Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Menguak Profesi "Literary Agent"

14 Maret 2019   08:31 Diperbarui: 14 Maret 2019   14:30 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya dan Mr. Erwin (ketiga dari kiri) di FBF 2010/Foto: Bambang Trim

Alkisah ketika kali pertama menawarkan naskah Harry Potter, J.K. Rowling mengalami penolakan berkali-kali oleh penerbit. Sampai kemudian Rowling meminta bantuan seorang literary agent. Sang literary agent mengontak kenalannya seorang editor di penerbit. Sang editor dikenal memiliki "penciuman tajam" dalam mengendus naskah-naskah yang bakal sukses.

Editor itu bernama Barry Cunningham yang disebut-sebut sebagai penemu bakat Rowling untuk mewujudkan kisah bocah penyihir Harry Potter menjadi buku mega-best seller sepanjang masa. Barry mempelajari naskah Rowling dan memutuskan penerbitannya di Bloomsbury. Tidak terkira rasa sukacita Rowling.

"Jika bukan karena Barry Cunningham, Harry Potter mungkin masih mendekam di almari di bawah tangga...." begitu ujar Rowling dengan ungkapan penuh terima kasih kepada Barry.

Di dalam dunia penerbitan, sosok seperti Barry Cunningham disebut sebagai editor akuisisi (acquisition/acquiring editor) yang bertugas mencari (memperoleh) penulis sekaligus mengakuisisi naskah untuk diterbitkan. 

Para editor memaklumi dua cara akuisisi yaitu solicited (pemerolehan aktif) dengan cara menemukan penulis dan unsolicited (pemerolehan pasif) dengan cara membuat pengumuman akuisisi naskah, lalu menerima naskah.

Di antara penulis dan editor (penerbit) ada lagi yang disebut sebagai literary agent. Hassan Pambudi di dalam buku lawasnya bertajuk Pedoman Dasar Penerbitan Buku menggunakan istilah 'agen sastra' untuk menyebut literary agent.

Siapa itu Literary Agent?

Literary agent adalah seseorang yang memosisikan dirinya sebagai agen penerbit atau representatif penulis dalam menawarkan naskah sekaligus bernegosiasi dengan penerbit. Jadi, yang paling umum adalah sebagai representatif penulis, mirip dengan posisi manajer artis di dalam dunia hiburan. 

Sang literary agent-lah yang mengatur pertemuan antara penerbit dan penulis, membantu penulis membuat presentasi naskah yang meyakinkan, mewakili penulis dalam negosiasi kontrak royalti atau jual putus, serta menjadi penengah apabila terjadi konflik antara penerbit dan penulis.

Dengan pengetahuan dan pengalaman memadai soal penerbitan buku, biasanya yang menjadi literary agent adalah mantan editor di penerbit, khususnya editor akuisisi atau editor pengurus kontrak (right editor). Saya ambil contoh saja sosok bernama Thomas Nung Atasana. 

Awalnya beliau berkarier di dunia penerbitan buku di Kelompok Kompas-Gramedia. Kini, Mas Nung (biasa saya memanggilnya demikian) memimpin sebuah agensi jual-beli hak cipta bernama Borobudur Agency yang dinaungi oleh Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia). Pekerjaan utamanya menjadi representatif penerbit Indonesia untuk menawarkan copyright berbagai buku kepada penerbit asing.

Sosok kedua yang juga saya kenal bernama Santo Manurung. Ia menjalankan bisnis dari rumahnya di bawah naungan usaha Maxima Agency. Pak Santo menjadi representatif penerbit asing yang menawarkan copyright buku terjemahan untuk penerbit-penerbit Indonesia. Sebenarnya Pak Santo melakoni diri juga sebagai co-agent yang menjadi perantara literary agent di luar negeri.

Para literary agent ini mendapatkan honor atas pekerjaannya berdasarkan persentase royalti jika ia menjadi representatif penulis. Jika menjadi agen penerbit, ia mendapatkan bagian dari uang muka (advance fee) yang dibayarkan penerbit pembeli copyright.

Nah, literary agent yang benar-benar sebagai representatif penulis di Indonesia saya kira hampir tidak ada yang menekuninya. Saya belum menemukan seseorang yang dengan tegas menyatakan dirinya adalah seorang literary agent yang mewakili penulis tertentu. Ada yang mengacaukan pengertian literary agent ini sebagai pemasok naskah, padahal tidak demikian. 

