Pasal tentang penganiayaan anak ini diatur khusus dalam Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi:
“Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.”
Sementara, sanksi bagi orang yang melanggar pasal di atas (pelaku kekerasan/penganiayaan) ditentukan dalam Pasal 80 UU 35/2014:
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
Ditinjau Berdasarkan Hukum Perdata:
Namun, dilihat dari segi hukum perdata, dalam kasus tersebut, tindakan kakak kelas terhadap siswa baru atau adik kelas dapat berpotensi merugikan. Pihak sekolah atau guru-guru juga bisa dimintai pertanggungjawaban atas kerugian tersebut. Hal ini karena menurut Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata, seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
Pasal 1367 ayat (4) KUH Perdata berbunyi:
“Guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang ini berada di bawah pengawasan mereka.”