Kepemimpinan perempuan Indonesia diperlukan untuk memiliki pola pikir yang agile, cepat beradaptasi, berpikiran maju, berpikiran positif, bertumbuh dan terbuka, memiliki resiliensi ketangguhan mental yang kuat serta inklusif, kemampuan untuk memimpin seluruh anggotanya yang dipimpin, bukan hanya sebagian.
Menurut Geil Browning, tim kerja yang baik adalah mereka yang bisa memadukan keberagaman berpikir dan berperilaku. Terutama dalam berpikir, berkomunikasi, dan bekerjasama, serta berkolaborasi. Masing-masing individu bertransformasi dari orientasi 'saya' ke 'kita'.Â
WE tidak saja mengartikan kita, tapi singkatan dari 'whole emergenetics'Â yang mengaplikasikan konsep teorinya Ned Herrmann; 'the whole brain'Â (Herrmann & Herrmann-Nehdi, 2015).Â
'Emergineering a Positive Organizational Culture'Â yang diterapkan pada latihan WEteam merupakan salah satu contoh praktik nyata bagaimana menerapkan konsep emergenetics membangun kultur budaya positif melalui cognitive collaborations yang mengoptimalkan kinerja organisasi kita.
Dengan mengetahui kecenderungan pola pikir dan perilaku, menjadi lebih mengenal diri kita sendiri. Kemudian kita dapat pula memahami orang lain dengan lebih baik. Di tingkatan terakhir yang tersulit adalah bagaimana memastikan orang lain benar-benar bisa mengerti kita.Â
Kemajuan teknologi digital, terutama kamajuan teknologi informasi atau telekomunikasi khususnya di bidang selular, menjadikan setiap manusia memiliki akses informasi yang sama, selama memiliki gadget, dapat menangkap sinyal dan memiliki pulsa yang cukup, atau memperoleh free-wifi.Â
Sementara dengan latar belakang individu yang berbeda-beda. Berbeda bahasa, suku, adat, tradisi, kebiasaan, norma, kultur dan sub kultur, agama, keyakinan, ekonomi, sosial, serta lain sebagainya. Termasuk berbeda latar belakang pendidikan dan kemampuan literasi bacanya. Sehingga menimbulkan lebih banyak variabel keberagaman perbedaan (diversity) yag semakin kompleks.
Kesimpulan, Rekomendasi dan Pertanyaan Penelitian Mendatang
Jenis model pengembangan kepemimpinan kolektif yang dipelajari pada artikel penelitian pertama, dengan komponen peer-coaching terfasilitasi yang diperlukan, tidak hanya membantu peserta berbagi pengetahuan, informasi, dan ide-ide inovatif untuk manfaat yang lebih luas, tetapi memfasilitasi manfaat ikatan dari pembelajaran kohort dan penerapan pengetahuan serta keterampilan yang melekat pada peserta.Â
Hal ini sangat penting bagi perempuan kulit berwarna yang cenderung kurang mendapatkan pendampingan dibandingkan pria dan kulit putih, sehingga membangun kapasitas yang lebih beragam untuk peran kepemimpinan. Namun, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk kaum perempuan Indonesia. Besar kemungkinan hasilnya akan berbeda, baik secara signifikan atau tidak.
Program pengembangan kepemimpinan saja tidak akan cukup mengubah kesenjangan kepemimpinan gender dan ras tanpa mengatasi hambatan dan bias struktural lainnya di sektor nirlaba layanan manusia (Thomas-Breitfeld & Kunreuther, 2017).Â