Cara terakhir, atau cara ketiga adalah habitual, yaitu membiasakan diri. Seperti pada dunia olahraga, katakan sepak bola. Tokoh-tokohnya seperti Messi, Ronaldo, dan Salah kalau menendang bola di depan gawang secara otomatis tanpa memikirkan lagi sebelumnya.
Namun kadang-kadang tidak goal juga, karena kipernya pun sudah terlatih secara otomatis dapat manghalau atau menangkap bola yang ditendang lawan. Jadi olahraga merupakan salah satu bagaimana cara membangun habituation atau kebiasaan yang baik sesuai bidang olah raga yang ditekuni. Sehingga dia menjadi ahli di situ. Karena mereka tekun berlatih. Tiap hari mereka latihan.
Bagaimana dengan pemain bola kita? Masih banyak pemain klub profesional atau pemain nasional yang latihan bola di pagi hari namun malam sebelumnya bermain billyard sampai larut malam bahkan sampai pagi. Kecuali kalau masih tetap juara terus sih no problem.
Kenapa timnas kita tidak bisa jadi juara internasional atau juara dunia? Jawabannya menjadi jelas; karena porsi latihannya kurang. Kalau porsi latihannya kurang habituation pun tidak terbentuk.
Habituation itu tidak hanya membentuk jalan-jalan pikiran kita (neural pathways). Namun juga membentuk otot-otot kita, motorik kita. Itu yang secara otomatis. Karena biar bagaimanapun gerakan otot-otot kita akan selalu berhubungan dengan pikiran kita, dengan kecerdasan kita, dengan conscious mind kita.
Beberapa alternatif perubahan perilaku yang baik juga dapat dilakukan melalui counselling dan coaching. Permasalahannya, counselling dan coaching sudah harus diarahkan ke tempat perubahannya. Kita tidak bisa melakukan coaching tanpa mengarahkannya ke tempat perubahan perilaku itu terjadi. Di mana tempat perubahan itu? Tempatnya adalah di subconscious mind.
Neurosains memberikan wawasan di mana atau bagaimana subconscious mind dan conscious mind itu bekerja. Jadi hubungan antara prefrontal cortex (PFC) dengan the limbic system, tepatnya amygdala. Bila kita memahami ini, akan menjadi lebih mudah, misalkan dalam melakukan terapi. Baik itu cognitive behaviour therapy (CBT) maupun schema therapy.
Dalam melakukan terapi pada saat memberikan counselling ataupun coaching yang harus kita selalu ingat bahwa tipe pasien itu berbeda-beda. Sehingga harus mampu mengimplementasikan metoda-metoda yang berbeda. Dalam menghadapi gangguan mental tidak bisa menggunakan satu metoda untuk semua. Kita harus menggunakan berbagai macam metoda, sepeti metoda cognitive, metoda psikodinamika, metoda humanistic, metoda inter-personal, dan lain sebagainya.
Catatannya; apapun metodanya pendekatan neurosains sangat membantu. Tempat bekerjanya, fungsi peranan dari organ-organnya, bagian-bagian dari otaknya sama. Misalkan contoh untuk mengendalikan emosi, yang membuat orang depresi, tidak ada pilihan harus mengaktifkan fungsi prefrontal cortex. Terapi-terapi yang dilakukan kita harus bisa mengaktifkan prefrontal cortex, dalam rangka meregeulasi atau mengontrol amygdala.
Pada era pandemi ini terutama kepada anak-anak milenial yang tetap tenang, santai, nongkrong di pinggir jalan, karena mereka bisa jadi memiliki informasi yang lebih lengkap dibanding senior-seniornya yang ketakutan.
Jadi kesimpulan sementara; memang kita tidak terlalu optimis apakah dengan masa pandemi membawa perubahan perilaku sampai kepada perubahan personality kita. Karena personality seseorang lebih banyak dikendalikan oleh subconscious mind kita, hampir 95%. Kita punya perilaku ditentukan oleh program yang telah diinstall dari kecil dan diperkuat oleh epigenetics kita. (BIS)