebih mahal.

Lalu, bicara soal masa kini, membajak buku itu semakin mudah berkat teknologi. File-file PDF milik penerbit entah bagaimana dapat diperoleh oleh pembajak sehingga memudahkan mereka mencetak secara canggih. 

Kalaupun tidak ada file PDF, mereka dapat menggunakan mesin pemindai yang canggih untuk mengonversinya menjadi file. Kini boleh dikatakan buku bajakan dapat mengimbangi kualitas buku aslinya meskipun masih ada juga yang membajak secara ala kadarnya.  

Pasar buku bajakan juga terbantu oleh lokapasar (marketplace) daring yang kini bertumbuh. Lapak buku-buku bajakan itu ada di  beberapa lokapasar besar di Indonesia. Mereka mengistilahkan buku bajakan dengan sebutan lebih halus yaitu "buku repro" atau "buku KW".

Mengapa akhirnya penerbit-penerbit di Yogyakarta bergerak? Pembajak buku tega membajak sawah yang nyaris kering. Penerbit di Yogyakarta umumnya para penerbit kecil yang mengais rezeki dari beberapa judul buku laris dengan kategori tiras hanya 3.000-an eksemplar. Beruntung jika kemudian ada permintaan lagi sehingga buku dicetak ulang.

Dari dulu Yogyakarta terkenal progresif dalam menghasilkan buku-buku bagus meskipun di balik itu, ada juga oknum penerbit yang menghasilkan buku dengan cara "pembajakan" lain yaitu menjiplak tema-tema buku laris, membuat kover dan judul yang mirip, serta sebagian isi diduplikasi. Beberapa kasus sempat mencuat.

Jadi, ada dua perilaku pembajakan buku yang berkembang kini. Pertama, membajak buku secara fisik mentah-mentah. Kedua, membajak buku secara konten dan konteks. Kalau yang pertama, harus dibasmi langsung. Kalau yang kedua, harus disomasi dan juga dibasmi lagi.

***

Dunia literasi kita memang rumit dan ruwet karena terkadang kita menemukan fakta-fakta yang tidak sesuai dengan asumsi atau boleh disebut anomali. Contohnya, asumsi minat baca masyarakat rendah, tetapi mengapa pembajakan buku bersimaharajalela. 

Asumsi bahwa harga buku mahal, tetapi mengapa pameran buku asing seperti Big Bad Wolf banjir pengunjung. Asumsi bahwa industri buku mati suri, tetapi mengapa masih banyak pengusaha penerbit yang kaya-kaya. Hahaha, inilah buah dari minimnya riset-riset perbukuan.

Mudah-mudahan pemerintah, asosiasi profesi perbukuan, masyarakat pembaca, dan pegiat literasi, semuanya mau bersatu membasmi praktik-praktik tidak literat dalam dunia perbukuan Indonesia. Jangan sampai nanti ada penghargaan tahunan: "Buku Paling Banyak Dibajak" dan pembajaknya yang mendapat penghargaan.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun