Saat itulah saya mendirikan Pusat Informasi dan Kajian Perbukuan (Pikbuk) yang diniatkan menjadi sebuah lembaga perbukuan independen. Bersama beberapa orang sukarelawan, kami menyelenggarakan pelatihan penerbitan pertama di sekretariat Ikapi Jabar dengan menghadirkan Ibu Sofia dan Mas Putut Widjanarko sebagai pembicara, termasuk saya yang baru belajar berbagi.
Ada satu nama yang menjadi peserta. Mungkin Anda ingat Jonriah Ukur (Jonru)? Ya, itu cerita lama sekali jauh sebelum Jonru terkenal seperti saat ini. Dunia buku yang khas kadang memang sempit. Orangnya itu-itu juga yang setelah masuk lingkaran penulisan-penerbitan, anehnya tidak mampu lepas dari situ. Namun, yang pasti terjadi akan berganti setiap generasi. Saya menjadi kloter selanjutnya yang kecemplung di dunia buku setelah ketiga dosen saya tadi.
Seiring waktu berjalan, entah berapa lembaga saya dirikan terkait dengan penulisan-penerbitan. Saya pun tidak ingat lagi entah sudah berapa kali saya berbagi di seluruh Nusantara. Mungkin sudah ratusan kelas dan ribuan audiensi sejak tahun 2000. Saya benar-benar kecanduan untuk berbagi tentang dunia penulisan-penerbitan sampai-sampai saya minta privilege untuk soal ini saat masih aktif bekerja. Satu hal yang berkesan yaitu pada tahun 2011 saya diundang menjadi pemakalah dalam Seminar Editor Malaysia yang diselenggarakan Persatuan Editor Malaysia.
Tahun 2012, saya memutuskan menjadi writerpreneur murni dengan menggantungkan hidup saya dari pekerjaan menulis dan berbagi tentang menulis di mana pun. Saya tidak pernah kapok meskipun beberapa lembaga yang saya dirikan akhirnya lenyap bersama waktu.
Akhirnya, tahun 2016 ini saya mendirikan Institut Penulis Indonesia (Inspena). Saya kira ini menjadi lembaga terakhir yang saya dirikan di bidang pendidikan dan pelatihan penulisan-penerbitan. Saya memang sedang berjuang menjadikan penulisan dan penyuntingan sebagai nomenklatur pendidikan vokasi yang diakui di Indonesia. Ujungnya saya memimpikan adanya sertifikasi penulis dan sertifikasi editor di Indonesia.
***
Dalam suatu acara perbukuan, Bondan Winarno, mengkritik judul acara bertajuk penerbitan buku serius. Menurutnya, menulis buku itu saja sudah serius, lalu bagaimana boleh ada dikotomi buku serius dan buku tidak serius? Hadirin tersenyum dan ada yang tertawa. Itu canda intelektualnya Pak Bondan soal keseriusan.
Nah, meskipun jalur hidup saya berbagi tentang penulisan dan penerbitan ini seperti canda orang yang menekuni sebuah profesi karena tidak sengaja, tetaplah saya mengenang bagaimana membangun keseriusan tingkat tinggi dalam bidang ini. Hanya sekira enam orang dari 55 orang teman seangkatan saya di Prodi D-3 Editing Unpad yang kini masih berkiprah di dunia penulisan dan penerbitan. Sisanya bertebaran dalam bidang pekerjaan lain. Tentulah tidak mengherankan.
Namun, salah seorang teman yang baru tadi pagi saya temui dan kini bekerja sebagai manajer perusahaan ekspor-impor internasional berkata, "Beng, meski aku kerja di luar penerbitan, tapi ilmu editing ternyata berguna. Aku pake untuk buat laporan dan presentasi."