Mohon tunggu...
Bambang Iman Santoso
Bambang Iman Santoso Mohon Tunggu... Konsultan - CEO Neuronesia Learning Center

Bambang Iman Santoso, ST, MM Bambang adalah salah satu Co-Founder Neuronesia – komunitas pencinta ilmu neurosains, dan sekaligus sebagai CEO di NLC – Neuronesia Learning Center (PT Neuronesia Neurosains Indonesia), serta merupakan Doctoral Student of UGM (Universitas Gadjah Mada). Lulusan Magister Manajemen Universitas Indonesia (MM-UI) ini, merupakan seorang praktisi dengan pengalaman bekerja dan berbisnis selama 30 tahun. Mulai bekerja meniti karirnya semenjak kuliah, dari posisi paling bawah sebagai Operator radio siaran, sampai dengan posisi puncak sebagai General Manager Divisi Teknik, Asistant to BoD, maupun Marketing Director, dan Managing Director di beberapa perusahaan swasta. Mengabdi di berbagai perusahaan dan beragam industri, baik perusahaan lokal di bidang broadcasting dan telekomunikasi (seperti PT Radio Prambors dan Masima Group, PT Infokom Elektrindo, dlsbnya), maupun perusahaan multinasional yang bergerak di industri pertambangan seperti PT Freeport Indonesia (di MIS Department sebagai Network Engineer). Tahun 2013 memutuskan karirnya berhenti bekerja dan memulai berbisnis untuk fokus membesarkan usaha-usahanya di bidang Advertising; PR (Public Relation), konsultan Strategic Marketing, Community Developer, dan sebagai Advisor untuk Broadcast Engineering; Equipment. Serta membantu dan membesarkan usaha istrinya di bidang konsultan Signage – Design and Build, khususnya di industri Property – commercial buildings. Selain memimpin dan membesarkan komunitas Neuronesia, sekarang menjabat juga sebagai Presiden Komisaris PT Gagasnava, Managing Director di Sinkromark (PT Bersama Indonesia Sukses), dan juga sebagai Pendiri; Former Ketua Koperasi BMB (Bersatu Maju Bersama) Keluarga Alumni Universitas Pancasila (KAUP). Dosen Tetap Fakultas Teknik Elektro dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Surapati sejak tahun 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berpotensikah Pandemi Covid-19 Mengubah Kepribadian Seseorang?

28 Mei 2020   01:00 Diperbarui: 28 Mei 2020   08:16 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community

Jakarta, 27 Mei 2020. Pertanyaan judul tulisan ini tidak hanya sekedar menarik minat pembaca. Namun banyak teman-teman kita yang menanyakan perihal ini. Mungkin jawabannya bisa iya dan bisa tidak. Apalagi bila masa pandemi ini berlangsung lama. Kita doakan saja itu tidak terjadi, dan semoga cepat berakhir.

Lebih tepatnya yang jelas pandemi berpotensi merubah perilaku orang. Begitulah seperti hasil kesimpulan diskusi pada acara ngobdar – ngobrol daring bareng komunitas Neuronesia, yang kali ini dipimpin oleh Bp. Jesse Monintja, MA, Psy, Board of Honor Neuronesia Community (20/04/2020). 

Beliau juga sekarang menjabat sebagai Direktur CBR – Center of Behavior Research. Namun menurutnya; bila pandemi ini berakhir apakah perilaku seseorang akan terus tetap berubah atau kembali kepada perilaku sebelumnya, ini lah yang belum bisa dipastikan. Terutama bila pandemi ini segera berakhir, kecenderungan kebanyakan masyarakat kita secara berangsur-angsur akan kembali ke perilaku sebelumnya.

Bukan berarti bangsa kita adalah bangsa pelupa. Iya mungkin ada beberapa oknum yang sering sinis dan mudah menyimpulkan secara negatif terhadap bangsanya sendiri. Karena hal ini sebenarnya sangat normal dalam artian sangat manusiawi. 

