Kemungkinan yang kedua adalah penghukuman itu dilakukan tidak saat MOS, melainkan pada waktu biasa. Penghukuman ini bisa terjadi dalam berbagai situasi sehari-hari, seperti saat siswa melanggar aturan sekolah atau tidak memenuhi ekspektasi kakak kelas.
Bentuk Penghukuman:
Bentuk penghukuman di luar MOS bisa beragam, mulai dari hukuman fisik, verbal, hingga sosial seperti pengucilan atau intimidasi. Misalnya, siswa baru atau adik kelas bisa dimaki-maki dengan kata-kata yang menyakitkan atau dipaksa melakukan tugas-tugas yang merendahkan. Contoh siswa baru atau adik kelas “disiksa” dengan cara disuruh push up 100 kali oleh kakak kelas. Mengingat siswa baru berusia saat ini masih di bawah 18 (delapan belas) tahun sehingga dikategorikan sebagai anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 35/2014).
Ketentuan Pidana dan Perdata:
Terkait hal ini, ada ketentuan pidana dan perdata yang dapat diterapkan. Jika penghukuman berupa makian yang menyakitkan, dan bukan dengan “menuduh suatu perbuatan”, maka dapat dikategorikan sebagai penghinaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini menyatakan:
“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Menurut R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, untuk dapat dikatakan sebagai penghinaan ringan, maka perbuatan itu dilakukan tidak dengan jalan “menuduh suatu perbuatan”. Penghinaan yang dilakukan dengan “menuduh suatu perbuatan” termasuk pada delik penghinaan (lihat Pasal 310 KUHP) atau penghinaan dengan tulisan (lihat Pasal 311 KUHP). Penghinaan yang dilakukan dengan jalan selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “bajingan” dan sebagainya, dikategorikan sebagai penghinaan ringan.
Secara perdata:
Orangtua juga dapat meminta ganti rugi materiil melalui gugatan perdata. Dengan bukti adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) mengenai pidana tersebut, dapat diajukan gugatan perbuatan melawan hukum yang didasarkan pada ketentuan Pasal 1372 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang menyatakan:
“Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.”
Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak: