Dan Sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir'aun dan) kaumnya dengan(mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supayamereka mengambil pelajaran.
( Edisi bahasa Indonesia tafsir Jalalain , dan tafsir Ibun Katsir )
Padahal demi, sesungguhnya Kami telah menghukum kaum Fira’un dengan masamasa sulit dan kekurangan buah-buahan supaya mereka mengambil pelajaran
( Tafsir Al Misbah )
Al Qur’an Surah Al-A’raf ayat 130
Dua terjemahan surah Al A’raf ayat 130 di atas sekilas nampak sama.Perbedaanya pada tafsiran kata Ali firaun.Terjemahan pertama mengartikan dengan ( Fir’aun dan ) kaumnya. Terjemahan kedua kaum Fir’aun. TafsirRahmat malah menerjemahkan sesuai teksnya dengan keluarga Fir”aun.
Walaupun terjemahan pertama dan kedua maksudnya sama, tapi mempunyai dimensi yang berbeda.Terjemahan pertama mengisyaratkan Fir'aun dan kaumnya kena hukummusim paceklik. Karena kata Fir'aun didahulukan, maka bisa ditafsirkan yang pertama kena dampak hukuman itu adalah Fir’aun.
Pada terjemahan kedua, yang paling terasa hukuman itu adalah kaum Fir’aun,sedangakn Fir’aun hanya kena dampaknya saja. Saya lebih cenderung pada terjemahan kedua. Di samping terjemahan itu sesuai teks ayat tersebut yang tanpa menggunakan kata sambung (athaf ) juga secara faktual bisa kita buktikan.
Jika terjadi bencana di satu negara maka yang paling merasakannya adalah rakyat. Sedangkan Raja akan terkena dampaknya jika bencana itu menjadi massif. Bencana paceklik pada masa Fir’aun yang diceritakan dalam ayat ini bukan bencana massif. Sebagai raja tentu Fir’aun tidak merasakan kekurangan bahan makanan, karena dia punya gudang makanan yang cukup. Dalam skala kecil mislanya jika terjadi kemacetan panjang, yang bemacet ria tentu saja rakyat, sedangkanpenguasa dengan pengawalan petugas keamanan bisa berjalan mulus dengan mobil mewahnya.
Rakyat memang selalu jadi korban kazaliman penguasa, baik yang dilakukan oleh penguasa itu sendiri maupun oleh tangan Tuhan. Kenapa korbannya adalah kaum Fir’aun? Merekalah yang memelihara kezaliman Fir’aun. Merekalah yang memuji-muji sang Raja layaknya malaikat yang tak pernah punya salah. Bahkan ketika Fir’aun mengangkat dirinya sendiri sebagai Tuhan, rakyat Fir’aun mengamininya. Kekejaman Fir’aun pada rakyat kecil oleh kaum yang mendukungnya dianggap sebagai sikap tegas seorang pemimpin. Mereka menutup mata pada kezaliman Fir’aun. Kaum Fir’aun punya andil pada kezaliman Fir’aun.
Kenapa Tuhan tidak langsung saja menghukum Fir’aun? Berlaku ungkapan, “Lebih baik punya pemimpin yang zalim daripada Negara tidak punya pemimpin.” Jika satu Negara tidak punya pemimpin maka otomatis seluruh hukum tidakberlaku. Bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi.
Bencana tentu saja tidak memilih korbannya. Bukan hanya kaum Fir 'aun yang merana karena musim peceklik itu tapi juga kaum Nabi Musa yang minoritas kena dampaknya. Bedanya, bencana tersebut oleh kaum Fir’aun dianggap sebagai siksaan, tapi bagi kaum Nabi Musa dianggap sebagai cobaan. Walaupun mereka menentang kezaliman Fir’aun, bencana paceklik dari akibat kezaliman Fir’aun mereka anggap sebagai pelajaran.
Maka Kami kirimkan kepada mereka topan, belalang, kutu, katak-katak dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka sangat menyombongkan diri dan mereka adalah kaum pendurhaka.
( Al Qur’an, surah Al’Araf ayat 133 )
Reputasi kesombongan dan keras kepala teman-teman Fir’aun memang luar biasa. Walaupun Allah mengirimkan bencana secara sistimatis, mereka tetap setia pada pujaannya, Fir’aun. Pertama Allah mengirimkan angin topan, selama mereka masih bisa bersembunyi mereka tidak menyerah. Apalagi setelah angin topan itu banyak material berserakan yang menjadikan tanaman subur, sama dengan setelah bencana gunung merapi, tanah pertanian menjadi lebih subur.
Sebelum kaum Fir’aun memanen hasilnya Allah mengirimkan hama belalang yang menghabiskan tanaman mereka. Mereka menyerah? Tidak juga. Tanaman bukan satu-satunya makanan. Mereka masih punya ternak untuk dimakan. Lalu Allah mengirimkan kutu, virus yang membunuh binatang ternak. Menyerah ? Belum. Mereka masih bisa minum, cukuplah untuk melepas dahaga. Lalu Allah mengirimkan katak dan darah memenuhi sumur mereka. Barulah mereka menyerah.
Sebagai penganut politheisme teman-teman Fir’aun percaya pada banyak Tuhan. Masing-masing Tuhan punya tugas berbeda. Nah, ketika Tuhan mereka tak berdaya melawan Tuhan Nabi Musa, maka mereka mendatangi Nabi Musa
Dan ketika siksa itu menimpa mereka, mereka pun berkata : Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu berkat apa yang dianugerahkan padamu. Sesungguhnya jika engkau menghilangkan azab itu dari kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan pasti kami akan membiarkan Bani Isra’il pergi bersamammu. Maka setelah Kami hilangkan azab itu dari mereka hingga batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka mengingkarinya.
( Al Qur’an, surah Al ‘araf, ayat 134-135 )
Nampak sekali teman-teman Fir’aun memang tidak berniat beriman pada Tuhan Nabi Musa. Mereka telah dibutakan oleh cinta yang berlebihan pada Fir’aun sang raja. Setelah permohonan mereka melalui perantara Nabi Musa dikabulkan, dan azab telah dihilangkan, tiba-tiba mereka mengingkarinya. Kata “ tiba-tiba” menunjukan mereka memang sudah berniat mengingkarinya sejak awal.
Begitulah cinta yang berebihan pada sang pemimpin telah membutakan mata dan mata hati mereka. Walaupun sudah sangat jelas kezaliman Fir’aun, walaupun sudah jelas keperkasaan Tuhan Nabi Musa, teman-teman Fir’aun tetap menganggap Fir’aunlah raja dari segala raja. Penguasa yang bisa bikin mereka sejahtera di dunia, pemimpin yang tidak punya salah. Pemimpin yang top markotop.
15022016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H