Perjalanan seni pantomimenya yang panjang di berbagai medium baik panggung pertunjukan, pasar, jalan, sampai kuburan dan lainnya telah membentuk identitas di diri seorang jemek Supardi.
Tak ada buku yang bisa ia dipeajari, tak ada sosok guru tempat ia menimba ilmu untuk memperdalam seni pantomim yang ia geluti. Jemek Supardi belajar pantomim secara otodidak.
Meski pernah mengenyam pendidikan di SMSR, tidak ada kaitannya dengan dunia seni yang ia geluti sampai sekarang ini.Â
Dalam proses pembelajarannya Jemek hanya tekun dan memahami dengan seksama berbagai pentas pantomim dari luar negeri yang pada waktu itu digelar di Yogyakarta salah satunya pantomim dari Prancis oleh Marcel Marceau. Ia kemudian mulai mempelajari seni pantomime hingga akhirnya memilih pantomime sebagai jalan hidupnya hingga kini.
Proses kreatif Jemek Supardi dalam berkarya tidak terlepas dari kehidupan yang dijalaninya keseharian. Banyak cerita-cerita yang dipertunjukannya merupakan pengalaman pribadi dan cukup personal dalam hidupnya.
Perjumpaan Jemek Supardi dengan lingkungannya pun sering menjadi inspirasi dalam setiap karyanya sehingga Jemek dianggap sebagai seniman pantomim yang sangat produktif.
Pertunjukan pantomim yang pernah dimainkannya ia mainkan tak kurang dari 50-an karya dari tahun 1976 hingga tahun 2016 baik di panggung maupun di ruang publik, dengan berbagai gaya, tema, dan bentuk ekperimental.Â
Konsistennya Jemek sebagai pelaku pantomime membuat dirinya kerap dijuluki Bapak Pantomime Indonesia.
Menyuarakan isu ketimpangan sosial yang ada dimasyarakat, dengan gerak semata, mengekspresikannya melalui gestur dan mimik yang lincah, jenaka, sesekali menyayat, sekan menjadi keseharian dari Jemek Supardi, seorang pantomim yang telah membuktikan dedikasinya untuk perkembangan seni pantomime di Indonesia.Â
Jemek Supardi menjadi salah satu dari sekian banyak seniman yang mencoba mewacanakan kesenian bisa hadir di ruang-ruang publik.