Aslinya otak manusia, apapun bangsanya, bukan dia mudah melupakan, tapi pada saat kembali sibuk kepada rutinitas kehidupan normalnya mereka sering larut. Subconscious mind atau pikiran bawah sadarnya yang kembali men-drive mereka berpikir, berperasaan dan mengambil keputusan-keputusannya dalam bertindak serta melakukan aktivitas kesehariannya. 

Di dalam neurosains, subconscious, unconscious, dan nonconscious mind disederhanakan yang sering juga disebut dengan pikiran-pikiran otomatis. Apalagi neural pathways yang telah tebal terbentuk. Di dalam beberapa penelitian sebelumnya, para ilmuwan menyepakati bahwa kondisi kehidupan seseorang apakah dia merasakan – susah dan bahagia, atau sukses dan tidak sukses – adalah 90% lebih hasil dari keputusan-keputusan otaknya bepikir secara tidak sadar. Mungkin perlu diperkuat dengan kajian-kajian neurosains lain yang lebih komprehensif ke depannya.

Masih banyak orang yang belum menyadari hal ini, bahwasannya mereka tidak sadar kalau prestasi atau kinerja hidupnya lebih banyak di bawah pengaruh pikiran-pikiran bawah sadarnya (uncosciously unconcious). Banyak paket pelatihan-pelatihan yang menawarkan untuk melatih meningkatkan kesadaran diri sehingga akhirnya dia sadar bahwa pikiran-pikiran bawah sadarnya lah yang seakan-akan ‘menentukan nasibnya’ (consciously uncoscious). 

Kemudian dalam tingkat yang lebih lanjut mereka sadar dan mencari tahu serta mengupayakan bagaimana meningkatkan kesadarannya agar senantiasa sadar dan cakap mengendalikan bahkan mampu memprogram pikiran-pikiran bawah sadarnya (consciously conscious). 

Sedangkan pada tingkatan yang paling tinggi; secara terus menerus dia mengasah kesadarannya, sehingga tanpa ia sadari telah sangat terampil dan memiliki kecakapan mengelola dan meregulasi pikiran-pikiran bawah sadarnya (unconsciously conscious). Konsep ini pula lah yang juga dipergunakan sebagai landasan untuk menentukan hierarchy of competence atau stage of competence.

four-stages of conscious | dokpri
four-stages of conscious | dokpri
Kalau kita telaah lebih dalam lagi secara ilmiah, sesungguhnya meningkatkan tingkat kesadaran pada esensinya adalah mengaktifkan fungsi prefrontal cortex (PFC) yang meminimalis pikiran-pikiran otomatis kita. Sehingga tidak larut dengan suasana. Walau tidak semua pikiran-pikiran otomatis harus kita hilangkan. 

Bahkan dari kecil kita terdidik untuk melatih dan membangun pikiran-pikiran otomatis yang diperlukan ke depannya. Termasuk bagaimana teman-teman menjadi secara tak sadar saat tiba-tiba jatuh namun dalam keadaan sigap. Baik itu posisi tangan maupun kaki. Karena dari kecil sudah dilatih. Cara menebalkan neural pathways baik sensorik dan motoriknya, dalam bentuk pathways gerakan-gerakan refleks yang dipergunakan di kebanyakan ilmu bela diri, seperti silat, karate, dan lain sebagainya.

Nah, begitu pula dalam menyikapi pandemi COVID-19 yang sampai hari ini (sebulan lebih setelah diskusi ngobdar neuronesia itu dilakukan) masih penuh ketidakpastian kapan akan berakhirnya periode ini. Memang pastinya kita tidak boleh larut dalam suasana. Misal dalam menyikapi berita, kita tak boleh terlalu cuek, namun juga jangan terlalu intens mengikuti sehingga menghabiskan waktu dan energi kita. Jangan heran, tiba-tiba bermunculan para ahli COVID, baik itu yang memang kompeten di bidangnya maupun ‘pakar dadakan’.

Memang kita harus alert dan selalu waspada, sehingga sekedar tahu mengenai bahaya dan resiko terpapar virus ini serta bagaimana upaya-upaya pencegahan yang harus dilakukan. Namun jangan sampai terjebak ke dalam serta larut mendalaminya, bahkan kita sendiri menjadi paranoid dan ketakutan yang luar biasa. Berpotensi menjadi depresi dan terkena dampak stres kronis yang merontokan sinap-sinap hubungan antara sel-sel neuron otak kita, serta mematikan sel-selnya. Bahkan dapat merusak serta melemahkan sistem imun tubuh manusia.

Lantas bagaimana dengan perilaku masyarakat kita pada umumnya dalam menyikapi pandemi ini? Terutama di lingkungan anak muda, bila kita coba turun ke jalan, artinya menggunakan kendaraan roda empat serta mentaati semua protokol COVID-19 yang wajib dipatuhi. 

Apa yang terlihat di sana? Kenyataannya masih banyak anak-anak muda yang nongkrong di pinggir jalan. Baik dengan menggunakan kendaraan roda empat, kendaraan roda dua alias sepeda motor, sepeda gowes mau pun yang menggunakan kendaraan umum. Walau bila didatangi petugas dan diminta bubar mereka akan segera pergi.

Begitu pula dengan para seniornya. Masih ada saja sekelompok masyarakat yang tetap ngotot berbelanja baju lebaran berdesak-desakan seperti di Tanah Abang dan di daerah-daerah kota lainnya. Seperti yang diliput pemberitaan media konvensional maupun viral beredar di media sosial. Terjadi pula sekelompok orang yang mengadakan dan menyaksikan konser musik dengan atas nama segala macam kepentingan. 

Di Jakarta bahkan sempat ramai masa berkumpul mengikuti proses penutupan restoran siap saji yang terkenal di bilangan jl. Thamrin, Jakarta Pusat. Belum lagi kita lihat kerumunan masa apakah itu mengantri ke pusat perbelanjaan, mengantri mengunakan kereta api dan transportasi lainnya, termasuk ramainya antrian di bandara yang ingin pergi menggunakan pesawat terbang.

Terkait perubahan perilaku, pak Jesse telah memiliki pengalaman jam terbang yang cukup tinggi semenjak tahun 2000-an dalam menangani anak dan orang dewasa yang ketergantungan penggunaan narkoba. Behaviour therapy yang dilakukan tidak melulu harus di behaviour therapy center atau rumah rehabilitas yang old passion. 

Menurut beliau perubahan yang dilakukan adalah perubahan cara berpikir. Perubahan pikiran, pikiran itu beroperasi dengan dua cara. Cara pertama dengan conscious mind, atau dalam keadaan sadar. Cara kedua beroperasi dengan subconscious mind. Conscious yang dimaksud di sini dalam cara berpikirnya, bukan pengertiaan consciousness dengan makna yang berbeda.

Dalam pemrograman subconscious mind, buku yang dirujuk adalah bukunya Bruce Lipton dengan judul “The Biology of Beliefs”. Bagus untuk kita memperkaya wawasan khususnya terkait pikiran dan perubahan. 

Menurut Bruce, subconscious mind telah diprogram semenjak kecil, bahkan sejak bayi masih di dalam kandungan ibunya. Proses program ini terus berlangsung sampai dengan anak berusia 7 tahun. Penelitian ini dilakukan oleh Harvard Child Center, memfokuskan mempelajari bagaimana manusia memprogram subconscious mind. 

Menurutnya anak memprogram subconscious mind dengan jalan men-download seluruh program yang ada di sekitar lingkungannya. Terutama lingkungan orang tua dan rumahnya, termasuk care giver-nya. Proses pemrograman ini terus berlangsung tanpa terdisrupsi, sangat jangka panjang sekali. Kalau lingkungannya baik atau sepandan maka dia akan membawa program seperti program di komputer dengan program yang baik. Misal dia hidup dengan latar belakang budaya yang baik, dengan nilai-nilai agama yang diyakini, latar belakang sosial yang baik dan seterusnya.

Sebagai catatan di sini; yang paling penting adalah pengasuhan orang tua atau nurturing yang baik. Namun banyak juga orang yang mempunyai latar belakang baik secara budaya, pendidikan dan sebagainya, tetapi pengasuhannya sangat otoritatif. Orang tuanya berpendapat; kalau saya sukses makanya anaknya harus sukses seperti mereka. Biasanya dikenal juga dengan istilah authoritative parenting. 

