Bayangkan, Edu mengaku pengikut Kristus, tapi sekaligus gandrung pada klenik atau tahayul. Kadang sangat kristiani. Kadang rasional banget. Namun juga mistis berat. Apalagi kalau sudah kambuh kesukaannya yang meng-"othak-athik gathuk" segala sesuatu. Bagiku, itu menggelikan!
Dan yang paling menyebalkanku, ke mana pun ia pergi, selalu membawa sebuah benda kecil yang disebutnya sebagai "pengayom diri". Wujudnya dirahasiakan, tapi katanya itu bisa memberikan rasa percaya diri yang besar. Sebaliknya, tanpa benda keramatnya itu, ia akan merasa galau, tertekan bahkan limbung. Pantaskah pria semacam itu menjadi imam bagi keluargaku kelak?
Ketika terus kudesak agar dia mau meninggalkan semua berhalanya itu, jawabnya enteng saja: "Itu mungkin baru bisa terjadi, setelah aku mati."
"Maaf ya Widya! Meski dia tajir, pinter dan ganteng, gua gak bisa hidup dengan cowok yang mendua iman. Â Iman kepada Kristus, ya harus sepenuhnya! Gak boleh dicampuradukkan dengan yang lain...."
"Kan Alkitab juga menulis tentang keberadaan Iblis, setan-setan, jin-jin atau makhluk-makhluk roh yang gaib?" bela Widya.
"Kita memang percaya pada eksistensinya sebagai makhluk roh ciptaan Tuhan. Cuma itu saja! Gak boleh lebih! Kenapa? Karena mereka itu makhluk roh yang sangat jahat. Berontak terhadap Allah dan hancurkan hidup manusia. Sebab itu, kita sama sekali gak boleh tertarik, kagum dan berkolaborasi dengannya. Apalagi mengidolakan, memberhalakan dan mentaatinya. Kitab Suci dengan jelas dan tegas melarang: 'Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.'(Keluaran 20:3) dan ayat 5: 'Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya.....' Bahkan Perjanjian Baru memerintahkan kita untuk melawan Iblis. (Yakobus 4:7)"
"Jadi elu tetep mutusin hubungan kalian?" desaknya waktu itu.
"Selama dia masih kekeh dengan sinkretismenya, gua kagak sanggup jadi pacarnya! Namun sebagai sahabat, gua siap sampai kapan pun! Bukankah lebih baik putus sekarang, ketimbang putus sesudah jadi suami-istri?"
Aku tidak tahu seberapa jauh kecewanya Edu padaku. Namun yang jelas, justru Widya yang tampak kecewa banget padaku. Ia kecewa karena niat baiknya "menjodohkanku" dengan Edu, tak kesampaian.
Dalam konteks ini, ia memang bertindak sebagai matchmaker atau mak comblang. Tanpa kuminta, Widya lakukan itu untukku. Maksudnya sebagai balas budinya kepadaku. Sebab dulu yang memperkenalkan Koko kepadanya, sampai kemudian menjadi suaminya, adalah aku.
Namun, bukan Widya Amalia kalau dia gampang menyerah. Kegagalannya menjodohkanku dengan Edu, tak membuatnya patah arang. Setahun kemudian, ia mempertemukanku dengan Farid. Yang juga ganteng, cerdas dan sudah mapan karirnya. Tujuannya agar aku bisa berjodoh dengan cowok itu. Maka kami pun membangun sebuah pertemanan.