Sang pemasok naskah justru lebih sering bernegosiasi dengan penerbit atas namanya sendiri atau nama perusahaannya dan sama sekali tidak melibatkan penulis dalam berhubungan dengan penerbit. Beberapa lagi lebih parah malah lebih tepat disebut sebagai "calo naskah" daripada agen naskah.

Literary Agent di London Book Fair 2019

Saat ini Indonesia tengah menjadi Market Focus di ajang bergengsi London Book Fair 2019. Bekraf yang menginisiasi kegiatan ini menyediakan kesempatan bagi penerbit Indonesia untuk menjadi co-exhibitor yang menempati booth-booth di LBF. Kalau tidak salah, dengan menjadi Market Focus, Indonesia menempati area seluas 600 meter persegi.

"Penghuni" booth-booth itu seyogianya adalah para editor akuisisi dan editor pengurus kontrak/hak cipta (right editor) atau para literary agent. Pengunjung pameran yang berkeliaran di area itu juga pasti para editor akuisisi, editor pengurus hak cipta, dan literary agent. Di pameran-pameran internasional semacam LBF ini yang menjadi tolok ukur adalah transaksi copyright bukan penjualan buku.

Jadi, nanti hasil kinerja LBF ini dapat dilihat dari seberapa banyak buku Indonesia dapat terjual copyright penerjemahannya; seberapa besar nilai transaksinya; ada berapa negara/bahasa yang membeli copyright buku Indonesia; buku jenis apa yang paling banyak terjual. 

Tidak dapat dinafikan kinerja Indonesia sebagai Market Focus LBF juga sangat ditentukan oleh kelihaian para editor akuisisi, editor pengurus hak cipta, dan literary agent.

Bagaimana menjadi literary agent yang profesional? Beberapa kegiatan peningkatan kapasitas pengetahuan soal transaksi copyright pernah diadakan di Indonesia dengan melibatkan Bekraf, Ikapi, Komite Buku Nasional, dan beberapa pemangku kepentingan lainnya. 

Mengingat Indonesia pernah menjadi guest of honour di Frankfurt Book Fair (FBF) 2015 yang merupakan ajang pameran buku terbesar di dunia, tentu pengetahuan soal transaksi copyright ini menjadi sangat penting. Jangan sampai kita seperti rusa masuk kampung.

Saya sendiri memiliki pengalaman lima kali ke FBF. Dua kunjungan pertama hanya untuk mengamati kemajuan perbukuan internasional. Tiga kunjungan selanjutnya mulai berburu copyright dari penerbit-penerbit Amerika dan Eropa, termasuk juga Turki. Mentor saya waktu itu adalah Mr. Erwin Michael (alm.), seorang asal Belgia yang menetap di Indonesia dan bekerja untuk Penerbit Tiga Serangkai. 

Saya dan Mr. Erwin (ketiga dari kiri) di FBF 2010/Foto: Bambang Trim
Saya dan Mr. Erwin (ketiga dari kiri) di FBF 2010/Foto: Bambang Trim
Ia banyak mengajari saya tentang kontrak-kontrak dengan penerbit asing. Saya mendampinginya dari booth ke booth, namun otoritas memilih judul ia serahkan kepada saya yang kala itu berposisi sebagai GM General Book di Tiga Serangkai. 

Masa-masa itu Tiga Serangkai memang sangat getol menerbitkan buku-buku hasil terjemahan, termasuk membeli hak cipta penerbitan dari karakter-karakter internasional, seperti Scooby Doo, Tom & Jerry, dan Barnie.

***

Profesi sebagai literary agent memang kini belum populer di Indonesia. Entah nanti apakah profesi ini menjadi menarik bagi generasi milenial karena mereka memiliki kapasitas untuk itu, terutama dalam hal berkomunikasi dengan bahasa asing. Dalam konteks global, transaksi copyright dalam bentuk konten-konten kreatif ini juga tidak akan ada matinya. 

Sangatlah membanggakan apabila kita mampu menjual hak cipta terjemahan buku-buku Indonesia ke berbagai bahasa dunia---salah satunya seperti yang telah dicapai novel karya Andrea Hirata dan Eka Kurniawan.

Jika orientasi internasional ini benar-benar dikukuhkan oleh Indonesia melalui lembaga pemerintah seperti Bekraf, KBN, atau nanti Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, tentu peningkatan kapasitas para editor akuisisi dan literary agent harus dilakukan secara intens dan terprogram. 

Kendala berkomunikasi dalam bahasa Inggris sudah mulai teratasi, namun untuk soal wawasan industri perbukuan, negosiasi kontrak, dan juga insting penerbitan masih perlu diatasi.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun