Hidup adalah pilihan. Hidup adalah proses memilih. Hidup terdiri atas pilihan-pilihan. Sebab itu, memilih adalah keniscayaan. Memilih menjadi tak terelakkan. Tidak memilih pun adalah sebuah pilihan. Saat ini pun aku dihadapkan pada minimal tiga pilihan yang sama-sama menyenangkan dan menguntungkan.
Pertama, ngobrol dengan Pak Sigit di rumahku. Kedua, memenuhi undangan makan malam di sebuah resto mahal dalam rangka syukuran ultah teman. Ketiga, melanjutkan mengerjakan sebuah tulisanku yang belum tuntas. Semuanya menyenangkanku. Tapi mana yang kupilih? Dengan mudah akhirnya ku memilih yang pertama. Pertimbangannya apa?
Kupilih ngobrol dengan Pak Sigit, karena sebelumnya aku sudah janjian dengannya. Dan aku tak mau mengingkarinya. Aku harus menepatinya. Ingkar janji, selain akan mengecewakan pria itu, juga akan mengganggu nuraniku sendiri.
Memang akibatnya, aku tak bisa memenuhi undangan dari temanku yang lain. Tapi setelah kujelaskan alasannya dan permohonan maafku; aku yakin si teman pengundang ini bisa memahaminya. Bukankah siapa pun pasti tak bisa melakukan dua kegiatan berbeda di waktu yang sama? Apalagi di dua tempat yang berbeda?
Kalau soal belum bisa menyelesaikan sebuah tulisanku, itu no problem bagiku. Tokh, tak ada satu pihak pun yang dirugikan atau dikecewakan. Tokh, masih banyak waktu lain untuk menuntaskannya.
Menjelang pertemuan informalku dengan Pak Sigit, aku diganggu oleh beberapa pertanyaan. Tempo hari, dia katakan masih ingin ngobrol denganku tentang 'pilihan'. Pilihan apa yang dimaksudkannya? Mungkinkah ia akan bertanya tentang pilihan politikku? Itu sangat mungkin, karena ini adalah tahun dan bulan-bulan politik. Di tempat mana pun di negeri ini, semua orang sedang gencar berbicara tentang politik. Pilihanmu siapa? Atau partai dan wakil yang kamu coblos siapa? Akh, kutunggu saja kedatangannya.
Beberapa hari ini, wajah langit di atas kotaku -- muram, kelam bahkan berlama-lama memuntahkan air hujannya (meski tidak deras). Tapi sore ini, parasnya molek dan cerah sekali. Ditunjang semilir angin senja yang meniup, membuat hati siapa pun tersejukkan dan tersemangatkan.
"Selamat sore Pak Pendeta!" sapa Pak Sigit begitu tiba dan memasuki rumahku.
"Selamat sore juga Pak Sigit!" balasku mempersilahkannya duduk. Ini pertama kalinya ia bertamu ke rumahku.
Lalu terlibatlah kami dalam obrolan basa-basi yang hangat, khas orang Timur dalam bersilaturahmi. Tentu saja kupersilahkan juga dia untuk menikmati teh hangat dan kudapan yang telah disiapkan.
"Sekarang ijinkan saya meneruskan perbincangan kita tempo hari, Bapak."
"Baik, Pak....silahkan!"
"Saya ingin bertanya tentang pilihan Bapak..."
"Pilihan apa ya, Pak?"
"Maksud saya tentang pilihan Bapak dalam berkarya," ujarnya, "Mengapa Bapak kok pilih menulis karya yang berkategori fiksi?"
"Mungkin maksud Pak Sigit, kenapa saya tidak menulis artikel-artikel atau buku-buku rohani saja?" tanyaku ingin penegasan. Aku perlu tanyakan itu, karena bukan hanya dia yang pernah tanyakan itu padaku. Banyak yang merasa aneh ketika melihat seorang hamba Tuhan  menulis yang bukan tulisan rohani.
"Ya, Bapak!" jawabnya, seperti yang kuduga.
"Alasan pertama, karena untuk tulisan-tulisan jenis itu sudah banyak teman pendeta yang menulis dan menerbitkannya. Kedua, saya ini bukan kelas pendeta pakar atau bukan seorang theolog. Jadi biarlah itu menjadi bagiannya para pakar dan para theolog saja. Saya  mengambil bagian saya sendiri yang sesuai dengan kapasitas saya sendiri."
".................." dia masih diam saja. Cuma mengangguk-anggukan kepalanya.
"Jangan kuatir, Pak. Selain cerpen, nantinya saya juga akan menulis dan membukukan Serial Tokoh-Tokoh Alkitab. Tapi menggunakan bahasa yang ringan dan populer. Tujuannya agar komunikatif. Sehingga segala lapisan pembaca, bisa menikmatinya."
".................."
"Ketiga, menuliskan karya fiksi itu bagi saya lebih memiliki banyak kebebasan. Tidak banyak aturan atau kaidah yang harus dipenuhi. Memakai bahasa apa saja bebas. Bahasa percakapan dan bahasa gaul pun dihalalkan. Tanpa didukung dengan data atau referensi terkait apa pun, tak masalah. Karena basis utama karya fiksi adalah imajinasi penulisnya."
"Jadi semua tulisan fiksi itu adalah hasil imajinasi atau rekaan penulisnya saja ya Bapak?"
"Tidak sepenuhnya begitu. Biasanya kebanyakan justru perpaduan dari banyak hal. Yaitu, antara imajinasi, logika, pemahaman dan pengalaman (sendiri atau orang lain). Juga inspirasi  maupun rujukan dari mana saja. Pendeknya menulis fiksi itu banyak kebebasannya deh."
"Saya pribadi, banyak mendapat inspirasi dan motivasi justru dari membaca cerita fiksi."
"Benar Pak Sigit. Karya ilmiah atau akademik akan mempengaruhi otak kita. Tapi karya fiksi akan mempengaruhi hati dan emosi kita."
"Namun, dua-duanya sama-sama kita butuhkan ya, Pak?" komentarnya.
"Yes, betul sekali Sampean!"
"Jadi pilihan Bapak dalam berkarya sudah mantap ya, Pak Pendeta?"
"Ya, saya memilih menulis karya fiksi saja. Tapi sesekali saya akan menulis juga karya yang berkategori humaniora."
"Meski begitu, penulis fiksi itu bisa terkenal dan bisa kaya raya, lho Bapak. Apalagi kalau sampai difilmkan. Contohnya, J.K. Rowling, penulis Harry Potter."
"Saya ini khan penulis pemula. Jadi ya belum sampai memikirkan hal-hal itu. Hal itu saya serahkan saja pada Sang Kreator Agung, Yesus Kristus."
"Tapi bagi Tuhan khan tak ada yang mustahil, Bapak."
"Ya..ya..ya..! Bagi saya, bisa menulis saja sudah sangat senang, Pak Sigit. Mengapa? Karena dengan menulis cerpen; saya bisa menghibur, menasihati, mencerahi, memotivasi, mengkritik, berkhotbah dan sampaikan pesan-pesan moral lainnya. Bahkan bisa bersaksi. Dan pembacanya, berasal dari  berbagai latar belakang suku, agama, dan budaya."
"Saya setuju, Bapak. Dengan sering membaca karya Bapak, saya jadi makin mengenal pemikiran-pemikiran dan cara Bapak memandang dan menyikapi hidup ini."
"Semoga bermanfaat juga bagi Pak Sigit."
"Sangat bermanfaat dan menginspirasi, Bapak. Sekarang saya makin paham dengan pilihan Bapak dalam berkarya. Lalu, kalau tentang pilihan politik Pak Pendeta?"
"Kalau itu, kita bicarakan lain waktu saja!"
 ==(Selesai)==
Bambang Suwarno -- Palangkaraya, 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H