Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Candaku dan Canduku di Dunia Buku

30 September 2016   21:54 Diperbarui: 30 September 2016   22:18 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Awal karier sebagai penulis buku (Foto: Dok. pribadi).

Suatu siang di Pondok Indah Mall, saya lupa tanggal dan tahunnya, namun saya ingat betul janji bertemu dengan seseorang yang tidak asing lagi di dunia pelatihan dan penulisan. Dialah Andrias Harefa, penulis beberapa buku laris. Saat itu saya masih aktif berkiprah di lingkungan MQ Corp. sebagai Direktur MQS Publishing.

Jungkir balik saya dalam dunia penerbitan buku ternyata menarik minat Mas Andrias untuk bertemu dan mengobrol soal pelatihan penulisan.

“Apa benar bisa, Mas, menulis buku dilatihkan dalam beberapa hari?” tanyanya.

“Bisa, Mas. Saya sudah mencobanya,” jawab saya mantap.

Mungkin Mas Andrias menganggap saya bercanda kala itu. Saya lalu menyerahkan kepadanya materi pelatihan "Menggagas Buku H48H" yang merupakan singkatan dari hanya 48 halaman. Pelatihan itu kali pertama diselenggarakan Kolbu (Komunitas Lintas Buku)--sebuah lini di MQS--yang diikuti 20 orang peserta selama dua hari satu malam. Sebagian besar dari peserta adalah para trainer berbagai bidang.

Dengan suatu metode, saya menggegas para peserta untuk menulis buku sepanjang 48 halaman. Pada akhir pelatihan, hanya satu orang yang tidak berhasil menyelesaikan bukunya. Pelatihan ini hanya dua kali sempat diselenggarakan Kolbu, setelah itu tidak pernah sampai kemudian saya taklagi di MQ. Salah seorang peserta pelatihan ini adalah Mbak Anny Muryadi yang berhasil menulis buku tentang berlian.

***

Kisah itu sebagai pengantar bagaimana dunia buku secara tidak terduga menjadi alur kehidupan saya setelah lulus SMA. Saya ibaratkan sebagai canda sekaligus candu. Saya sebenarnya lulus SMA dari jurusan fisika dan sudah bercita-cita akan terjun ke dunia teknik—mengikuti jejak ayah saya.

Awalnya saya ingin berkuliah di Medan, tempat saya mengenyam pendidikan SMA. Namun, abang saya yang sudah lebih dulu bekerja di Bandung meminta saya hijrah. Kesempatan ke Bandung saya kuatkan dengan tekad masuk ITB melalui UMPTN. Namun, keraguan menyergap juga: Apakah saya mampu lolos UMPTN?

Tuhan seperti bercanda dengan saya tentang pilihan hidup. Sembari menanti hasil UMPTN, sebuah pengumuman terbaca di koridor Fakultas Sastra di Kampus Unpad. Isinya tentang dibukanya pendaftaran ujian masuk Prodi D-3 Fakultas Sastra Unpad. Satu prodi bertajuk Editing (Penyuntingan) menarik minat saya dan itu ada di Jurusan Bahasa Indonesia. Akhirnya, saya mendaftarkan diri demi berjaga-jaga jika gagal UMPTN. Saya tidak ingin sia-sia datang jauh-jauh.

Benar saja saya gagal masuk ITB, tetapi malah diterima di Prodi D-3 Editing Unpad. Itulah awal tujuan hidup saya berbelok drastis dari keinginan berkiprah di dunia teknik, malah masuk ke dunia bahasa dan sastra serta lebih khusus lagi dunia penerbitan. Untungnya masih ada bau-bau “teknik”-nya yaitu teknik menulis dan teknik menyunting. Itulah saya kira Tuhan sedang mencandai saya dengan pilihan ini bahwa takdir saya selanjutnya adalah menjadi tukang editor bukan tukang insinyur.

Manusia Langka dengan Ilmu Langka

Menulis buku saja tidak pernah terpikirkan dalam hidup saya setelah lulus SMA, apalagi menjadi editor buku. Makhluk apa itu editor buku? Sampai kemudian pada masa orientasi mahasiswa baru, beberapa orang dosen dan senior saya menjelaskan bahwa kelak kami yang masuk Prodi Editing ini akan menjadi “manusia langka” yang disebut editor buku.

Wajarlah jika kami yang masuk ke Prodi Editing itu benar-benar gelap—sampai tidak yakin ada masa depan cerah di situ. Dari sebuah literatur yang saya baca bahwa hasil survei di Amerika menunjukkan 98% editor di sana tidak pernah mencita-citakan diri sebagai editor sebelumnya. Sebagian besar menjadi editor karena kebetulan ataupun melanjutkan tradisi keluarganya  dan hanya 2% yang menjadi editor karena menekuni pendidikan editing. Jadi, di negara maju juga profesi editor tidak begitu populer dibandingkan profesi wartawan misalnya.

Walaupun demikian, di negara-negara maju, penulisan dan penyuntingan (writing and editing) telah menjadi nomenklatur pendidikan vokasi untuk jenjang non-degree hingga D-3. Adapun ilmu penerbitan (publishing science) diadakan pada jenjang S-1 hingga S-3. Fakultas Sastra Unpad kala itu menjadi satu-satunya perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi editing sejak tahun 1988. Saya yang masuk tahun 1991 menjadi angkatan ke-4 dan kala itu ada 55 orang mahasiswanya.

Pada semester satu, saya mulai terkesan dengan ilmu dan keterampilan yang diajarkan. Di Prodi D-3 Editing diajarkan gabungan ilmu dan keterampilan, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, komposisi (mengarang dan menulis), ilmu penerbitan, ilmu grafika, ilmu desain komunikasi visual, ilmu perpustakaan, hingga ilmu komunikasi. Anggapan pertama akan belajar melulu bahasa dan sastra Indonesia pun buyar.

Memang benar-benar langka dan ditambah lagi dengan kekaguman saya terhadap para dosennya. Saya ingat tiga orang dosen yang sangat berpengaruh menguatkan niat saya menceburi dunia baru ini. Pertama adalah Pak Dadi Pakar (almarhum). Beliau sempat mengenyam pendidikan teknik elektro di ITB, tetapi kemudian banting stir menjadi editor buku dan pakar perbukuan.

Kedua adalah Bu Sofia Mansoor yang kini masih eksis sebagai editor dan penerjemah lepas. Bu Sofi, begitu kami biasa menyapanya, pernah menjadi Kepala Penyunting di Penerbit ITB. Beliau adalah lulusan Farmasi ITB yang juga “melenceng” ke dunia buku. Dari beliau, saya menancapkan mimpi untuk mengunjungi Frankfurt Book Fair. Takdirnya pada tahun 1999 saya kali pertama berangkat ke Frankfurt Book Fair justru dengan Bu Sofi.

Ketiga adalah Pak Wilson Nadeak yang dikenal sebagai wartawan dan sastrawan. Karyanya dulu banyak menghias koran Sinar Harapan dan Suara Pembaruan, juga tabloid Mutiara. Saat berkunjung ke rumahnya di Bandung, ia menunjukkan kepada saya semua barang di rumahnya berasal dari tulisan.  Lantai marmer, lemari pendingin, televisi, dan banyak lagi semua berasal dari tulisan. Satu per satu ia sebutkan asalnya hingga menjadi inspirasi buat saya untuk juga hidup dari menulis.

Pak Dadi Pakar, Bu Sofia, Pak Wilson Nadeak, dan beberapa dosen saya lainnya saya anggap manusia-manusia langka dengan ilmu langka. Kompetensi dan pengalaman itu membuat mereka diundang berbagi ke mana-mana, termasuk mendapat kesempatan ke luar negeri. Saya langsung menemukan model untuk karier saya selanjutnya pada ketiga orang guru saya itu. Model yang kemudian saya gabungkan. Saya ingin menjadi penulis, editor, pelatih, dan pakar di bidang penulisan dan penerbitan.

Dari Pikbuk ke Institut Penulis Indonesia

Saya merintis karier awal sebagai penulis buku pelajaran saat menikmati masa menganggur selama setahun setelah lulus tahun 1994 . Tahun 1995 saya diterima bekerja sebagai copy editor di Penerbit Remaja Rosdakarya.  Di dunia kerja saya merasakan bahwa ilmu dari kuliah itu hanya 40% yang saya serap, sisanya sebanyak 60% justru terserap dari dunia kerja.

Memasuki milenium baru yaitu tahun 2000 itulah awal saya mulai berani berbagi dalam dunia penulisan dan penerbitan setelah saya menulis beberapa buku. Pada tahun itu juga saya menerbitkan buku berjudul Menggagas Buku melalui penerbitan milik sendiri bernama Bunaya Kreasi Multidimensi. Buku itu ternyata menginspirasi banyak orang, termasuk Kang Abik yang mengenali saya dari buku itu.

