Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Efek Dilan dan Literasi yang Tertolak

4 Februari 2018   09:18 Diperbarui: 8 Februari 2018   06:36 5811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Ben White on Unsplash.com

Saya belum membaca novel Dilan meski telah tahu sejak 2014. Tahun 2016, saya hampir bertemu dengan Pidi Baiq di sebuah kafe persis di belakang Kantor Pos Pusat Bandung yang konon kafe itu menjadi markas The Panas Dalam (band pimpinan Pidi Baiq)---saat itu rapat difasilitasi Cipika Bookmate Indosat. Namun, ternyata urung karena sang Ayah Pidi Baiq ada pertemuan mendadak. Jadi, saya belum kenal secara pribadi dengan Pidi Baiq.

Namun, saya merasa dekat karena tokoh Dilan adalah anak SMA tahun 1990-an. Tahun itu adalah tahun saya berada di kelas 2 SMA jurusan fisika. Jadi, tahun itu melatari juga kenangan sang penulis Pidi Baiq (kelahiran 1972) saat menempuh SMA di Bandung.

Sejak filmnya ditayangkan, kutipan dialog Dilan menjadi viral dan menimbulkan efek Dilan se-Indonesia. Beberapa prediksi menyebut film "Dilan 1990" ini bakal menggeser film yang bertengger di urutan terlaris di Indonesia.

Sikap, sosok, dan tutur Dilan memang terbilang istimewa---unik sekaligus nyeleneh. Kalimat-kalimat yang diutarakannya kepada Milea adalah rayuan-rayuan gombal versi ori, bukan KW. Saya kira pastilah para gadis yang menonton ini ataupun mantan gadis era 1990-an dibuat baper tingkat nasional.

Rindu itu berat .... Kamu nggak kan kuat. Biar aku saja!

Ungkapan ini mendadak viral di media sosial, lalu dimodifikasi secara berjemaah. Begitu pula ungkapan berikut ini yang melambungkan hati seorang gadis bernama Milea.

Cemburu itu hanya untuk orang-orang yang tidak percaya diri. Dan sekarang aku lagi tidak percaya diri ....

Tidak membaca novelnya, tetapi saya menonton filmnya. Film ini melemparkan saya pada era Lupus karya Hilman Hariwijaya dan Balada si Roy karya Gol A Gong. Sayang novel yang disebut terakhir era 1980-an belum difilmkan. Namun, Lupus beberapa kali difilmkan dengan bintang kala itu (alm.) Ryan Hidayat dan pernah juga diperankan langsung oleh Hilman Hariwijaya. Lupus juga dibuat versi serial TV-nya.

Lupus menjadi fenomenal sebagai novel best seller, termasuk filmnya. Meski latar cerita adalah masa-masa SMA, saya membaca Lupus sejak SMP hingga awal SMA, bahkan boleh dibilang tergila-gila dengannya.

Berbeda dengan tokoh Dilan yang super-romantis, tokoh Lupus tidak demikian. Lupus lebih populer dengan kekocakan dan kedegilannya. Lupus didesain sebagai cerita komedi remaja dengan aneka peristiwa. Namun, kisah percintaan selalu ada sebagai bumbu yang menarik sepanjang masa.

Dilan tentu tampak lebih perkasa dari Lupus. Ia adalah panglima perang dari geng motor serta digambarkan jagoan dengan jaket blue jeans belel dan tunggangan motor Honda CB 100.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun