Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Efek Dilan dan Literasi yang Tertolak

4 Februari 2018   09:18 Diperbarui: 8 Februari 2018   06:36 5811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Ben White on Unsplash.com

Kejagoan Dilan salah satunya terlihat pada adegan ia melawan Pak Suripto yang menarik kerah bajunya, lalu menampar wajahnya. Tiba-tiba adegan ini mengingatkan saya suatu hari di kelas 3 Fisika 3 (SMAN 5 Medan). Tiba-tiba wali kelas saya menghardik seorang siswa yang ribut di kelas. Namun, entah mengapa teman saya yang lain berdiri dan menantang si wali kelas dengan suara tinggi. Itu peristiwa langka, seorang murid berani menantang gurunya. Namun, itu adalah fakta.

Jadi, kasus Dilan itu terjadi akibat ketegangan bertensi tinggi antara guru dan murid. Adalah hal biasa pada 1980-an dan 1990-an seorang guru menampar, menjambak, menendang, atau menempeleng muridnya--tak memandang guru lelaki atau guru perempuan. Ada yang diam tak berkutik dan ada pula yang akhirnya melawan seperti Dilan.

Dilan berkilah, "Saya tidak melawan guru. Saya melawan Suripto ...." (tanpa lagi ada kata "pak" untuk menunjukkan ketidakhormatannya).

Dalam kisah Lupus tidak ada kekerasan faktual semacam itu yang terjadi pada era 1980-an dan 1990-an. Lupus adalah karya literasi yang manis dan lucu, sedangkan Dilan adalah karya literasi manis dan gagah.

***

Walaupun begitu, tentu ada saja yang mencibir Lupus atau Dilan sebagai karya literasi yang tidak literat---mengandung kehalusan akal budi. Apalagi, yang merasa tidak menemukan makna kehidupan di situ. Namun, faktanya virus Dilan dengan cepat merambat memengaruhi anak-anak muda Indonesia untuk bersikap layaknya Dilan. 

Sosok Dilan meskipun berani "melawan" guru yang dianggapnya tidak benar, dalam pengisahan Pidi Baiq bukanlah sosok yang siap atau tega memukul gurunya dengan pukulan mematikan---seperti yang terjadi pada Pak Budi. Dilan yang panglima perang geng motor, tetap memiliki cinta meskipun dengan pembelaannya terhadap cinta itu ia siap menghajar siapa pun.

Sosok Dilan cukuplah seperti Zaadit yang dipersepsikan sebagian besar orang adalah sikap "kurang ajar" terhadap orang tua atau orang yang dihormati. Biasa saja dan pasti adat ketimuran akan dibawa-bawa.

Film Dilan seperti halnya Laskar Pelangi sangat besar kemungkinan mendorong penjualan novelnya. Hal menarik tampaknya novel Dilan tidak akan dianjurkan untuk dibaca oleh para guru yang merasa novel ini tidak literasi banget. Di situ jelas dengan latar dunia geng motor, ada kata-kata makian, termasuk kata-kata yang akrab dengan anak-anak muda Bandung: anjing! Apalagi, ada peristiwa Dilan melawan guru.

Dilematisnya novel Dilan adalah novel yang cenderung digandrungi anak-anak muda kini, bahkan orangtua. Pilihan kata dan pengisahan Pidi Baiq faktanya sangat disukai. Bahkan, tokoh Dilan benar-benar membuat baperdengan rayuannya, puisinya, dan sikapnya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun