TINDAKAN MEMBUNUH bukanlah sederhana segampang adegan filem Hollywood yang setiap kali masalah bisa diselesaikan dengan dar der dor. Berapapun nyawa melayang, siapapun terbunuh tidaklah menjadi soal yang berkepanjangan. Namun penggambaran semacam hanya ada pada kisah fiksi yang diproduksi untuk menyalurkan hasrat hiburan. Tapi kalau hiburan kok harus ada yang membunuh dan dibunuh. Bukannya kematian melalui cara semacam menimbulkan kesedihan yang sangat. Mengapa justru bisa menghibur?!
Yahh manusia memang mempunyai dimensi keunikan tersendiri. Naluri bawaannya serba tak terduga namun dapat diamati, juga dipahami, serta dimaklumi. Naluri atau insting memang suatu pola perilaku yang dapat bereaksi terhadap suatu rangsangan tertentu. Sebuah reflek yang dapat memunculkan aksi reaksi spontan tanpa harus dipelajari. Bekal yang sudah dititipkan sejak kelahiran suatu makhluk hidup dan diperoleh secara turun-temurun (filogenetik).
Dalam konteks religius, framing semacam dipahami sebagai fitrah. Pendapat lainnya menyebutnya sebagai 'dosa asal'. Sejak manusia di kandung sampai dilahirkan, sudah membawa hal baik dan buruk dalam dirinya. Biasa-biasa saja seperti pada umumnya. Lahir Hidup Mati, tak terkecuali rasa yang meragu, hati yang menimbang, jiwa yang bertekun syukur atas segala muara kehidupan.
Manusia dilahirkan dengan membawa modal yang sama, yaitu perkara. Hidup adalah masalah. Bahwasannya semua yang ada pasti memiliki maknanya tersendiri. Selebihnya terserah anda mengolahnya. Eyang Albert Einstein pun menyebutnya: "Semua orang itu jenius. Tetapi jika Anda menilai ikan dengan kemampuannya untuk memanjat pohon, percayalah itu adalah bodoh."
Mengabdi Dengan Aksi, Bergerak Dengan Hati.
Sejatinya dalam kehidupan nyata peristiwa pembunuhan yang mengakibatkan kematian, dapat menimbulkan kesedihan dan keprihatinan mendalam. Tetapi ketika media mengolahnya menjadi tontonan tayangan bacaan, bisa menjadi hiburan yang menarik. Menghibur sebab bisa menguras air mata mengumbar pilu kegetiran penikmatnya.
Sebaliknya juga dapat memberi rasa puas yang melegakan ataupun mengundang tawa. Menyentil sisi sintemen naluri kemanusiaan terhadap hal-hal yang tidak disukainya, dibenci atau mengganggu perasaannya selama ini. Pun tidak saja terhadap tontonan tayangan bacaan yang bersifat fiksional, melainkan pada informasi berita faktual bisa terjadi demikian.
Media selalu tidak akan mengabaikan setiap momentum peristiwa yang sedang 'in' hangat terjadi di masyarakat. Tradisi lisan masyarakat yang masih kuat tak urung turut mengembangkan tafsirnya. Kadang juga dibumbui dengan logika-logikanya sendiri. Khalayak sebagai pengkonsumsi produk media  pun bisa bersikap demikian. Ada situasi emosional yang berbeda antara yang mengalami dengan yang hanya menyaksikan.
Sebut saja peristiwa yang menelan korban jiwa. Entah kecelakaan, bencana alam, kerusuhan, bentrokan, perang atau perbuatan kriminalisasi manusia. Seperti psikopat pembunuhan berantai, atau disebabkan faktor lainnya yang terkadang tidak bisa dinalar, mungkin karena sepele sederhananya, tapi bisa saking rumitnya.
Seperti pembunuhan yang masih hangat. Seorang adik tega terhadap kakak kandungnya sendiri. Hanya karena korban Uli Susanti terkenal dan kerap mengunggah video pamer uang serta harta di media sosial. Sesuatu yang rasanya sulit dipahami. Tapi lagi-lagi media digital online pemantiknya. Hal yang tidak berhubungan, namun media sosial kemudian menghubungkan berbagai niatan jahat tersebut.Â
Jika dicermati, melakukan tindakan kriminal pembunuhan membutuhkan kesiapan mental yang luar biasa kuat. Ketika seseorang berani melakukan aksi membunuh. Tanpa kebiasaan, latihan atau memiliki naluri bawaan, tidak semua orang bisa melakukannya. Kecuali dalam keadaan diri tidak normal, sangat mungkin itu bisa terjadi. Motif yang umum dipahami ketika pelaku dalam pengaruh obat-obatan, mengalami gangguan penyakit kejiwaan atau karena terancam jiwa raganya.
Semuanya sangat mungkin terjadi di tengah dinamika kehidupan yang semakin membuat asing dan miskin nurani. Berbagai kemungkinan makna dan nila-nilai sosial secara terus menerus di ciptakan setiap waktu. Kemudian disodorkan lewat media sosial sebagai tawaran pilihan hidup. Sekaligus sebagai alat ukur kehidupan manusia yang terasa dikepung sikap mekanik, pragmatis, oportunistik dan tendensius.Â
Setiap individu yang terjebak pada gaya hidup yang terus bermunculan itu seakan berada di arena pertandingan yang masih akan terus berlangsung di luar sana, negeri maya. Euforia yang penuh histeria dan menggoda. Rasanya ingin lagi berada diantara kerumunan, medan pengabdian yang penuh suka cita perayaan kehidupan. Saling bersapa, berdesakan, kadang bersinggungan, seringkali pula sikut-sikutan tak jarang saling maki berkelahi. Kalau tidak mengikuti cara tersebut, serasa tidak hidup, tidak sukses, ketinggalan zaman dan sebagainya.Â
Cermin pengajaran luhur itu selalu mengingatkan. Menjadi semacam corong sejarah masalalu. "Siapa yang memberikan lebih akan mendapatkan lebih dari apa yang telah diberikan, namun bukan dari hal yang sama. "Siapa menabur akan menuai, siapa menanam akan memetik". Berperhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri (Altruisme). Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan sebagai aturan emas etika.
