Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Membajak "Sawah Kering" Perbukuan

5 September 2019   06:30 Diperbarui: 19 Mei 2022   18:26 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Soal buku murah hanya dapat dipenuhi dengan tiga hal. Pertama, mencetak buku dengan tiras tinggi sehingga menekan biaya produksi. Tentu menjadi impian penerbit dapat mencetak buku paling tidak di atas 50.000 eksemplar per judul.

Kedua, menyediakan kertas murah khusus buku. Negara tak lagi memiliki pabrik kertas sehingga tidak dapat juga menyediakan kertas murah. Jadi, ini persoalan yang harus dipikirkan pemerintah soal tata niaga kertas.

Ketiga, mengonversi buku-buku cetak atau buku baru langsung pada format digital. Pemerintah dapat membelinya secara besar-besaran dan menyediakan akses pengunduhannya kepada publik.

Artinya, buku murah bukan berarti mengorbankan pendapatan penerbit dan penulis dari royalti karena itu sama saja dengan "membunuh" industrinya.

Bagaimana pun buku bukan seperti produk massal seperti mi instan atau sabun. Buku memerlukan daya cipta setiap judulnya yang melibatkan begitu banyak artisan penerbit (pelaku perbukuan), seperti penulis, editor, ilustrator, dan desainer, berikut tenaga promosi, penjualan, gudang, hingga toko buku.

Maka dari itu, pembajak buku tidak perlu dibela sebagai pahlawan kebetulan yang melihat celah kebutuhan buku murah. Mereka tetap saja para pencuri meskipun apa yang mereka perbuat memberi manfaat juga bagi orang lain yang merasa berkeberatan membeli buku asli dengan harga lebih mahal.

Lalu, bicara soal masa kini, membajak buku itu semakin mudah berkat teknologi. File-file PDF milik penerbit entah bagaimana dapat diperoleh oleh pembajak sehingga memudahkan mereka mencetak secara canggih. 

Kalaupun tidak ada file PDF, mereka dapat menggunakan mesin pemindai yang canggih untuk mengonversinya menjadi file. Kini boleh dikatakan buku bajakan dapat mengimbangi kualitas buku aslinya meskipun masih ada juga yang membajak secara ala kadarnya.  

Pasar buku bajakan juga terbantu oleh lokapasar (marketplace) daring yang kini bertumbuh. Lapak buku-buku bajakan itu ada di  beberapa lokapasar besar di Indonesia. Mereka mengistilahkan buku bajakan dengan sebutan lebih halus yaitu "buku repro" atau "buku KW".

Mengapa akhirnya penerbit-penerbit di Yogyakarta bergerak? Pembajak buku tega membajak sawah yang nyaris kering. Penerbit di Yogyakarta umumnya para penerbit kecil yang mengais rezeki dari beberapa judul buku laris dengan kategori tiras hanya 3.000-an eksemplar. Beruntung jika kemudian ada permintaan lagi sehingga buku dicetak ulang.

Dari dulu Yogyakarta terkenal progresif dalam menghasilkan buku-buku bagus meskipun di balik itu, ada juga oknum penerbit yang menghasilkan buku dengan cara "pembajakan" lain yaitu menjiplak tema-tema buku laris, membuat kover dan judul yang mirip, serta sebagian isi diduplikasi. Beberapa kasus sempat mencuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun