Karuan saja aku malu, kikuk, campur sewot dan salah tingkah. Hampir sepanjang acara, hatiku teraduk-aduk oleh perasaan-perasaan seperti itu. Namun tak lama kemudian, sekujur jiwa ragaku penuh dengan kebahagiaan. Wow, kenapa?
Karena dalam testimoni singkatnya di hadapan para undangan yang terbatas itu, Edu mendeklarasikan pertobatannya. Ia telah bulat meninggalkan dunia okultisme yang sebelumnya amat digandrunginya. Segala macam mantra, azimat dan pernak-pernik kleniknya telah dibuangnya.
Sekarang, ia hanya ingin mempercayai, memuja dan menyembah Yesus Kristus saja. Dan Edu telah berkomitment untuk menjadi pengikut setia-Nya selamanya.
Ketika aku dan Widya berpamitan, Edu menanyaiku: "Bolehkah aku kunjung ke rumahmu lagi?"
"Edu, kamu adalah sahabatku. Kapan saja pintu rumahku terbuka untukmu!"
***
Puji Tuhan! Minggu pagi ini, Edu benar-benar mengunjungiku. Bahkan ia ikut beribadah bersamaku di gerejaku. Setelahnya, ia mentraktirku makan siang di sebuah kafe yang dulunya adalah kafe langganan kami berdua. Agaknya ia ingin membangkitkan kembali sentimentalitas masa lalu kami berdua.
"Pertobatanmu itu, menurutku adalah 'lompatan spiritual' yang terpuji. Bisa diceritain kembali prosesnya secara lebih lengkap dan kronologis?" pintaku.
Kemudian dengan antusias, Edu menceritakannya kepadaku:
Tiga bulan lalu, Edu harus dikarantina di rumah sakit akibat positif covid-19. Memasuki minggu ketiga, kondisinya nge-drop drastis. Ia dicengkeram ketakutan yang luar biasa. Selain upaya medis, ia kerahkan semua mantra dan ilmu gaibnya. Ia pun minta bantuan pada "mascot sesembahan"-nya, yang amat dipujanya itu. Namun hasilnya nol besar. Malah kian paranoid dan kritis.
"Hari itu, aku bener-bener hopeless! Seharian aku gemetaran dan menggigil hebat. Rasanya maut akan segera merenggut dan memagutku. Di titik yang paling gelap dalam hidupku itu, tiba-tiba aku ingat Sang Juruselamat. Lalu kupanggil nama-Nya, Yesus, tolonglah aku...!"