Dengan mengacu pada pasal di atas, maka pada prinsipnya guru-guru di sekolah yang bersangkutan ikut bertanggung jawab atas perbuatan kakak kelas terhadap siswa baru atau adik kelasnya.
Contoh Kasus:Â
Sebagai contoh, penerapan salah satu pasal yang diuraikan di atas dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor 129/PID.Sus/2013/PN.Bi. Dalam putusan tersebut, diketahui bahwa terdakwa adalah kakak kelas dari korban yang bersekolah di sekolah yang sama.Â
Terdakwa melakukan kekejaman, kekerasan, atau ancaman kekerasan, serta penganiayaan terhadap adik kelasnya dengan cara memukul korban di bagian bawah mata dan di kepala bagian depan hingga berdarah.Â
Berdasarkan hasil Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS), sebenarnya pihak keluarga dan sekolah berupaya agar permasalahan ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Pihak sekolah sudah berusaha untuk mendamaikan permasalahan ini dan menganggap persoalannya telah selesai, sehingga korban maupun terdakwa dapat belajar dengan tenang.Â
Namun, akhirnya kasus ini berlanjut hingga ke pengadilan. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "melakukan penganiayaan terhadap anak" berdasarkan Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak dan hakim menjatuhkan sanksi tindakan kepada terdakwa berupa mengembalikan kepada orang tua.
Dampak Psikologis dan Sosial:Â
Penghukuman ini dapat menyebabkan dampak jangka panjang seperti rendahnya rasa percaya diri, gangguan kecemasan, dan masalah sosial lainnya. Siswa yang mengalami penghukuman ini mungkin merasa terisolasi dan tidak nyaman di lingkungan sekolah, yang dapat mempengaruhi prestasi akademis dan kesejahteraan mereka secara keseluruhan.
Bagian 3: Perspektif Hukum dan Etika
Peraturan Sekolah: Banyak sekolah memiliki aturan yang melarang penghukuman fisik dan verbal terhadap siswa. Aturan ini biasanya tercantum dalam tata tertib sekolah atau kebijakan anti-kekerasan yang dirancang untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan mendukung. Namun, implementasi aturan ini sering kali lemah karena beberapa alasan:
- Kurangnya Pengawasan: Pengawasan yang tidak memadai dari pihak sekolah dapat menyebabkan pelanggaran aturan tidak terdeteksi atau tidak ditindaklanjuti dengan serius.
- Budaya Sekolah: Di beberapa sekolah, budaya penghukuman mungkin sudah mengakar dan dianggap sebagai cara yang sah untuk mendisiplinkan siswa. Hal ini membuat aturan yang ada sulit diterapkan.
- Kurangnya Pelatihan: Guru dan staf sekolah mungkin tidak mendapatkan pelatihan yang memadai tentang metode disiplin yang positif dan cara menangani konflik tanpa menggunakan kekerasan.
- Ketidakjelasan Aturan: Aturan yang tidak jelas atau tidak spesifik dapat menyebabkan kebingungan tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak. Ini bisa membuat guru dan siswa tidak yakin tentang batasan-batasan yang ada.
Pandangan Hukum: Secara hukum, tindakan penghukuman yang berlebihan dapat dianggap sebagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa ketentuan hukum yang relevan meliputi:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Penghinaan dan kekerasan fisik terhadap siswa dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan pasal-pasal yang mengatur tentang penghinaan (Pasal 315) dan penganiayaan (Pasal 351).
- Undang-Undang Perlindungan Anak: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak. Pasal 76C UU 35/2014 menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan terhadap anak, dan Pasal 80 menetapkan sanksi pidana bagi pelanggar.
- Hak Asasi Manusia: Penghukuman yang berlebihan melanggar hak asasi manusia yang diakui secara internasional, termasuk hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia.
Etika Pendidikan: Dari perspektif etika, penghukuman bertentangan dengan prinsip pendidikan yang seharusnya mendukung perkembangan positif siswa. Beberapa prinsip etika yang relevan meliputi:
- Kesejahteraan Siswa: Pendidikan harus memprioritaskan kesejahteraan fisik dan mental siswa. Penghukuman yang berlebihan dapat menyebabkan trauma, stres, dan rasa takut, yang semuanya merugikan kesejahteraan siswa.
- Pengembangan Karakter: Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan karakter siswa, termasuk nilai-nilai seperti rasa hormat, tanggung jawab, dan empati. Penghukuman yang keras tidak mendukung pengembangan nilai-nilai ini dan malah dapat menanamkan rasa dendam dan kebencian.
- Lingkungan Belajar yang Positif: Sekolah harus menjadi tempat yang aman dan mendukung di mana siswa merasa dihargai dan didorong untuk belajar. Penghukuman yang berlebihan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif untuk belajar dan dapat menghambat prestasi akademis siswa.
- Keadilan dan Kesetaraan: Etika pendidikan menekankan pentingnya perlakuan yang adil dan setara terhadap semua siswa. Penghukuman yang berlebihan sering kali tidak adil dan dapat memperburuk ketidaksetaraan di dalam sekolah.