Lagi-lagi bentangan kaca cermin itu selalu menghentikan semua hasrat gairah. Meluluh lantakan semua yang hidup sebagai naluri. Ada kesadaran kritis sekaligus skeptis, bahwa tak semudah melangkah untuk semua impian. Pertaruhan keringat pun tak cukup membutuhkan tenaga energi kemauan kuat. Sedang pasukan kawan teman sudah satu persatu tiada. Senjata sudah dilenyapkan sesuai perjanjian, apalagi peluru mesiu tak kurang sirna pula. Apakah ingin berkalang arang mati sia-sia?
Komodifikasi peristiwa yang direproduksi menjadi konten tayangan tontonan bacaan. Merupakan produk subyektif yang memiliki jarak estetis antara penikmat dengan objek tayangan tontonan bacaan. Merapatkan jarak estetis komunikasi bermedia merupakan kewenangan kreator. Bagaimana framing dibangun, isi diperdalam, dan struktur diciptakan. Berdasar asas etika profesional yang pantas selalu harus dipertimbangkan ulang dalam membangun tontonan tayangan bacaan.Â
Disadari setiap tayangan tontonan bacaan sedikit banyak mempengaruhi khalayak penikmatnya. Tidak jarang seseorang melakukan hal buruk hanya karena ikutan apa yang pernah dilihatnya. Tayangan tontonan bacaan seakan menjadi tutorial atau secondary teacher. Sepenuhnya dipahami "Manusia adalah makhluk sosial", bahwa "Tiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya", bahwa "Kunci pengetahuan adalah logika", dan "Dasar pengetahuan adalah fakta". sedikit mengingat Aristoteles.
Rasa Yang Meragu Dan Hati Yang Selalu Menimbang: The Power Of Gratitude.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), korban pembunuhan setiap tahunnya mencapai seribu orang dalam lima tahun terakhir. Fakta yang tidak bisa disederhanakan begitu saja. Bagaimana kejahatan kriminal pembunuhan masih menjadi permasalahan yang krusial. Bukan lantaran korbannya yang frekuensinya relatif fluktuatif naik turun, berkurang bertambah. Melainkan bagaimana meminimalisir pengaruh dan memutuskan mata rantai penyebabnya. Sebut saja tayangan tontonan bacaan salah satunya.
Mengapa media; tayangan tontonan bacaan, penting dilibatkan dalam hal ini? Mengingat  media memiliki pengaruh yang kuat pula terhadap cara berpikir, bersikap dan bertindak seseorang. Karenanya tayangan sehat informasi bermartabat, menjadi arus keutamaan yang setiap saat harus ditingkatkan bobot kualitasnya.Â
Disadari manusia hidup diantara dua pengaruh besar yang saling terkait dan membentuk hubungan sebab akibat. Faktor pengaruh dari lingkungan sosial dengan faktor individual yang dipengaruhi kemampuan personalitasnya. Hari ini media dan medsos menjadi tren penting sebagai faktor luar yang ikut mematangkan pengaruhnya. Adegan reka ulang peristiwa rekonstruksi tindakan kriminal apapun, dipahami tidak saja sebagai konten informasi berita, melainkan juga dipahami seakan sebagai tutorial berkembangnya modus kriminalitas lainnya.
Apabila kemudian tidak dibarengi kesadaran membuat frame edukatif penayangan. Apalagi jika hanya asal membuat sensasi berburu viewers subscriber followers likes. Sementara bagi jurnalis profesional hal tersebut sudah menjadi protap untuk taat pada kode etik. Semua Media mempunyai kaidah tersendiri. Media mainstream seperti Film, televisi, radio dan cetak. Termasuk Media Sosial yang termafum dalam UU ITE: Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).Â
Film genre western American Old West atau koboi yang menjadi awal sejarah perfilman pun memiliki asas normatif yang selalu dipegang teguh para film maker-nya. Meski terkesan penilaian bersifat hitam putih. Kejahatan pasti kalah dengan kebaikan. Pemeran kebaikan pasti menang melawan musuh yang jahat. Tidak ada rumusannya dalam adegan film koboi, ketika adu tembak "head to head". Seorang lakon utama menarik pelatuk pistol terlebih dahulu. Selalu kebiasaannya, tokoh jahatlah yang menarik pistol dahuluan.
Formulasi semacam tentu tidak hanya berlaku bagi film bergenre western. Namun hampir semua film memberlakukan asas normatif semacam. Bahwa hidupnya film memang harus membela kebenaran, kebaikan, dan kejujuran, meskipun pada awalnya selalu mendapat pelecehan. Balas dendam kata kuncinya dalam film. Namun itu bukan jalan terbaik di kehidupan nyata. Sejalan dengan apa yang diinginkan khalayak penonton, pemirsa, pembaca, pendengar dan masyarakat luas secara umum. Kedamaian, ketentraman, ketenangan, keamanan dan kesejahteraan adalah harapannya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H