Parenting jenis ini sebenarnya menghasilkan toxic menthol buat anaknya. Jadi yang diprogram bukan keahlian ayahnya atau ibunya, tetapi pemaksaan otoritas ini kepada anak itulah yang diprogram anak tersebut. Dan akan sangat berpengaruh dalam kehidupan selanjutnya.

Nah, seluruh program ini kemudian di-endorse oleh lingkungan. Setelah anak berusia lebih 7 tahun, dia mulai menggunakan conscious mind-nya. Dia mulai menilai, karena di usia itu dia telah bergaul dengan teman-temannya di sekolah, memperoleh pelajaran dan pengajaran. Jadi ada informasi-informasi baru yang masuk ke dalam program dia yang perlu dicerna. Dicernanya dengan conscious mind dia. Tetapi sebenarnya sudah ada program lama yang telah melekat, sudah menetap di dalam dirinya dia.

Misalkan, anak-anak yang bandel sebagai gambaran program-program yang menghasil toxic tadi yang diperoleh dari lingkungan hidupnya. Mungkin di rumah, mungkin dari keluarga, mungkin dari tetangga, bisa saja terjadi. Ini kita bicara yang normal, bukan yang abnormal. 

Kemudian dalam perjalanan hidupnya dia selanjutnya, semua informasi yang masuk sudah terprogram di dalam dirinya itu akan muncul di dalam subconscious-nya atau di dalam perilakunya. Nah, subcoscious mind ini tanpa kita sadari telah mengendalikan kehidupan kita. Memang tidak mudah merubah subconscious mind kita.

Selanjutnya, cara kedua kita akan mengubah melalui conscious mind kita. Conscious mind biasa sangat kreatif, berdasarkan desire kita. Apa saja yang kita inginkan. Ini lah the conscious mind. Kita menganggap dengan mudah dapat merubah conscious mind kita. 

Bruce Lipton memberikan ilustrasi; seperti kita membeli CD materi pelatihan dengan judul ‘Self-Help’. Bagaimana menolong diri sendiri, bagaimana merubah diri kita sendiri. Sangat banyak sekali. Bahkan ada ribuan buku berisikan tips-tips cara bagaimana merubah perilaku diri. Lalu kita membelinya, dan membaca buku-buku itu, mendengarkan CD tadi. 

Masalahnya apakah kita membaca atau mendengarkan dengan otak kreatif kita? Awalnya kita bersemangat dan tertarik untuk merubah diri seperti yang dikatakan di dalam CD tersebut atau seperti apa yang kita baca di dalam buku-buku itu. Namun sesungguhnya karena tidak terprogram dalam otak kita.

Pak Jesse memberikan analogi seperti saat kita menjawab 100 pertanyaan yang diberikan kepada kita. Dan ternyata kita dapat menyelesaikan tes itu dengan baik menjawab seluruh pertanyaan tersebut. Kemudian kita dinyatakan lulus. Pertanyaannya apakah kita lulus karena kita sebelumnya telah memprogramkan untuk lulus, atau kita lulus hanya karena kita dapat menjawabnya secara conscious. 

Dalam kenyataannya yang sering terjadi belum tentu kita dapat berubah karena kita telah lulus menjawab tes 100 soal tadi. Inilah yang menjadi persoalan, pada saat kita sedang berbicara seperti sekarang ini, begitu suasana berubah sedikit maka akan diambil alih oleh subconscious kita tanpa kita sadari.

Misalnya pada saat kita sedang berbicara, terus subconscious kita mengatakan; “ah tidak bisa itu… bla bla bla…” lalu kita motong, kita interupsi. Hal itu yang sering terjadi saat kita menyaksikan tanyangan acara di televisi, interupsi dan interupsi. Interupsi adalah salah satu cara subconscious kita berbicara. 

Kenapa bisa? Karena berdasarkan apa yang telah kita program di dalam pikiran kita. Program itu yang kita sebut apa yang kita yakini. Begitu itu beda dengan keyakinan kita, secara otomatis kita interupsi tanpa harus memikirkannya lagi. Sebenarnya itulah yang terjadi sehari-hari.

