Mohon tunggu...
Bambang Siswanto
Bambang Siswanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - peneliti

peneliti sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Benarkah Demokrasi Menuju ke Arah Keruntuhan?

21 September 2020   17:42 Diperbarui: 21 September 2020   17:47 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditengah kegundahan saya terhadap performa demokrasi kita, saya menemukan tulisan Brook Manville, boss Brook Manville LLC, di Majalah Forbes, 2 Jan 2018. Manville ternyata juga amat gundah dengan perkembangan demokrasi di tanah airnya Amerika. 

Demokrasi kita, ujar Manville, perlu diperbaharui (renew), it's time to reboot, saatnya mulai lagi dari awal, karena ada gejala keruntuhan segera (imminent collapse). Dengan kata kata Manville, We're going through a rough patch now, yes- but that's simply a signal that it's time to reboot.

Manville tidak sendiri, banyak warga negara  di negerinya yang memiliki concerned sama, satu diantaranya yakni Josiah Ober, professor of political and classics dari Stanford University. Prof Ober sampai menuangkan kegundahannya dalam bentuk buku berjudul "Demopolis: Democracy before Liberalism in Theory and Practice" (Cambridge University Press, 2017). Demokrasi menurut Ober, selain rapuh, tapi  juga kokoh, fragile and persistent. 

Dia juga mengatakan akan perlunya  me-renew demokrasi, we do need to get to work on that, kita perlu melakukan pekerjaan terhadap demokrasi. Tetapi kita harus memahami betul akar masalahnya. Kita tidak bisa memperbaiki sistem tanpa melihat kebelakang pada esensi dari demokrasi yang benar, begitu kata Ober. 

Istilah Demopolis pilihannya, merujuk pada sebuah 'eksperimen pikiran', dimana separo adalah konseptual, separonya lagi berupa gambaran imaginasi demokrasi fundamental dimana harus didefinisikan dengan baik sehingga keseluruhan warga negara dapat secara kolektif mengatur diri mereka sendiri, bebas dari perselisihan endemik (endemic strife). 

Ober melihat perselisihan endemik itu sedang berlangsung di negerinya. Dan itu melukai demokrasi. Karena itulah diperlukan usaha untuk memperbaiki, kata Ober. Dia lalu menyarankan untuk melihat kedalam kepribadian dan struktur politik, personalities and political structures, agar lebih jelas dalam memahami lemahnya demokrasi. 

Dan sejumlah masalah politik saat ini, hanya bisa diperbaiki dengan kembali ke esensi demokrasi yang benar. Untuk itu diperlukan usaha civic education, pendidikan warga negara, karena demokrasi telah menghasilkan disonansi. Dengan demikian ke depan akan dihasilkan suatu tipe kepemimpinan yang berbeda dari apa yang ada saat ini (a different kind of leadership than what we have today). 

Kesimpulan yang dapat diambil dari refleksi kegundahan dua ahli di atas adalah bahwa demokrasi, khususnya di Amerika, perlu dikembalikan pada esensinya. Demokrasi perlu perawatan atas luka lukanya.

Kembali ke esensi
Apa yang menjadi keprihatinan Manville dan Ober terhadap performa demokrasi yang sudah berjalan puluhan tahun di negerinya, barangkali juga bisa diambil sebagai bahan renungan terhadap demokrasi kita saat ini. 

Demokrasi kita juga sedang 'berkelana', sedang berproses. Mirip bukunya Inkeles dan Smith "Becoming Modern", maka perjalanan yang ada barangkali menuju ke destinasi becoming democracy yang ideal. Namun kita harus optimis bahwa proses yang berlangsung tidak akan dan tidak boleh menuju ke imminent collapse. 

Kendati demikian, saya sependapat dengan Manville  maupun Ober akan perlunya me-renew, me-reboot, meredefinisi demokrasi kita. Mengembalikan demokrasi kita ke esensinya, ke hakikatnya agar menuju kearah demokrasi yang berperadapan Indonesia. Mengapa demikian? Karena demokrasi yang berjalan saat ini, selain dianggap berbiaya sangat tinggi juga berpotensi melahirkan politik uang(money politics), ujaran kebencian (hate speeches) dan permusuhan (hostility), serta membanjirnya berita bohong (hoax-fake news).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun