Kegairahan dan semangat hidup sedang meletup-letup di dada Drimorio. Wajahnya cerah dan bersinar seharian ini. Lebih cerah ketimbang wajah muram matahari yang seharian ini terus diganggu oleh sekawanan awan nakal. Apa dia sudah dapat pekerjaan baru? Ternyata belum. Apa dia sudah berhasil menjual sebidang sawahnya (warisan dari orang tuanya), yang sudah ditawarkan selama setahun ini? Ternyata belum laku juga.
Tetapi, mengapa ia tampak seperti orang yang sedang menggenggam kesuksesan? Bahkan seperti orang yang tengah memeluk kebahagiaan.
"Abang mau pergi ke mana?"
"Ke kota yang paling selatan negeri ini."
"Berapa kilometer dari sini, Bang?"
"Persisnya aku nggak tahu, tapi pasti ratusan kilometer."
"Mengapa jauh sekali, Bang?"
"Karena, di sanalah, aku akan menggapai mimpiku, Sayang!"
"Mengapa nggak bermimpi di sini saja, Bang?"
"Aku sudah letih bermimpi di sini. Mimpiku sudah mengerontang di sini."
"Untuk berapa lama Abang di sana?"