Sama halnya seperti masa pandemi yang kita hadapi sekarang ini. Sesungguhnya bagaimana cara kita mem-reprogram subconscious mind dalam rangka perubahan tersebut. Bruce Lipton mengajukan 3 cara paling praktis menurutnya. Pertama, kita kembali pada usia 0 s/d 7 tahun seperti yang dijelaskan di atas sebelumnya. 

Menurut Bruce sebagai seorang yang ahli dalam DNA dan genetika, anak pada usia tersebut sering dalam keadaan ‘theta wave’. Berbeda saat kita sedang berbicara atau sedang membaca tulisan ini kita dalam keadaan ‘alpha wave’. Makanya pada saat anak kecil melihat kita sedang berbicara anak itu sering terlihat seperti bengong.

Padahal dia sedang men-download apa yang sedang kita bicarakan atau diskusikan dengan orang lain. Kelihatan anak itu sedang bengong atau terpesona, padahal sebenarnya dalam keadan ‘theta wave’ tadi. Nah melalui program ini sering dinamakan melalui ‘Self-Hypnosis’. Bruce Lipton memiliki banyak program terkait ini.

Cara kedua adalah dengan melakukan repetition atau pengulangan seperti yang banyak dilakukan di sekolah. Repetition yang harus diulang-ulang agar tertanam di dalam subconscious mind kita. Sama juga dengan perilaku. Seperti yang dilakukan di pusat rehabilitasi ataupun di lembaga kemasyarakatan alias penjara. 

Repetition yang dilakukan bertujuan untuk merubah perilaku. Supaya perubahan terjadi yang dilakukan oleh para behaviorisme ini. Tapi ternyata menurut pengamatannya pak Jesse banyak tidak dilakukan seperti itu. Sehingga tidak terjadi perubahan cara berpikir. Sesungguhnya mereka hanya melakukan perubahan tempat saja. Dari tempat yang bebas ke tempat yang tertutup. Sehingga begitu mereka keluar, mereka melakukan lagi hal yang sama. Karena tidak ada proses repetition di situ.

Dengan repetition sebenarnya akan menjadi kebiasaan. Dari sejak kecil kita pun diajarkan kebiasaan-kebiasaan baik oleh orang tua. Salah satu kebiasaan yang diajarkan adalah adat istiadat. Agar anak tahu adat. Nah itulah cara-cara pendekatan behaviorisme. Pendidikan yang menggunakan pendekatan behaviorisme seperti yang dilakukan oleh Alfred Adler dari AS yang sekarang diadopsi di sekolah-sekolah kita. 

Namun sering kali pendekatan behaviorisme yang diterapkan terlalu berlebihan. Katakan saja seperti anak-anak SD yang diwajibkan membawa buku-buku sekolah dengan jumlah yang jauh lebih banyak dari anak-anak kuliah. Sehingga tujuan pendidikan yang sebenarnya diharapkan terjadi tidak terjadi. Upaya repetition dan behaviorisme itu tidak tercapai. Hanya hafalan yang mereka peroleh. Anak hanya dapat menghafal tanpa melakukan atau membangun kebiasaan-kebiasaan positif tadi. Misal dengan menghafal sejarah seakan-akan mereka akan berubah pikirannya.

Demikian pula dalam hal menghadapi pandemi ini. Sering didengungkan “Indonesia Pasti Bisa!” kalimat yang diulang-diulang. Pertanyaan; kita bisa apanya? Hubungannya kita pasti bisa menghadapi COVID-19 ini. Tanpa sugesti, kita memang pasti bisa, nature-nya otak seperti itu. Kita bisa melampui masalah pandemi ini. 

Jadi kebanyakan apa yang dilakukan ingin memberikan sugesti, seolah-olah apabila sugesti tersebut telah disampaikan maka perubahan akan terjadi. Contoh lainnya seperti isolasi diri di rumah. Soal social distancing. Kalau pun pembaca pergi keluar, keadaan itu tidak berlaku. Jadi susgeti ‘kita itu pasti bisa, kita akan bersatu bersama-sama menghadapi ini’, namun pada kenyataannya tidak dapat merubah perilaku sosial tadi.

Cara terakhir, atau cara ketiga adalah habitual, yaitu membiasakan diri. Seperti pada dunia olahraga, katakan sepak bola. Tokoh-tokohnya seperti Messi, Ronaldo, dan Salah kalau menendang bola di depan gawang secara otomatis tanpa memikirkan lagi sebelumnya. 

Namun kadang-kadang tidak goal juga, karena kipernya pun sudah terlatih secara otomatis dapat manghalau atau menangkap bola yang ditendang lawan. Jadi olahraga merupakan salah satu bagaimana cara membangun habituation atau kebiasaan yang baik sesuai bidang olah raga yang ditekuni. Sehingga dia menjadi ahli di situ. Karena mereka tekun berlatih. Tiap hari mereka latihan.

Bagaimana dengan pemain bola kita? Masih banyak pemain klub profesional atau pemain nasional yang latihan bola di pagi hari namun malam sebelumnya bermain billyard sampai larut malam bahkan sampai pagi. Kecuali kalau masih tetap juara terus sih no problem. 

Kenapa timnas kita tidak bisa jadi juara internasional atau juara dunia? Jawabannya menjadi jelas; karena porsi latihannya kurang. Kalau porsi latihannya kurang habituation pun tidak terbentuk. 

Habituation itu tidak hanya membentuk jalan-jalan pikiran kita (neural pathways). Namun juga membentuk otot-otot kita, motorik kita. Itu yang secara otomatis. Karena biar bagaimanapun gerakan otot-otot kita akan selalu berhubungan dengan pikiran kita, dengan kecerdasan kita, dengan conscious mind kita.

Beberapa alternatif perubahan perilaku yang baik juga dapat dilakukan melalui counselling dan coaching. Permasalahannya, counselling dan coaching sudah harus diarahkan ke tempat perubahannya. Kita tidak bisa melakukan coaching tanpa mengarahkannya ke tempat perubahan perilaku itu terjadi. Di mana tempat perubahan itu? Tempatnya adalah di subconscious mind. 

Neurosains memberikan wawasan di mana atau bagaimana subconscious mind dan conscious mind itu bekerja. Jadi hubungan antara prefrontal cortex (PFC) dengan the limbic system, tepatnya amygdala. Bila kita memahami ini, akan menjadi lebih mudah, misalkan dalam melakukan terapi. Baik itu cognitive behaviour therapy (CBT) maupun schema therapy.  

Dalam melakukan terapi pada saat memberikan counselling ataupun coaching yang harus kita selalu ingat bahwa tipe pasien itu berbeda-beda. Sehingga harus mampu mengimplementasikan metoda-metoda yang berbeda. Dalam menghadapi gangguan mental tidak bisa menggunakan satu metoda untuk semua. Kita harus menggunakan berbagai macam metoda, sepeti metoda cognitive, metoda psikodinamika, metoda humanistic, metoda inter-personal, dan lain sebagainya. 

Catatannya; apapun metodanya pendekatan neurosains sangat membantu. Tempat bekerjanya, fungsi peranan dari organ-organnya, bagian-bagian dari otaknya sama. Misalkan contoh untuk mengendalikan emosi, yang membuat orang depresi, tidak ada pilihan harus mengaktifkan fungsi prefrontal cortex. Terapi-terapi yang dilakukan kita harus bisa  mengaktifkan prefrontal cortex, dalam rangka meregeulasi atau mengontrol amygdala.

Pada era pandemi ini terutama kepada anak-anak milenial yang tetap tenang, santai, nongkrong di pinggir jalan, karena mereka bisa jadi memiliki informasi yang lebih lengkap dibanding senior-seniornya yang ketakutan. 

Jadi kesimpulan sementara; memang kita tidak terlalu optimis apakah dengan masa pandemi membawa perubahan perilaku sampai kepada perubahan personality kita. Karena personality seseorang lebih banyak dikendalikan oleh subconscious mind kita, hampir 95%. Kita punya perilaku ditentukan oleh program yang telah diinstall dari kecil dan diperkuat oleh epigenetics kita. (BIS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun