"Prinsipnya, aku pun setuju dan merestuimu, Do! Kapan kau menikahinya?"
"Belum tahu, Bang. Aku akan segera diskusi dengannya untuk tetapkan waktunya. Tapi mauku ya secepatnya saja. Sebulan lagi kek. Atau paling lama dua bulan lagi...."
"Jangan! Tiga bulan lagi saja!"
"Lho, kenapa Bang?"
"Karena aku sibuk sekali saat ini. Aku sedang membersihkan dan membenahi rumahku. Aku akan menjualnya dengan cepat. Dan pindah ke tempat lain...."
"Ngapain pindah Bang?"
"Aku sudah capek! Masak dalam dua bulan saja, sudah kebanjiran sampai empat kali. Aku bener-bener heran dan gemes sama Anies Baswedan. Yang dikerjakan itu, apa saja sih? Kalau kagak becus atasi banjir, ya mundur saja!"
"Mana ada di negeri ini, pemimpin yang mau mundur, Bang? Biasanya, mereka baru mau mundur, kalau sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK."
"Ya harus berani memulai budaya mundur, dong! Itu baru pemimpin yang gentleman! Lihat tuh, Mahathir Mohamad dan Taur Matan Ruak! Mereka baru saja mundur dari kursi PM Malaysia dan Timor Leste. Padahal mereka nggak salah apa-apa dan nggak ada yang menggugatnya."
***
Sore ini, aku akan menemui Ana di rumahnya. Aku ingin sampaikan sebuah berita sukacita kepadanya. Yaitu tentang persetujuan dan dukungan semua kakakku. Tapi entah kenapa? Dalam perjalananku ke sana, hatiku tiba-tiba bergoncang keras. Aku disergap kegelisahan yang hebat. Dan perasaan itu makin menjadi-jadi, setelah tiba di rumahnya.