Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Digital War Buku Pelajaran

22 Juli 2016   00:25 Diperbarui: 4 April 2017   16:13 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konon pada zaman Mendikbud Fuad Hassan, praktik ini dimaklumi. Lalu, penerbit mengabaikan toko-toko buku sebagai perantara penjualan. Sebagai gantinya adalah sistem penjualan langsung (direct selling) menyubur. Toko-toko buku pun kemudian pingsan dan akhirnya mati. Kondisi ini digambarkan sebagai lingkaran setan buku pelajaran yang sulit diselesaikan. Ibarat memakan buah simalakama.

Tahun Ajaran Baru dalam Kebingungan

Boleh dibilang 2016 adalah tahun ajaran baru dalam kebingungan. Ada tiga versi kurikulum yang tersedia, yaitu KTSP yang tahun lalu digunakan kembali bagi sekolah yang belum siap menggunakan K13, lalu K-13 versi lama, dan kini Mendikbud telah mengesahkan K13 revisi.

Para penerbit swasta yang masih berkiprah, secara umum menerbitkan buku pelajaran KTSP dan sebagian kecil menerbitkan buku K-13 versi lama. Buku yang disiapkan pemerintah juga adalah buku K-13 versi lama. Jelas tidak akan ada yang sanggup menyiapkan buku K-13 revisi karena pengesahannya terjadi dalam masa injure time tahun ajaran baru 2016.

Bingung atau masih setengah sadar soal kurikulum, banyak sekolah juga menangkap samar-samar soal mekanisme pembelian buku melalui toko daring ini. Seperti dikutip Kompas, ada kepala sekolah yang masih ragu membelanjakan dana BOS untuk membeli buku. Di sisi lain, dinas pendidikan setempat malah mengatakan mereka belum mendapatkan informasi terkini dari Kemdikbud.

Ketua Umum Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia, Cucu Saputra mengatakan bahwa otoritas menentukan buku ada di sekolah/guru. Buku yang dipilih harus lolos penilaian Kemdikbud. 

Pernyataan tersebut tampaknya rancu dan membingungkan karena buku yang ada di toko buku daring itu bukan buku penerbit swasta, melainkan buku yang dibuat pemerintah. Tentulah buku itu sudah dinyatakan layak pakai dan tidak dinilai Kemdikbud karena dibuat Kemdikbud sendiri. Pada masa Mendikbud Muhammad Nuh, penerbit swasta sudah tidak diminta mengajukan penilaian buku pelajaran SD dan SMP. Penerbit swasta hanya dapat berpartisipasi dalam penilaian buku peminatan untuk jenjang SMA/MA. 

***

Kebijakan dan mekanisme pembelian buku pelajaran secara daring ini boleh jadi mulia seperti diungkapkan Sekjen Kemdikbud bahwa "tujuan pembelian buku teks K13 secara daring antara lain agar transaksi dilakukan secara transparan. Dengan demikian, penggunaan dana BOS lebih akuntabel". 

Dari sisi buku pelajaran tidak lagi membebani peserta didik dan orangtua jelas itu sudah teratasi. Dari sisi konten pastilah ada sedikit turbulensi ketika K13 revisi sudah siap digunakan, bukunya malah masih K13 lama.

Namun, terjadinya digital war dengan peluru rabat di lapangan antartoko buku daring, siapa yang dapat mengontrol? Transaksi dapat transparan, tetapi perbuatan dapat disamarkan. Sedikit banyak digital war ini akan berpengaruh terhadap kecepatan penyediaan buku untuk proses belajar mengajar karena kepala sekolah wait and see. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun