Kalau ada orang yang merasa gagap dalam hal cinta, mungkin aku adalah salah satunya! Malah salah seorang sahabatku sendiri, punya pendapat yang ekstrem tentangku. Aku disebutnya telah terkena kutukan cinta. Alasannya, rentetan kegagalan cintaku selama ini, merupakan buktinya.
Memang dalam umurku yang sudah 37 tahun ini, statusku masih saja bujangan. Sejauh ini, aku belum berhasil menemukan 'tulang rusukku' atau jodohku. Sementara teman-teman sebayaku, semuanya sudah berkeluarga. Bahkan ada pula yang sudah menduda dan menjanda.
Tentu saja, aku sama sekali tidak merasa sebagai seorang pria yang sedang terkutuk. Apalagi dalam urusan asmara. Bagiku, cinta itu indah, sakral dan kudus. Kehadirannya tak bisa dipaksakan. Tak bisa pula untuk dihentikan. Tapi cinta itu membahagiakan, menyatukan dan memuliakan. Kasih itu anugerah sorgawi yang agung. Sebab itu, pasti ia tidak akan menciderai, mencabik atau mengutuki.
Tentang kenapa sampai sekarang aku masih melajang? Tentu ada penjelasannya. Sejak SMA, aku memang telah menargetkan akan menikah setelah berusia 30 tahun. Itu pun, kalau sudah punya pekerjaan yang prospektif. Karena bagiku, berani berumah tangga, berarti harus berani mandiri. Minimal untuk kebutuhan sandang, pangan dan papan. Pantang menjadi beban bagi siapa pun. Termasuk jangan sampai menumpang di RMI. Atau Rumah Mertua Indah.
"Kamu sih, terlalu pilih-pilih!"
"Kalau menurutku, dia itu peragu banget. Kurang cepet ambil keputusan. Padahal dalam urusan lain, dia kelewat tegas."
"Kagak berani ambil resiko, sih!"
"Begitu ada getaran cinta, hajar saja Bro! Jangan banyak pertimbangan lagi!"
"Kalau gitu terus, loe kapan kawinnya? Padahal kawin itu enak, loh....!"
"Bisa-bisa ente nanti jadi bujang lapuk. Yang makin lama, makin sulit dapetin cewek...."
"Jangan kuatir, sobat! Nggak bisa gaet cewek, ya cari jamutik saja....!"
"Apa jamutik itu?"
"Janda muda cantik......"
Beberapa celotehan tersebut keluar dari mulut teman-temanku, saat hadiri syukuran ulang tahun Wahyu, akhir tahun lalu. Berbagai pertanyaan, komentar, sindiran dan dorongan yang senada dengan itu, telah biasa kuterima selama tujuh tahun ini. Namun karena semuanya faktual, dan mengandung kebenaran, aku cuma mesam-mesem saja menerimanya.
"Ente kan punya beberapa staf cakep yang masih jomblo? Atau karyawati kafe ente pun kan bening-bening semua? Pilih dong salah satunya!" saran Koko, temanku.
Sebagai salah seorang manajer di sebuah perusahaan PMA, aku memang punya beberapa orang staf wanita muda yang masih menjomblo. Parasnya pun rata-rata cantik. Di kafe (usaha sampinganku) pun, semua karyawatiku berwajah dan berpenampilan menarik. Kalau aku mau melamarnya, pasti ada yang mau menerimaku.
Tetapi, entah kenapa setelah umur 30 tahun, saat aku baru memulai proses pencarian calon permaisuriku, tiba-tiba aku dilanda keanehan. Tiba-tiba aku menjadi tidak tertarik terhadap para gadis. Sehingga selama tujuh tahun ini, tak seorang gadis pun yang coba kudekati. Sebaliknya, aku justru lebih tertarik pada para janda yang umurnya rata-rata lebih tua dariku.
"Jangan-jangan kamu mengidap oedipus complex." Celetuk Akbar, kakak sulungku.
Aku tidah tahu dan tidak mau tahu, tentang dugaan kakakku itu. Namun faktanya, selama ini, semua perempuan yang pernah akan kujadikan calon istriku, keempatnya berstatus janda yang umurnya lebih tua dariku. Dan sialnya, karena berbagai alasan, hubungan cintaku dengan mereka, semuanya kandas sebelum mencapai pelaminan.
Tetapi, aku masih sangat percaya, bahwa suatu saat, aku pasti akan bisa menggapai cinta sejatiku.
***
Apa yang kupercayai kini tampaknya akan segera menjadi kenyataan. Sebentar lagi cinta sejatiku akan segera kurengkuh. Jika Tuhan Yesus ijinkan, sebentar lagi seorang wanita ayu  akan menjadi pendamping hidupku. Dia memang sudah janda. Usianya pun lebih tua 8 tahun dariku. Tapi sejak dulu, aku memang telah mengaguminya.
Siapa dia? Dia adalah Bu Ana, yang sekarang kupanggil Mbak Ana. Wanita cantik, anggun dan intelek itu, tak lain adalah mantan guru Inggrisku di SMA. Dia adalah guru tercantik di sekolah kami. Aku tidak saja kesengsem akan kecantikannya. Tapi selalu terpukau pada setiap gerak gerinya.
"Kalau saja dia belum kawin, gua siap kok jadi pacarnya....." celetuk Tono, ketua kelasku.
"Jangankan eloe, aku pun juga mau! Andai sudah menjanda pun, aku tetep mau sama dia!" balasku tak mau kalah. Meski waktu itu, pernyataanku itu lebih ke guyonan saja.
Sejak lulus SMA, sesungguhnya aku sudah tak pernah bertemu lagi dengannya. Sehingga  sudah lama sekali aku tak tahu menahu apa pun tentangnya. Tapi tiga bulan yang lalu, secara tidak terduga, aku bertemu lagi dengannya di sebuah toko buku. Tentu saja, aku amat bersemangat dan berbahagia pada saat itu.
Yang aku salut, mantan guru cantikku itu, ternyata masih saja tampak cantik seperti yang dahulu. Hampir tak ada perubahan apapun pada penampilannya. Malah kian anggun, kian matang dan makin berwibawa. Ana memang seorang wanita yang mempesona.
Terus terang saja, kini hidupku lebih bergairah dan berwarna. Kenapa? Karena dalam tiga bulan ini, hampir setiap pekan aku mengunjunginya. Itu bisa terjadi, karena sekarang dia sudah menjadi wanita bebas, alias sudah menjanda. Setahun yang lalu suaminya telah meninggal dunia akibat penyakit yang diidapnya.
Mengingat umurku dan umurnya, aku pun gerak cepat. Kemarin, aku telah mengungkapkan niatku untuk memperistrinya.
"Aldo, pada dasarnya aku siap hidup bersamamu. Karena sejak dulu, kamu memang murid kesayanganku...." Jawabnya. Mendengar itu, kepala dan dadaku mendadak seperti membesar dan hampir meledak karena bahagia banget.
"Tapi ada satu syarat yang harus kamu penuhi. Yaitu ijin dan restu dari semua kakakmu..."
***
Puji Tuhan! Tiga orang kakakku sudah memberikan ijin dan sangat merestuiku. Bahkan akan mendukungku penuh. Tinggal Bang Akbar saja yang harus kumintai persetujuannya. Tapi karena rumahnya jauh di Jakarta, aku bermaksud membicarakannya lewat telepon saja.
"Prinsipnya, aku pun setuju dan merestuimu, Do! Kapan kau menikahinya?"
"Belum tahu, Bang. Aku akan segera diskusi dengannya untuk tetapkan waktunya. Tapi mauku ya secepatnya saja. Sebulan lagi kek. Atau paling lama dua bulan lagi...."
"Jangan! Tiga bulan lagi saja!"
"Lho, kenapa Bang?"
"Karena aku sibuk sekali saat ini. Aku sedang membersihkan dan membenahi rumahku. Aku akan menjualnya dengan cepat. Dan pindah ke tempat lain...."
"Ngapain pindah Bang?"
"Aku sudah capek! Masak dalam dua bulan saja, sudah kebanjiran sampai empat kali. Aku bener-bener heran dan gemes sama Anies Baswedan. Yang dikerjakan itu, apa saja sih? Kalau kagak becus atasi banjir, ya mundur saja!"
"Mana ada di negeri ini, pemimpin yang mau mundur, Bang? Biasanya, mereka baru mau mundur, kalau sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK."
"Ya harus berani memulai budaya mundur, dong! Itu baru pemimpin yang gentleman! Lihat tuh, Mahathir Mohamad dan Taur Matan Ruak! Mereka baru saja mundur dari kursi PM Malaysia dan Timor Leste. Padahal mereka nggak salah apa-apa dan nggak ada yang menggugatnya."
***
Sore ini, aku akan menemui Ana di rumahnya. Aku ingin sampaikan sebuah berita sukacita kepadanya. Yaitu tentang persetujuan dan dukungan semua kakakku. Tapi entah kenapa? Dalam perjalananku ke sana, hatiku tiba-tiba bergoncang keras. Aku disergap kegelisahan yang hebat. Dan perasaan itu makin menjadi-jadi, setelah tiba di rumahnya.
"Sejak kemarin, Ibu berada di rumah sakit, Mas! Dibawa ke sana, karena tiba-tiba Ibu drop. Kejang-kejang dan semaput...." Jelas Bibi Murti kepadaku.
Keruan saja, aku langsung pergi ke rumah sakit yang dimaksud. Tapi sebenarnya sakit apa dia itu? Memang telah seminggu ini, Ana tampak keletihan. Wajah dan bibirnya memucat. Sering demam dan bahkan mimisan.
Sesampai di kamarnya, dia masih tergolek dalam kondisi yang tak sadar di ranjangnya. Menurut keterangan dokter, Ana terkena leukemia limfoblastik akut. Belum sampai lima menit aku di ruangannya. Atau belum sampai selesai dokter memberi penjelasannya, tiba-tiba seorang perawat melaporkan, bahwa si pasien baru saja menghembuskan nafas terakhirnya......
"Duh, Mbak Ana......!!!" seruku. Lalu gelap. Lalu aku lunglai dan semaput.
==000==
Bambang Suwarno-Palangkaraya, 02 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H