"Ya semoga saja dia berhasil. Tapi feeling-ku, Badelul hanya akan gatot saja. Alias gagal total." Jawab saya pada istri.
***
Hari-hari berikutnya, pikiran saya tersandera oleh rencana besar Badelul. Konsentrasi saya untuk menjalankan aktifitas rutin saya menjadi terganggu. Sehingga, mengerjakan hal-hal yang paling sederhana pun, menjadi tidak maksimal. Oh, Badelul, mengapa engkau memberangus hatiku?
Bahkan kini, sesuatu yang paradoksal terjadi pada diri saya. Di satu sisi, saya cukup meragukan keseriusan Badelul untuk nyalon walikota. Apalagi soal peluangnya untuk menang. Bagi saya, itu cuma akan buang-buang waktu.Â
Buang-buang duit dan buang-buang energi saja. Yang pada ujungnya, akan jadi pecundang saja. Dan akan meringkuk menggelepar dalam penyesalan. Mubazir saja kan?
Tetapi, di sisi lain, saya sangat merasa tertantang untuk membantunya. Kasihan kalau sampai ia hancur akibat ambisi politiknya sendiri. Saya harus mendukung dan menolongnya.
"Apa betul kamu mau nyalon walikota, Lul?" tanya saya ketika saya mengunjungi rumahnya.
"Ya, benar. Awalnya aku memang sempat ragu. Tapi karena semua keluargaku. Terutama keluarga besarnya mertuaku, semua mau mendukungku penuh. Â Ditambah salah seorang temanku, yang jadi sekretaris sebuah parpol, juga janji memperjuangkanku agar bisa diusung oleh partainya. Maka kurasa tak ada salahnya untuk mencobanya...."
"Apakah kamu cukup yakin untuk bisa bersaing dan memenangkan kontestasi itu?" pancing saya.
"Yakin banget sih belum. Tapi aku sungguh berharap agar bisa seperti Anies dan Ahok..."
"Maksudmu?"