Dalam pengambilan sampel untuk penelitian ke depan, baik secara kuantitatif dan kualitatif, perlu dipilih unit analisisnya. Baik level individu calon pemilih dan dipilih, level kelompok timses dan tim pemenangannya, level organisasi dan institusi partai serta koalisi partai pendukung. Jumlah sampel juga harus dipertimbangkan sehingga dapat digeneralisasi hasilnya. Selanjutnya disiapkan metodologi dan instrumen pengukurannya, agar validitas dan reliabilitasnya dapat dipertanggunjawabkan, sehingga diperoleh uji robustness yang baik yang dilakukan untuk mengetahui kekuatan dari suatu metode analisis agar dapat mempertahankan hasil analisa dengan adanya perubahan kecil pada kondisi pengujian.
Selain penelitian yang empiris, juga bisa dilakukan studi-studi evidence-based menggunakan alat pemindai dan pengukuran otak seperti; EEG, fMRI dan alat-alat neurosaintifik lainnya yang telah disebutkan sebelumnya. Penelitian eksperimental di labaratorium dan pengamatan fenomena di lapangan juga dapat memperkuat alur logika dan asumsi-asumsi subyektif, baik uji hipotesis maupun uji teori-teori yang ada.
Penerapan konsep neuropolitik di negara-negara berkembang memerlukan pertimbangan secara hati-hati. Sementara pemahaman neurosains dapat memberikan wawasan tentang aspek-aspek psikologis dan neurologis dalam pengambilan keputusan politik, harus diingat bahwa faktor-faktor lain, seperti konteks sosial, budaya, dan ekonomi, juga sangat penting.
Penting untuk memastikan bahwa pendekatan ini diintegrasikan dengan mempertimbangkan keberagaman masyarakat dan konteks lokal. Penekanan hanya pada aspek neurosains bisa mengabaikan realitas kompleks di negara-negara berkembang yang melibatkan masalah-masalah seperti ketidaksetaraan, akses terhadap pendidikan, dan isu-isu ekonomi.
Penerapan konsep neuropolitik perlu disesuaikan dengan konteks spesifik masing-masing negara, dengan memperhatikan perbedaan budaya, sosial, dan ekonomi untuk memastikan relevansi dan efektivitasnya. Menariknya di negeri yang kita cintai ini, bila bingung (ambiguity) - baik pemain panggung politik maupun audiens penontonnya - karena belum mampu lagi berpikir secara rasional, emosional dan spiritual, maka berbondong-bondong mereka akan mengandalkan hal-hal mistis. Faktanya masih seperti itu, walau negara kita negara yang beragama dan pancasilais. Sehingga akan semakin jauh bila ingin dibuktikan secara ilmiah.
Masyarakat Indonesia memang memiliki kecenderungan untuk mempercayai hal-hal mistis dan spiritual. Kepercayaan pada hal-hal seperti dukun, kejawen, atau kepercayaan lokal dapat tetap kuat di tengah modernisasi dan perkembangan teknologi. Faktor ini dapat memengaruhi dinamika politik dan sosial di negara kita.
Penting untuk memahami bahwa kepercayaan pada hal-hal mistis sering kali menjadi bagian integral dari budaya dan tradisi masyarakat Indonesia. Dalam konteks politik, hal ini dapat memengaruhi pemilihan pemimpin, persepsi terhadap kebijakan, dan interaksi antara warga dan pemerintah. Penerapan konsep neuropolitik, jika dilakukan di Indonesia, perlu mempertimbangkan keberagaman ini dan mencakup pemahaman tentang nilai-nilai spiritual dan mistis yang melekat dalam masyarakat. Sensitivitas terhadap kepercayaan lokal dapat membantu membangun pendekatan yang lebih komprehensif dan dapat diterima oleh masyarakat.
Sebagai ekses dua pilpres sebelumnya, masalah terbelahnya dan polarisasi politik tidak dapat ditangani secara dangkal. Penelitian menunjukan bahwa keyakinan yang terpolarisasi ini sangat mengakar, dan berdampak pada cara orang memandang kata-kata politik. Memahami hal ini akan memengaruhi cara peneliti berpikir tentang intervensi potensial.
Seperti konservatisme, tidak ingin perubahan, hanya ingin meneruskan yang ada, terkait dengan rasa takut di otak (fearness). Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa mereka yang memiliki pandangan politik konservatif memiliki area otak yang lebih luas yang berhubungan dengan ketakutan dan kecemasan dibandingkan mereka yang berpandangan ingin perubahan yang berkelanjutan (continuous improvement).
Sebuah penelitian di University College London pada tahun 2010 menemukan bahwa mereka yang konservatif secara politik memiliki amigdala yang lebih besar, yaitu area otak yang terhubung dengan emosi, dan anterior cingulate yang lebih kecil – area otak yang terkait dengan keberanian dan memiliki pandangan positif. Penelitian yang awalnya dilakukan oleh aktor Colin Firth ini menemukan bahwa perbedaan politik dapat tertanam dalam struktur otak seseorang. Sebuah studi pada tahun 2013 juga menemukan bahwa pemilih konservatif (comfort zone) memiliki amigdala kanan yang lebih aktif, yaitu wilayah yang terlibat dalam respons defensif “lawan atau lari.” Sementara pemilih yang menginginkan perubahan menunjukan aktivitas yang jauh lebih besar di insula kiri, wilayah otak yang terkait dengan kesadaran sosial dan diri.
Sementara istilah "hard-wired brain" dalam konteks politik dapat merujuk pada kecenderungan bawaan atau pola pikir yang sudah tertanam kuat dalam otak seorang politisi. Hal ini bisa mencakup kecenderungan ideologis, kebijakan tertentu, atau cara pandang tertentu yang sulit diubah. Sudah banyak penelitian dan tulisan yang mengkaji konsep ini. Di antaranya; "The Neurobiology of Political Behavior: Neural Correlates and Implications," "Political Decision Making: Insights from Neuroeconomics and Cognitive Neuroscience," dan "The Influence of Neurobiology on Political Beliefs and Behavior."