Saat itulah saya mendirikan Pusat Informasi dan Kajian Perbukuan (Pikbuk) yang diniatkan menjadi sebuah lembaga perbukuan independen. Bersama beberapa orang sukarelawan, kami menyelenggarakan pelatihan penerbitan pertama di sekretariat Ikapi Jabar dengan menghadirkan Ibu Sofia dan Mas Putut Widjanarko sebagai pembicara, termasuk saya yang baru belajar berbagi.

Ada satu nama yang menjadi peserta. Mungkin Anda ingat Jonriah Ukur (Jonru)? Ya, itu cerita lama sekali jauh sebelum Jonru terkenal seperti saat ini. Dunia buku yang khas kadang memang sempit. Orangnya itu-itu juga yang setelah masuk lingkaran penulisan-penerbitan, anehnya tidak mampu lepas dari situ. Namun, yang pasti terjadi akan berganti setiap generasi. Saya menjadi kloter selanjutnya yang kecemplung di dunia buku setelah ketiga dosen saya tadi.

Seiring waktu berjalan, entah berapa lembaga saya dirikan terkait dengan penulisan-penerbitan. Saya pun tidak ingat lagi entah sudah berapa kali saya berbagi di seluruh Nusantara. Mungkin sudah ratusan kelas dan ribuan audiensi sejak tahun 2000. Saya benar-benar kecanduan untuk berbagi tentang dunia penulisan-penerbitan sampai-sampai saya minta privilege untuk soal ini saat masih aktif bekerja. Satu hal yang berkesan yaitu pada tahun 2011 saya diundang menjadi pemakalah dalam Seminar Editor Malaysia yang diselenggarakan Persatuan Editor Malaysia. 

Tahun 2012, saya memutuskan menjadi writerpreneur murni dengan menggantungkan hidup saya dari pekerjaan menulis dan berbagi tentang menulis di mana pun. Saya tidak pernah kapok meskipun beberapa lembaga yang saya dirikan akhirnya lenyap bersama waktu. 

Saat menjadi pemakalah di Seminar Editor Malaysia 2011 (Foto: Dok. Pribadi)
Saat menjadi pemakalah di Seminar Editor Malaysia 2011 (Foto: Dok. Pribadi)
Percikan api semangat saya temukan pada kutipan kata-kata Dan Poynter yang dijuluki god father ribuan buku di Amerika. Ia bilang, “Writing is not a job; it’s a business!” Poynter termasuk pembicara kelas dunia dalam soal menulis buku, terutama terkait self-publishing yang membuka mata saya hingga saya memunculkan sebuah jargon, "Tidak ada satu pun bidang di dunia ini yang dapat lepas dari tulis-menulis."

Akhirnya, tahun 2016 ini saya mendirikan Institut Penulis Indonesia (Inspena). Saya kira ini menjadi lembaga terakhir yang saya dirikan di bidang pendidikan dan pelatihan penulisan-penerbitan. Saya memang sedang berjuang menjadikan penulisan dan penyuntingan sebagai nomenklatur pendidikan vokasi yang diakui di Indonesia. Ujungnya saya memimpikan adanya sertifikasi penulis dan sertifikasi editor di Indonesia.

***

Dalam suatu acara perbukuan, Bondan Winarno, mengkritik judul acara bertajuk penerbitan buku serius. Menurutnya, menulis buku itu saja sudah serius, lalu bagaimana boleh ada dikotomi buku serius dan buku tidak serius? Hadirin tersenyum dan ada yang tertawa. Itu canda intelektualnya Pak Bondan soal keseriusan.

Nah, meskipun jalur hidup saya berbagi tentang penulisan dan penerbitan ini seperti canda orang yang menekuni sebuah profesi karena tidak sengaja, tetaplah saya mengenang bagaimana membangun keseriusan tingkat tinggi dalam bidang ini. Hanya sekira enam orang dari 55 orang teman seangkatan saya di Prodi D-3 Editing Unpad yang kini masih berkiprah di dunia penulisan dan penerbitan. Sisanya bertebaran dalam bidang pekerjaan lain. Tentulah tidak mengherankan.

Namun, salah seorang teman yang baru tadi pagi saya temui dan kini bekerja sebagai manajer perusahaan ekspor-impor internasional berkata, "Beng, meski aku kerja di luar penerbitan, tapi ilmu editing ternyata berguna. Aku pake untuk buat laporan dan presentasi."

Benar, editing is believing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun