Mohon tunggu...
Bambang Syairudin
Bambang Syairudin Mohon Tunggu... Dosen - Kilas Balik 2024, Alhamdulillah PERINGKAT #1

========================================== Bambang Syairudin (Bams), Dosen ITS ========================================== Kilas Balik 2023, Alhamdulillah PERINGKAT #1 dari ±4,7 Juta Akun Kompasiana ========================================== Kilas Balik 2024, Alhamdulillah PERINGKAT #1 dari ±5,3 Juta Akun Kompasiana ==========================================

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kembang Sepatu Situ Panjalu

17 Maret 2021   14:14 Diperbarui: 15 April 2021   21:57 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

dari kawali kulintasi lapangan  alba

alpa kupikuli bahu hulu lembahnya hampa

timbai air ngarai embun tegalan tanah

sawah basahkah asalnya rasa merekah

mega gunung menuntun guguran mendung 

menggulung  aras cemas hawa mendengung 

berlari  ke ujung situ pula pulau sempuyung

di bojong sereh ciomas

lepas kelupas ku lekas

hatiku  ngaruwas ngahuleng

diremasi ruas risau kuliti kayu gung

bagai capung mengapung mengawang limbung

lunglai lompati segelembung kapundung  renung

rinduku tembus ke lambung

kucarikau dengan terhuyung

rintik  gerimis  membias

tak kunjung tempias gegas

mengemas menghempas

haus rinduku luas tak cukup segelas

tak bakalan bisa kautampung puas

bahkan sampai  usiamu pulas

pupus aus tergerus nyalak menjalak

deras arus gejolak isak menguak

tersengal sesal mengganjal sesak

hingga ajal tamatkan selepas napas

tak jua kan tuntas kaumenguraskan cemas

di situ panjalu kembang sepatu

sewarna merah rekahan bibirmu

ada sebongkah cinta sirna musnah

tumpah menghibah dijajah  dicacah

jantung hati  sebilah terbelah belah

pecah diurai  pasrah  menyerah

kecewa  tak hidup sudah

di kedalaman ngungun resah

entah mengapa tak segera kambuh  gairah

cinta di dada mendadak tumbuh susah

isak tangismu menggerumbulkan rebah

di balik semai semi kembang sepatu itukah

sosok wajahmu menyembulkan bisu lemah

tertoreh di punggung batu pahatkan  kisah

bergambar  jantung hatimu  berwarna  merah

ditembusi hitam warna panah pas ditengah

setia janjimu janjiku jadikan prasasti nan indah  

ada namaku di situ

ada namamu di bawahku

kini kusepi diranah rantauan resah

hanya derap rindumu melengang

mengunggah wadah ruah gelisah

kuminta

biarkanlah selembar bayangku

kutaruh di pojok lumbung ngungunmu

tak mengapa kuterkurung

perdu ilalang kampung

tak usah engkau toleh  itu riak semarak katak

di danau itu ketika kita berdua  nyemplung 

girang bersenandung 

gelak tawa kitapun nyambung

kini disitu 

hanya cemasku saja ngariung

terayun di serbuk pucuk pucuk 

sari bunga  bisu  tergolek sangsi

menapaki tilas napas semak cinta

yang pernah melekat erat sekali

di alas sepatu lawasku ini

kaupinta agarku sedia dekati

sekuntum kembang sepatu disampingmu

didepanku engkau polos merajuk melucu

melenggak lenggok  riangkau manis sekali

aroma wangi tubuhmu memijarkan

setiap lampu lampu di suryalaya

lesung pipit di pipimu tenggelamkan

purnama dan malangbongpun tak jadi sunyi

canda guraumu  riuhkan pamoyanan ramai

hingga  barisan angsa sama sama menepi

pejaman sipit matamu padamkan sekam

jerami di bumi alit ngahiji mimiti muji 

pelukan pesonamu bak hamparan

selimut  satin asmarakandi

senyum indahmu begitu lugu

beradu dengan derai tawamu

terus saja engkau mengisi renyah

terus saja engkau mengunyah bungah

di kembang kempisnya paruku

dalam resapan serak suara seruanmu

mengiris habis lukai sisai kuyu

lalu kaupinta lagi

rapihkan ungu kembang sepatu 

di selipan lembutnya telingamu

kudengarlah  sebening itu  nyaring

gemerincing denting detak cinta di nadimu

di situ engkau sedang asik iseng berbincang sendiri

mengajak bicara darahku  yang ngalir di jantungmu

kini inginku kembali melihat kembang sepatu situ panjalu

yang dulu selalu hiasi kebun samping rumah panggungmu 

kini dirimu tlah menyendiri membisu

mengasingkan  sepi  di pinggul bukit

atap makammu terlihat   kelam 

mencegat mimpi mimpi indah di langit

dan cat  kusam dinding kayumu

telah  rabun dimakan rayap rayap sakit 

merana diantara masa lalu kita 

yang teramat sangat  pahit

pada takdir pilu

ruang hidup makin menyempit

tunggui lama setia

diantara sela pilihanmu  makin menjepit

disini, di jalan setapak ini

sepasang kaki indahmu pernah

bercumbu di pancuran lumut batu

bunyikan  riangmu  di bulu  jembatan bambu

dari kejauhan   masih kudengar sambutan  rindumu

mengiang sayup sayup berlari ke arahku dan selalu

desahmu sudah  terlebih dahulu

melangkah sampai

masuki lorong lorong

udara muksa sejarah

lewati kenangan indah

tertimbun gundukan tanah

dan

tibatiba

sekuntum kembang sepatu

kau ulurkan dari kelam tidurmu

oleh mendiang tanganmu

menerobos ruang waktu 

situ panjalu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun