Tiba-tiba saya teringat bahwa novel Dilan pernah diajukan penerbitnya tahun lalu untuk dinilai sebagai buku nonteks pelajaran (BNTP). Saat itu saya menjadi anggota tim panitia penilai di Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud. Namun, saya lupa apakah novel itu dinyatakan lolos penilaian atau tidak.
Mungkin ada penolakan karena alasan yang saya sampaikan tadi, misalnya ada kata-kata makian atau beberapa penilai merasa novel ini mendorong siswa untuk berpacaran serta sikap tidak patut, sekali lagi, melawan guru. Di sisi lain saya "membela" novel semacam ini yang bermuatan kata-kata atau cerita tidak patut adalah dilihat dari konteksnya. Masa iya sesama geng motor harus berdialog dengan sopan dan santun? Selain itu, dilihat juga dari pembaca sasarannya yaitu anak-anak SMA yang jelas sudah dapat berpikir logis.
Kesimpulan yang penting apakah menolak atau meloloskan sebuah novel adalah tendens (tujuan-tujuan) dan makna dari novel tersebut yang masih menempatkan akal budi. Cinta pada lawan jenis, cinta pada orangtua, cinta pada guru, dan cinta pada sesama manusia secara wajar adalah hal-hal yang dapat menetralkan peristiwa-peristiwa tidak patut sebagai fakta di dalam cerita.
Menolak novel-novel pop yang sangat disukai pembaca muda dengan alasan literasi yang kaku sama saja melawan arus air bah. Boleh jadi akan ada "kelucuan" bahwa buku yang dinyatakan lolos dan layak baca oleh pemerintah justru buku yang enggan dibaca. Sebaliknya, buku yang dinyatakan tidak lolos dan tidak layak baca, justru buku yang paling banyak dicari dan dibaca.
***
Efek Dilan memberi banyak pelajaran, terutama untuk mendorong mengenal penulisnya, Pidi Baiq. Beliau yang kerap dipanggil Surayah atau Ayah oleh para "pengikutnya" dapat menjadi duta literasi ke SMA-SMA agar menihilkan kasus yang terjadi pada Pak Guru Budi atau membahas kasus "kartu kuning" secara ringan dan lucu. Daya literasi itu saya percayai dapat didesain pada suatu bangsa, apalagi dengan memanfaatkan pengaruh dari karya-karya yang meledak dan mengalihkan perhatian generasi milenial pada buku.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H