Dedikasi, keuletan, dan kerja keras merupakan ucapan yang pas untuk disematkan pada sosok Jemek Supardi.Â
Kita sepatutnya bersyukur memiliki seorang Jemek Supardi yang mau tetap melestarikan pantomim, seni yang sudah langka. Apalagi, dedikasi tersebut telah dijalani Jemek selama kurun waktu tiga puluh tahunan.Â
Bagi Jemek Supardi apa yang telah ia dedikasikan selama itu kadang membuatnya ragu, melihat perkembangan seni pantomim yang semakin memprihatinkan. Saat ini sudah semakin sedikit anak muda yang mau berpantomim. Siapa yang mau meneruskan pantomim di masa depan.
Pantomim menjadi pilihan hidup sekaligus sarana Jemek mencari nafkah. Jemek tahu pilihan itu sangat berat baginya dan bagi keluarganya. Jemek sadar kehidupan seniman memang bukan jalan hidup yang bergelimang harta. Termasuk teater, yang tidak sepopuler musik, apalagi pantomim, yang hanya salah satu cabang teater.Â
Seorang Seniman yang teguh pada prinsip pendiriannya, betapapun jalan yang dipilih terjal penuh liku, tak membuatnya surut sedikit pun. Dengan dukungan istri dan anaknya yang setia menemani suka duka dalam proses reaif berkeseniannya. Sepanjang hidupnya tak pernah terbersit pikiran Jemek untuk berpindah profesi demi memegang teguh prinsip dan konsistensinya pada pilihan hidup, yakni berpantomim.Â
Figur inspiratif itu kini telah selesai menenuaikan tugas kemanusiaannya. Tuntas sudah semua impian yang tersimpan dalam angan. Jalan kesunyian tak terucap. Keheningan sudah ditemukan. Lentur tubuhnya akan terus bergerak seirama keabadian. Menatap sang hakiki, menghadap sutradara sejati. Selamat jalan Maestro Pantomim Indonesia Jemek Supardi. RIP.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H