#19
"Jarak aku dan kamu hanyalah kenangan yang tak ditemukan selain disemogakan."
Kabar meninggalnya Pantomimer Jemek Supardi sungguh mengejutkan. Sesaat membaca status Facebook Butet Kartaredjasa dan Bentara Budaya Sabtu 16 Juli 2022 sekitaran pukul 20.00 WIB.Â
Meskipun menyadari kesehatannya memang setahun ini agak menurun. Kebiasaannya merokok pun sudah lama dihentikan sejak mengalami masalah dengan sistem pernapasannya.
Hampir yakin, jika siapapun yang mengenal almarhum dimintai kesaksian tentangnya, pasti akan penuh dengan cerita yang sarat kelucuan. Bisa jadi kisah satir tapi sangat mungkin sarkas. Begitulah sosok Pantomimer Jemek Supardi di mata rekan kawan sahabatnya.Â
Panggung hidupnya adalah perjalanan seniman Pantomimer yang harus bersiasat terhadap hidup yang tidak seberuntung jenis seni lain yang lebih komersial Marketable.
Secara pribadi memang relatif akrab dengannya meskipun tetap dalam jarak keterbatasan ruang waktu dan kesempatan. Namun begitu Jemek Supardi adalah pribadi yang luwes dalam bergaul. Kepada siapapun dia bisa menjaga komunikasi secara baik.Â
Jemek Supardi lahir di Sleman, Yogyakarta pada 14 Maret 1953. Tak terbayang oleh dirinya akan menjadi seorang pantomime yang cukup dikenal. Proses kreatifnya di dunia seni diawali dari keterlibatannya di sejumlah kelompok Teater yang ada di Yogyakarta.Â
Ia pernah bergabung dengan sejumlah kelompok teater di Yogyakarta, seperti Teater Alam, Teater Dipo, Teater Dinasti dan Teater Boneka, dan sebagainya. Kesulitan dalam menghafal naskah, akhirnya menghentikan Jemek Untuk terus menggeluti dunia Teater, dia kemudian menjatuhkan pilihan pada seni pantomime yang lebih mengandalkan gerak tubuh.
Tak terhitung berapa kali ia berpentas mempertunjukan kebolehannya dalam berpantomim, tak terhitung pula berapa karya yang telah ia lahirkan.Â
Perjalanan seni pantomimenya yang panjang di berbagai medium baik panggung pertunjukan, pasar, jalan, sampai kuburan dan lainnya telah membentuk identitas di diri seorang jemek Supardi.
Tak ada buku yang bisa ia dipeajari, tak ada sosok guru tempat ia menimba ilmu untuk memperdalam seni pantomim yang ia geluti. Jemek Supardi belajar pantomim secara otodidak.
Meski pernah mengenyam pendidikan di SMSR, tidak ada kaitannya dengan dunia seni yang ia geluti sampai sekarang ini.Â
Dalam proses pembelajarannya Jemek hanya tekun dan memahami dengan seksama berbagai pentas pantomim dari luar negeri yang pada waktu itu digelar di Yogyakarta salah satunya pantomim dari Prancis oleh Marcel Marceau. Ia kemudian mulai mempelajari seni pantomime hingga akhirnya memilih pantomime sebagai jalan hidupnya hingga kini.
Proses kreatif Jemek Supardi dalam berkarya tidak terlepas dari kehidupan yang dijalaninya keseharian. Banyak cerita-cerita yang dipertunjukannya merupakan pengalaman pribadi dan cukup personal dalam hidupnya.
Perjumpaan Jemek Supardi dengan lingkungannya pun sering menjadi inspirasi dalam setiap karyanya sehingga Jemek dianggap sebagai seniman pantomim yang sangat produktif.
Pertunjukan pantomim yang pernah dimainkannya ia mainkan tak kurang dari 50-an karya dari tahun 1976 hingga tahun 2016 baik di panggung maupun di ruang publik, dengan berbagai gaya, tema, dan bentuk ekperimental.Â
Konsistennya Jemek sebagai pelaku pantomime membuat dirinya kerap dijuluki Bapak Pantomime Indonesia.
Menyuarakan isu ketimpangan sosial yang ada dimasyarakat, dengan gerak semata, mengekspresikannya melalui gestur dan mimik yang lincah, jenaka, sesekali menyayat, sekan menjadi keseharian dari Jemek Supardi, seorang pantomim yang telah membuktikan dedikasinya untuk perkembangan seni pantomime di Indonesia.Â
Jemek Supardi menjadi salah satu dari sekian banyak seniman yang mencoba mewacanakan kesenian bisa hadir di ruang-ruang publik.
Dedikasi, keuletan, dan kerja keras merupakan ucapan yang pas untuk disematkan pada sosok Jemek Supardi.Â
Kita sepatutnya bersyukur memiliki seorang Jemek Supardi yang mau tetap melestarikan pantomim, seni yang sudah langka. Apalagi, dedikasi tersebut telah dijalani Jemek selama kurun waktu tiga puluh tahunan.Â
Bagi Jemek Supardi apa yang telah ia dedikasikan selama itu kadang membuatnya ragu, melihat perkembangan seni pantomim yang semakin memprihatinkan. Saat ini sudah semakin sedikit anak muda yang mau berpantomim. Siapa yang mau meneruskan pantomim di masa depan.
Pantomim menjadi pilihan hidup sekaligus sarana Jemek mencari nafkah. Jemek tahu pilihan itu sangat berat baginya dan bagi keluarganya. Jemek sadar kehidupan seniman memang bukan jalan hidup yang bergelimang harta. Termasuk teater, yang tidak sepopuler musik, apalagi pantomim, yang hanya salah satu cabang teater.Â
Seorang Seniman yang teguh pada prinsip pendiriannya, betapapun jalan yang dipilih terjal penuh liku, tak membuatnya surut sedikit pun. Dengan dukungan istri dan anaknya yang setia menemani suka duka dalam proses reaif berkeseniannya. Sepanjang hidupnya tak pernah terbersit pikiran Jemek untuk berpindah profesi demi memegang teguh prinsip dan konsistensinya pada pilihan hidup, yakni berpantomim.Â
Figur inspiratif itu kini telah selesai menenuaikan tugas kemanusiaannya. Tuntas sudah semua impian yang tersimpan dalam angan. Jalan kesunyian tak terucap. Keheningan sudah ditemukan. Lentur tubuhnya akan terus bergerak seirama keabadian. Menatap sang hakiki, menghadap sutradara sejati. Selamat jalan Maestro Pantomim Indonesia Jemek Supardi. RIP.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H