"Pesanku, kasihi Rini dan anak-anakmu sepenuh jiwa ragamu. Jadi, jangan pernah sakiti hatinya! Awas kalau kamu macam-macam!" pesannya mewanti-wantiku.
Aneh juga sikap kakak kandungku itu. Dia sendiri sampai kini belum mau menikah. Tapi pesannya saklek banget terhadap orang yang sudah berumah-tangga sepuluh tahun.
               ***
Sesampai di rumah, aku sudah sangat letih jiwa ragaku. Dalam kondisi seperti itu, aku sama sekali tak tertarik untuk melakukan apa pun, kecuali rebahan saja di ranjang. Penginnya bisa segera tidur, tapi ternyata tidak bisa. Mataku bisa terpejam, tapi otakku tetap terjaga. Penyebabnya adalah kesalahpahaman dan amanat dari Mas Agus tadi. Bahkan ditambahi dengan ulah aneh dari perempuan gila tadi siang. Dua-duanya seperti mendakwaku. Ya, mendakwaku telah berselingkuh dengan Debora.
Namun, kalau dirunut kembali, semuanya memang bermula dari sikap manja bosku yang cantik itu. Akibatnya, siapa pun yang melihatnya, pasti bisa berspekulasi macam-macam. Akh, Debora, Debora....kenapa kau jadi menyusahkanku begini? Semoga saja hal ini tidak sampai diketahui Rini, istriku.
                ***
Sepanjang perjalanan pulang dari kantor ke rumah, aku seperti merasakan ada sesuatu yang tak beres yang sedang terjadi. Ternyata feeling-ku benar. Mengapa? Karena begitu masuk rumah, tak ada lagi penyambutan ceria dari Rini, Dono dan Dini. Rumah yang biasanya semarak, kini tampak senyap. Yang ada cuma Niko yang sibuk main game.
"Niko, mana Mbakyumu dan anak-anak, kok sepi?"
"Ke rumah Borobudur, Kak!" jawabnya. Yang dimaksud rumah Borobudur adalah rumahnya ayah dan ibu mertuaku.
"Sejak kapan ke sana dan apa tinggalkan pesan?"
"Sejak tadi siang. Mbak Rini ngomong lagi capek, dan pengin istirahat di sana."