Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Digital War Buku Pelajaran

22 Juli 2016   00:25 Diperbarui: 4 April 2017   16:13 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kompas 21/7/2016 memberi judul lunak soal penjualan buku pelajaran K13 yang digagas pemerintah, dalam hal ini Kemdikbud. Berita berjudul "Pembelian Masih Terkendala" mengurai masalah yang mencuat terkait penjualan buku pelajaran melalui sistem pemasaran digital alias menggunakan toko buku daring (online). Adalah Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yang memberi hak kepada toko daring terpilih guna menjual buku pelajaran K13.

Sepuluh toko daring yang lolos seleksi berhak menjual buku pelajaran K13 buatan pemerintah tersebut. Bak pendekar yang sudah direstui untuk bertarung di arena bebas, kesepuluh toko daring menggelar digital war buku pelajaran demi mendapatkan porsi dana BOS dari tiap sekolah. Mengapa toko buku daring itu tidak diberi jatah per wilayah saja demi mencegah pertumpahan darah? Jelaslah bahwa wilayah Indonesia pun tidak semua sama; ada wilayah basah dan kering.

Awal Periode Kelam Penerbit Buku Pelajaran

Buku pelajaran K13 versi pemerintah adalah buku yang diproduksi (digagas, ditulis, diedit, didesain oleh tim) sendiri, lalu dikuasai hak ciptanya. Ide pemerintah terlibat dalam produksi buku pelajaran sendiri ini bermula sejak zaman Mendiknas Bambang Sudibyo. Mendiknas meluncurkan program BSE (buku sekolah elektronik) dengan cara menilai buku pelajaran dari penerbit swasta, lalu "memaksa" untuk dialihkan hak ciptanya selama 15 tahun.

Dengan penguasaan terhadap hak cipta tersebut maka Depdiknas kala itu mulai menggagas proyek ambisius buku sekolah elektronik (BSE). Digitalisasi menjadi semangat untuk menjadikan buku berharga nol karena tinggal mengunduh. Rupanya soal unduh-mengunduh ini tidaklah mudah  karena faktor internet yang lelet serta juga menghabiskan uang untuk mencetak melalui printer. Kala itu, tablet juga belum secanggih kini dan aplikasi e-book reader juga tidak banyak.

Saya salah seorang "korban" BSE. Buku saya berjudul Saya Ingin Mahir Berbahasa Indonesia (SIMBI) untuk SD yang diterbitkan Grafindo Media Pratama lolos dalam penilaian Puskurbuk. Namun, Grafindo menolak menjual hak ciptanya kepada pemerintah.

Alih-alih membuat buku digital, Depdiknas malah memaklumkan fail PDF buku yang sudah dikuasai hak ciptanya itu boleh dicetak dan dijual oleh siapa pun. Penerbit dilarang menjual buku terbitannya ke sekolah-sekolah. Sekolah, terutama negeri diharuskan membeli buku BSE yang sudah dinyatakan lolos penilaian dan hak ciptanya dibeli pemerintah. Di sini pemerintah mengeluarkan kartu trufnya, harga buku pun menggunakan mekanisme HET (harga eceran tertinggi) sehingga dipatok semurah mungkin.

Para penerbit buku pelajaran yang bukunya tidak ikut penilaian atau bukunya lolos penilaian, tetapi tidak dijual ke pemerintah, dibuat pingsan. Lalu, beberapanya mati pelan-pelan karena tidak mampu bersaing lagi. Itulah awal periode kelam penerbit buku pelajaran.

TItik Nadir Penerbit Buku Pelajaran

Isu buku pelajaran memang "seksi" sekaligus menjadi lagu lama yang tidak enak terdengar setiap tahun ajaran baru. Karena itu, isu ini juga menarik dipolitisasi. Siapa pun pemerintah yang mampu menyelamatkan para orangtua dari kewajiban membeli buku pelajaran maka tentu mendapat rapor biru dari rakyat. Buku pelajaran digratiskan.

Tahun ini isu buku pelajaran sebagai beban bagi orangtua itu surut karena pemerintah sudah bersiap kembali menggratiskannya. Selama dua periode Presiden SBY dan sekarang memasuki periode Presiden Jokowi, buku pelajaran yang diproduksi dan dijual penerbit swasta hanya memanfaatkan celah-celah di sekolah-sekolah swasta ataupun sekolah-sekolah dengan ekspektasi terhadap kualitas yang tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun