Mohon tunggu...
Bambang Hermawan
Bambang Hermawan Mohon Tunggu... Buruh - abahnalintang

Memungsikan alat pikir lebih baik daripada menumpulkan cara berpikir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bulan di Mana?

19 Desember 2020   15:56 Diperbarui: 19 Desember 2020   15:58 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tidak seperti biasanya Fadil mengalami sulit tidur, berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Padahal, paling malam sekitar pukul 21.00 WIB, dia sudah lelap dalam keterjagaan.

Angan melayang tak karuan, pikir terbang tanpa arah, hasrat meronta seakan menuntut dia untuk beranjak dari tempat perebahan sejenak, namun keadaan seperti itu tidak membuat dia melupakan akan sebuah kebiasaan  -mengisi ketidakjelasan dengan sesuatu yang lebih berisi-.

Dia keluar kamar menuju ruang tamu dengan harapan, lekas sirna kegundahan yang dialami. Sesampainya di ruang tamu dia menyalakan sebatang rokok dengan ditemani segelas teh hangat yang dibuat dengan tangannya sendiri. Dengan cita di hati, menjadi peneman kegundahan yang dialami.

"Fadil!". Seru ibunya,yang hendak menuju toilet.

Dia terperanjat.

Seketika dia membalas sahutan Ibunya, "Iya Bu, ada apa?".

"Ibu kira siapa Nak!" ucap ibunya.

"Kenapa kamu belum tidur, ini kan sudah malam Nak?", tanya ibunya.

"Tidak tau Bu, Fadil juga heran kenapa malam ini sangat sulit mata dipejamkan?" jawabnya.

"Sebentar ya Nak, Ibu ke toilet dulu", sambil melangkahkan kaki menuju toilet dengan langkah yang gontai.

"Iya Bu, silakan", ujar dia dengan nada parau dan sedikit serak.

Ibunya pergi menuju toilet setelah melontarkan tanya pada Fadil. Sementara sambil menunggu ibunya kembali dari toilet, dia mengambil buku tulis yang ada di bawah meja tamu. Mungkin dia bermaksud hendak menumpahkan situasi pikir dan rasa yang dialaminya malam itu pada sebuah buku dengan tinta biru yang kebiruannya itu sudah mulai terlihat memudar. Layaknya pudaran lembayu sore yang hendak diganti dengan warna langit malam.

Ibunya sudah berada di ruang tamu, lalu duduk bergandengan dengan anaknya seperti selalu bergandengannya asma Tuhan dengan nabinya di ruang-ruang peribadahan. Terlihat pada muka ibunya sejuta tanya keheranan terhadap anaknya yang diharapkan kelak menjadi jawab bagi persoalan kehidupan yang sedang bergulir, karena tak seperti biasanya Fadil anaknya terbangun sampai larut malam. Dan itu juga yang menjadi alasan ibunya menghampiri dia ke ruang tamu.

"Fadil!", seru ibunya yang sudah duduk berdekatan dengannya.

"Kenapa Nak malam larut gini kamu belum tidur?" sambil mengelus rambut Fadil yang tampak tak tertata rapi menggambarkan kekalutan yang bertamu pada dirinya di malam yang tak bertuan.

"Tak seperti biasanya kamu tidur sampai larut malam kaya gini?" tanya yang terlontar dengan tatapan yang begitu dalam.

"Kamu lagi ada masalah yah Nak? Kalau ibu boleh tau ada apa?", ibunya mencoba mencari tahu yang dirasa anak semata wayangnya.

Dia menjawab: "Fadil juga heran Bu. Kenapa jadi sulit tidur seperti ini? Kalau disebut ada masalah, Fadil tak merasa ada masalah Bu. Setelah shalat isya tadi, seperti biasa Fadil membaca buku, tapi tiba-tiba perasaan merasa ga nyaman Bu. Ya Fadil putuskan untuk istirahat. Fadil ambil selimut lalu mulai membaringkan badan di atas sajadah bekas shalat isya tadi, lalu mencoba memejamkan mata, namun bukannya tidur, yang ada pikiran semakin melayang jauh tanpa ada kejelasan batas. Setelah merasa tidak kuat menahan ketidakjelasan rasa malam ini, Fadil putuskan untuk meninggalkan perebahan sejenak dengan harapan lekas sirna ketidakjelasan pikir, angan, dan rasa yang sedang dialami malam ini. Begitu, jadi Fadil juga tidak tahu apa yang menimpa pada diri malam ini, tak seperti biasanya sudah larut malam gini belum juga mau terpejam ini mata", dia memaparkan keadaan dirinya yang dilanda kalut dengan lisan sedikit ada ketidakleluasaan karena khawatir membuat cemas ibunya.

Ibunya merasa heran, karena apa yang ditanyakan oleh dia pada Fadil jawabannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ibunya hanya ingin tahu apa yang menyebabkan sulit tidur, namun dia sendiri yang merasakannya tidak tahu apa alasan dia sulit tidur. Tapi, ibu adalah ibu. Walupun dia heran dengan apa yang menimpa diri anaknya malam itu, dia tetap mencoba menenangkan anaknya yang sedang dirundung kalut tak diundang.

Dengan suara yang lemah lembut, sarat akan kasih sayang, ibunya berujar, "Fadil anak kesayangan ibu, dengar! Walau ibu tidak begitu tahu dengan pasti apa yang kamu rasakan, ibu akan sampaikan, apapun bentuk perasaan yang kamu rasakan baik kalut maupun gundah gulana, jangan sampai membuat kamu tidak mengerjakan apa-apa,  kamu harus selalu melakukan sesuatu,  bila ingin kehidupanmu berjalan dengan wajar! Dan coba ingat-ingat, barangkali siang tadi kamu melakukan suatu perbuatan yang menyinggung atau mengusik perasaan yang berefek sakit hati yang mendalam pada orang lain", papar ibunya mencoba memberikan rasa aman dan nyaman pada anaknya.

"Sekarang kembalilah ke tempat tidurmu, lihat sudah pukul 00.00 tuh, besok kan kamu harus kuliah," saran ibunya yang sudah mencoba menenangkan anaknya dengan dialog-dialog yang dirasa terlontar dari naluri seorang ibu yang tidak tahu bentuk persoalan yang dialami anaknya namun dia memahami keadaan yang sedang dirasakan anaknya.

Dan ibunya pun berdiri dari tempat duduknya, hendak meninggalkan anaknya untuk melanjutkan istirahat malamnya setelah melalui hari yang penuh dengan kepenatan rutinitas, namun sebelum benar-benar pergi meningalkan Fadil, ibunya memeluk dan mencium kening anaknya. Tampaklah  ketulusan sayang seorang ibu terhadap anaknya di malam itu. Sambil berjalan menuju kamar, ibunya berucap, "Nak! Ibu ke kamar duluan. Selamat malam dan selamat beristirahat. Nikmati kegundahanmu malam ini jangan kamu sia-siakan," pesan ibunya yang sudah bangkit dari tempat duduknya menuju tempat istirahatnya.

Fadil beranjak dari tempat duduk, dan hendak menuju kamarnya lagi. Sesampainya di kamar, dia rentangkan badannya di atas permadani tempat dia tidur. Sambil berusaha keras memejamkan mata, dia mengingat-ngingat apa yang sudah diucapkan ibunya waktu di ruang tamu tadi. Dan dia teringat,  bahwa siang tadi dia harus mengantarkan Bulan ke toko buku untuk membeli Al-quran dan buku yang bernuansa religi. Namun karena keasyikan dalam berdiskusi dengan teman-temannya tentang " Karya Sastrawan dalam Arus Zaman yang Simpang Siur", dia pun lupa dan tidak mengantar Bulan ke toko buku. Padahal dia sudah berjanji akan mengantar Bulan.

Setelah ingat kejadian itu, dia menganggap ternyata benar apa yang dikatakan ibunya, bahwa mungkin saja dia menyinggung perasaan yang berefek pada sakit hati yang mendalam. Dan Fadil pun berniat menemui Bulan setelah malam telah dia lewati, untuk meminta maaf atas kekhilafannya.

Baru setelah dia tahu, bahwa dia melakukan sebuah perilaku yang tidak diangggap benar dan berniat untuk mempertanggungjawabkannya, sirnalah segala kegalauan yang dia alami di malam itu.

Dia mencoba memejamkan matanya lagi dengan dibarengi doa yang terurai dari mulutnya. Dan lelaplah dia malam itu dengan ditemani suara serangga malam yang tak jelas rupanya, karena hanya suaranya saja yang selalu terngiang di telinga tanpa memperlihatkan perwujudannya.

Bulan adalah seoarang wanita yang bisa dibilang solehah, sehari-hari dia tidak pernah lepas dari pakaian yang selalu menutupi auratnya sebagai wanita muslim. Selain itu juga Bulan adalah seorang wanita yang hendak Fadil jadikan pendamping hidupnya baik di dunia dan akhirat. Itulah yang pernah dirangkai oleh mereka berdua selaku anak manusia yang berhak menyusun rencana walau pada kenyataannya manusia hanya bisa berencana namun tetap kehendak  Tuhanlah yang selalu dan pasti jadi kenyataan.

Fadil dan Bulan adalah lulusan salah satu pondok pesantren yang terkenal di daerah Jawa Timur. Dan di pondok pesantren itulah mereka berkenalan sampai merajut sebuah ikatan kejelasan, lambang mereka adalah  manusia yang mempunyai sisi kemanusiawian, diakui atau pun tidak.

Awalnya mereka satu sama lain tidak saling kenal, tapi lewat sebuah kegiatan pengajian yang dilaksanakan setiap sore di salah satu surau yang ada di dalam bagian bangunan pesantren itu, yang di mana putra dan putri berada dalam satu tempat yang sama -alias tidak dipisahkan ruangannya-, akhirnya mereka saling mengenal.

Dua orang ini, saat di pesantren termasuk orang yang dikenal oleh semua lapisan yang ada di pesantren itu, baik di mata kiai, ustadz, dan para santri. Karena kedua orang ini merupakan orang-orang yang berprestasi, jadi tidak heran kalau mereka dikenal.

Setamatnya dari pondok pesantren, Fadil dan Bulan melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi yang berada di daerah Jawa Barat, tepatnya Bandung. Mereka kuliah di kampus yang sama, namun beda jurusan. Fadil kuliah di Fakultas Sastra, sementara Bulan kuliah di Fakultas Ilmu Dakwah.

Saat Fadil sedang lelap dalam keterjagaan malam, tiba-tiba dia terperanjat dari keterjagaannya. Maklum, ada satu kebiasaan yang tidak pernah Fadil tinggalkan dalam waktu sepertiga malam, yaitu shalat tahajjud. Walaupun dia tidur lebih larut dari pada gelapnya malam, namun ketika jam menunjukkan pukul tiga pagi, dia pasti bangun untuk bersuci lalu berdiri di atas sajadah menghadap kiblat dan memulai dengan takbir. Itulah kebiasaan dia yang tidak pernah dia tinggalkan selama dia mampu dan bisa.

Sehabis beres shalat tahajud, dia tidak langsung tidur  sampai waktu subuh tiba berkumandang membangunkan ketulian telinga yang tertutup kelemahan diri.

Subuh pun tiba.

Fadil bergegas menuju masjid yang berada tak jauh dari rumahnya, untuk melaksanakan shalat berjamaah. Selasai shalat dia langsung kembali lagi ke rumah dan membereskan pekerjaan rumah, dari mulai menyapu rumah dan halaman, mencuci piring, dan mencuci pakaian.

Setelah beres semua pekerjaan rumah, Fadil teringat, hari ini dia harus menemui Bulan untuk minta maaf karena lupa pada janji yang sudah diikrarkan pada Bulan. Dia pun beranjak dari rumah. Perlahan langkah kakinya mulai menjauhi rumah tempat dia tinggal, sampai pada akhirnya rumah tempat dia tinggal tak dapat dijangkau lagi oleh pandang yang kasat.

Selama perjalanan, keriangan hati dia sempat rasakan, dan kadang-kadang kerisauan yang lahir dari kekhawatiran, takut maksud kebulatan hatinya untuk minta maaf tak tersampaikan, dia alami juga. Tapi kondisi batin yang bercampur antara was-was dan riang itu, tidak menyurutkan langkahnya untuk menemui Bulan kekasih hatinya yang dia tanam bukan untuk di dunia saja, melainkan di akhirat juga.

Di luar sangka, dan duga, belum juga sampai di tujuan, langit yang tadinya cerah dihiasi awan gemawan kebiruan, berubah warna kepekatan, seakan memperlihatkan kebengisannya bagi mereka yang jauh dari syukur nikmat. Dia tetap berjalan menuju rumah Bulan, namun belum juga hilang kepekatan warna langit itu, tiba-tiba bumi pun bergoyang kencang. Dan dia pun berucap, "Astagfirullah gempa bumi!".

Goyangan yang dirasakan oleh Fadil saat itu sangat besar, sampai dia pun terjatuh. Tak lama kemudian gempa bumi yang melanda kota itu hilang sama sekali tanpa bekas. Dia pun melanjutkan perjalanannya.

Dari kejauhan, rumah wanita yang Fadil tuju sudah mulai terlihat.

Tiba-tiba gempa bumi menggoyang kota itu lagi, kekuatan gempa yang ini mengalahkan kekuatan gempa yang pertama tadi. Sampai rumah Bulan yang jadi tujuan Fadil ambruk, dan tidak menyisakan kehidupan yang hidup di dalamnya.

Hanya seorang kakek tua yang selamat dari ambrukan bangunan tempat tinggal Bulan dan keluarganya itu. Dengan badan yang lemah, kakek tua itu berjalan perlahan keluar meninggalkan tumpukan ambrukan rumah itu.

Fadil yang melihat kejadian itu, berlari dengan cepat mendekati kakek tua itu. Sampailah dia di hadapan kakek tua itu.

Dan ternyata dia itu adalah kakeknya Bulan. Fadil pun bertanya: "Kek! Bulan di mana? Kek! Kek! Bulan di mana?" Sang kakek masih tertegun, kaget penuh ketercengangan, karena mengalami kejadian yang sangat dahsya.. Saking dahsyatnya, semua isi rumah hancur. termasuk Bulan, pujaan Fadil hilang tak ditemukan.

Dalam ketertegunannya kakek itu menjawab pertanyaaan Fadil dengan isak tangis yang lirih, "Nak Fadil! Relakan yang terjadi. Dia bukan milik kita lagi! Sudah kita relakan saja, lebih baik Nak Fadil mendoakan yang terbaik untuk Bulan," pucatlah muka Fadil seketika, dan tersungkurlah dia di atas tanah di depan bangunan ambruk yang diluluh-lantahkan gempa bumi itu.

Dia pun merintih, "Ya Allah, Bulan di mana?'   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun