Misalnya pada saat kita sedang berbicara, terus subconscious kita mengatakan; “ah tidak bisa itu… bla bla bla…” lalu kita motong, kita interupsi. Hal itu yang sering terjadi saat kita menyaksikan tanyangan acara di televisi, interupsi dan interupsi. Interupsi adalah salah satu cara subconscious kita berbicara.
Kenapa bisa? Karena berdasarkan apa yang telah kita program di dalam pikiran kita. Program itu yang kita sebut apa yang kita yakini. Begitu itu beda dengan keyakinan kita, secara otomatis kita interupsi tanpa harus memikirkannya lagi. Sebenarnya itulah yang terjadi sehari-hari.
Sama halnya seperti masa pandemi yang kita hadapi sekarang ini. Sesungguhnya bagaimana cara kita mem-reprogram subconscious mind dalam rangka perubahan tersebut. Bruce Lipton mengajukan 3 cara paling praktis menurutnya. Pertama, kita kembali pada usia 0 s/d 7 tahun seperti yang dijelaskan di atas sebelumnya.
Menurut Bruce sebagai seorang yang ahli dalam DNA dan genetika, anak pada usia tersebut sering dalam keadaan ‘theta wave’. Berbeda saat kita sedang berbicara atau sedang membaca tulisan ini kita dalam keadaan ‘alpha wave’. Makanya pada saat anak kecil melihat kita sedang berbicara anak itu sering terlihat seperti bengong.
Padahal dia sedang men-download apa yang sedang kita bicarakan atau diskusikan dengan orang lain. Kelihatan anak itu sedang bengong atau terpesona, padahal sebenarnya dalam keadan ‘theta wave’ tadi. Nah melalui program ini sering dinamakan melalui ‘Self-Hypnosis’. Bruce Lipton memiliki banyak program terkait ini.
Cara kedua adalah dengan melakukan repetition atau pengulangan seperti yang banyak dilakukan di sekolah. Repetition yang harus diulang-ulang agar tertanam di dalam subconscious mind kita. Sama juga dengan perilaku. Seperti yang dilakukan di pusat rehabilitasi ataupun di lembaga kemasyarakatan alias penjara.
Repetition yang dilakukan bertujuan untuk merubah perilaku. Supaya perubahan terjadi yang dilakukan oleh para behaviorisme ini. Tapi ternyata menurut pengamatannya pak Jesse banyak tidak dilakukan seperti itu. Sehingga tidak terjadi perubahan cara berpikir. Sesungguhnya mereka hanya melakukan perubahan tempat saja. Dari tempat yang bebas ke tempat yang tertutup. Sehingga begitu mereka keluar, mereka melakukan lagi hal yang sama. Karena tidak ada proses repetition di situ.
Dengan repetition sebenarnya akan menjadi kebiasaan. Dari sejak kecil kita pun diajarkan kebiasaan-kebiasaan baik oleh orang tua. Salah satu kebiasaan yang diajarkan adalah adat istiadat. Agar anak tahu adat. Nah itulah cara-cara pendekatan behaviorisme. Pendidikan yang menggunakan pendekatan behaviorisme seperti yang dilakukan oleh Alfred Adler dari AS yang sekarang diadopsi di sekolah-sekolah kita.
Namun sering kali pendekatan behaviorisme yang diterapkan terlalu berlebihan. Katakan saja seperti anak-anak SD yang diwajibkan membawa buku-buku sekolah dengan jumlah yang jauh lebih banyak dari anak-anak kuliah. Sehingga tujuan pendidikan yang sebenarnya diharapkan terjadi tidak terjadi. Upaya repetition dan behaviorisme itu tidak tercapai. Hanya hafalan yang mereka peroleh. Anak hanya dapat menghafal tanpa melakukan atau membangun kebiasaan-kebiasaan positif tadi. Misal dengan menghafal sejarah seakan-akan mereka akan berubah pikirannya.
Demikian pula dalam hal menghadapi pandemi ini. Sering didengungkan “Indonesia Pasti Bisa!” kalimat yang diulang-diulang. Pertanyaan; kita bisa apanya? Hubungannya kita pasti bisa menghadapi COVID-19 ini. Tanpa sugesti, kita memang pasti bisa, nature-nya otak seperti itu. Kita bisa melampui masalah pandemi ini.
Jadi kebanyakan apa yang dilakukan ingin memberikan sugesti, seolah-olah apabila sugesti tersebut telah disampaikan maka perubahan akan terjadi. Contoh lainnya seperti isolasi diri di rumah. Soal social distancing. Kalau pun pembaca pergi keluar, keadaan itu tidak berlaku. Jadi susgeti ‘kita itu pasti bisa, kita akan bersatu bersama-sama menghadapi ini’, namun pada kenyataannya tidak dapat merubah perilaku sosial tadi.