Jadi, ada dua perilaku pembajakan buku yang berkembang kini. Pertama, membajak buku secara fisik mentah-mentah. Kedua, membajak buku secara konten dan konteks. Kalau yang pertama, harus dibasmi langsung. Kalau yang kedua, harus disomasi dan juga dibasmi lagi.
***
Dunia literasi kita memang rumit dan ruwet karena terkadang kita menemukan fakta-fakta yang tidak sesuai dengan asumsi atau boleh disebut anomali. Contohnya, asumsi minat baca masyarakat rendah, tetapi mengapa pembajakan buku bersimaharajalela.Â
Asumsi bahwa harga buku mahal, tetapi mengapa pameran buku asing seperti Big Bad Wolf banjir pengunjung. Asumsi bahwa industri buku mati suri, tetapi mengapa masih banyak pengusaha penerbit yang kaya-kaya. Hahaha, inilah buah dari minimnya riset-riset perbukuan.
Mudah-mudahan pemerintah, asosiasi profesi perbukuan, masyarakat pembaca, dan pegiat literasi, semuanya mau bersatu membasmi praktik-praktik tidak literat dalam dunia perbukuan Indonesia. Jangan sampai nanti ada penghargaan tahunan: "Buku Paling Banyak Dibajak" dan pembajaknya yang mendapat penghargaan.[]