Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Buruknya "Editing" Buku Pendidikan Kita

18 Desember 2017   08:29 Diperbarui: 18 Desember 2017   11:13 2345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lagi dan lagi buku pendidikan di Indonesia didera oleh kasus konten tidak patut--istilah saya untuk menyebut muatan tidak layak--yang tersaji di dalam buku. Adalah buku BSE (buku sekolah elektronik) Ilmu Pengetahuan Sosial yang hak ciptanya telah dibeli pemerintah dan satu lagi buku dari penerbit swasta memuat data keliru tentang ibu kota Israel. Kebetulan masalah ini mencuat pasca Donald Trump mengumumkan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang notabene seluruh dunia masih mengakuinya Tel Aviv.

Entah bagaimana, dua buku pendidikan yang terbit beberapa tahun lalu itu "selangkah lebih maju" dengan mencantumkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Konon data itu diambil dari sumber internasional di dunia maya tanpa dilakukan cek silang kembali oleh penulis atau editor. Siapa yang patut disalahkan?

Mencari siapa yang salah sebenarnya mudah saja, pastilah itu penulis dan editor. Penerbitnya, apakah itu pemerintah atau swasta, apakah patut disalahkan juga? Ya, karena berarti lemah dalam sistem penyeliaan dan pengawasan penerbitan, termasuk mungkin pembinaan terhadap para pelaku perbukuan. Jadi, semua yang terlibat dalam proses penerbitan buku itu patut disalahkan.

Namun, saling menyalahkan tiada guna dan tiada menyelesaikan masalah yang terus berulang terjadi. Lelah kita bergelut dengan masalah dan perdebatan tanpa ada solusi yang berarti.

Dalam sebuah paparan di Balitbang Kemendikbud dan Kejaksaan Agung RI tentang buku berkonten tidak patut, saya pernah menyajikan makalah bahwa terbitnya buku-buku berkonten tidak patut disebabkan dua faktor yaitu KETIDAKSENGAJAAN dan KESENGAJAAN. KETIDAKSENGAJAAN dapat disebabkan oleh keteledoran, ketidakkompetenan pelaku perbukuan, ketidaktahuan, dan miskomunikasi. 

Adapun unsur KESENGAJAAN dapat disebabkan oleh keisengan (bercanda), sabotase (kepada penulis/penerbit), dan niat memang hendak merusakkan.

Saya memprediksi pada masa yang akan datang masih akan terjadi banyak kasus pemuatan konten tidak patut ini apabila tidak terjadi perbaikan dalam sistem perbukuan kita, baik di pemerintah maupun di masyarakat, dalam hal ini penerbit-penerbit swasta. 

Hal yang juga mengemuka adalah tentang kompetensi seorang penulis buku dan seorang penyunting (editor) buku pendidikan. Mereka yang tidak berkompeten sangat mungkin dipaksakan atau memaksakan diri menulis/menyunting buku pendidikan yang justru berakibat fatal pada termuatnya konten tidak patut tersebut.

Apa saja konten tidak patut tersebut? Paling tidak ada 13 jenis konten tidak patut sebagai berikut:

  1. penghinaan/pelecehan/penistaan terhadap agama, kitab suci, atau tokoh suci dalam agama;
  2. penghinaan/pelecehan/penistaan terhadap suku, ras, atau golongan tertentu (SARA);
  3. penghinaan/pelecehan/penistaan terhadap simbol-simbol negara;
  4. penghinaan/pelecehan/penistaan terhadap profesi tertentu;
  5. penyajian pornografi dan sejenisnya, termasuk penyimpangan seksual;
  6. penyajian ekstremisme, sadisme, dan radikalisme;
  7. penyajian bias gender;
  8. penyajian berita bohong (hoax), fitnah, dan ujaran kebencian;
  9. penyajian propaganda/ideologi/paham berbahaya bukan dalam konteks kajian akademis;
  10. penyajian data dan fakta sejarah yang tidak benar (penyesatan sejarah);
  11. penyajian rahasia negara atau hal yang membahayakan pertahanan dan keamanan;
  12. penyajian data dan fakta yang tidak sesuai (penyesatan pengetahuan);
  13. pelanggaran hak kekayaan intelektual dan hak cipta.

Momentum tahun ini yang sangat penting bagi dunia perbukuan adalah diundangkannya UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan (Sisbuk). Artinya, sudah ada dasar hukum tertinggi bagi pemerintah dan masyarakat, termasuk pelaku perbukuan, untuk berbenah soal sistem perbukuan, termasuk penjaminan mutu buku. Bahkan, saat ini pemerintah sedang menggodok RPP (rancangan peraturan pemerintah) untuk mendetailkan pelaksanaan pasal-pasal sebagaimana tercantum di dalam UU Sisbuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun