"Oh, itu to? Kalau itu, dia adalah bosku. Bukan aku, tapi dia yang mengajakku..."
"Bos kok mesra gitu. Aku tak tahu, apa kamu yang mulai nakal, atau bosmu itu yang......" ia tak teruskan kata-katanya. Tapi arahnya sudah bisa kutebak. Pasti Mas Agus mendapat informasi yang menyesatkan.
"Kalau saja hanya dari kata orang, tentu aku tak gampang percaya," jelasnya, "Tapi aku sendiri, dengan mata kepalaku sendiri, dengan sangat jelas melihat wanita muda itu nggelendot di lenganmu. Itu artinya apa...?"
"Mas Agus melihat itu di mana?" tanyaku untuk mengetesnya.
"Aku melihatnya dari kafe ini juga tadi siang. Dengan jelas aku melihat kalian berdua turun dari mobil, lalu masuk ke Griya Sate sebelah. Untuk meyakinkan penglihatanku, aku sengaja menunggu lama di sini sampai acara kalian kelar. Sampai kalian keluar dan masuk mobil kembali."
Keruan saja aku langsung memberikan klarifikasi untuk meluruskan kesalahpahamannya. Kujelaskan kejadian tadi siang itu apa adanya. Tak kutambahi atau kukurangi. Termasuk keterkejutanku sendiri atas 'keberanian' Debora yang tiba-tiba menggelendot di lengan kiriku.
"Aku sendiri tak tahu apa maksud dari sikap 'manjanya' itu, Mas. Kan nggak mungkin aku yang pegawainya, langsung menepis dan mengelaknya?"
"Tapi bener kamu tak ada affair dengannya?" tanyanya menyelidik.
"Percaya deh, sama adikmu ini!"
"Namun, bagaimana pun juga sikapnya tadi tak boleh dilanjutkan. Kamu harus dengan halus dan bijak memberi pengertian kepada bosmu itu. Bahwa itu sangat berpotensi memicu munculnya beragam persepsi dan spekulasi orang lain. Ya kalau persepsinya benar, kalau tidak? Terus bagaimana kalau sampai jadi viral? Bukankah itu bisa menjadi malapetaka bagi rumah tanggamu?"
"Baik, Mas! Secepatnya akan kubicarakan dengan Debora." Janjiku.