Usai kuliah, aku langsung pulang ke kontrakan. "Astagaaa! Panas banget!" “Huuh, jadi gini rasanya efek badai matahari.” Kukeluarkan notebook, tekan tombol power lalu pasang modem. Serta-merta Yahoo Messengerku sign in otomatis. Tertera prakiraan suhu di DKI Jakarta 38°C. Hmmm, daerah pulau Jawa saja sudah 38°. Bagaimana jika bergeser ke arah tropis garis 0° khatulistiwa sejajar dengan garis edar matahari, tepatnya di 3°LS dan 114°BT, Kalimantan Selatan, Banjarmasin? Mungkin sudah mencapai 40-45°C!
"Baiklah, jadi, sekarang, apa yang harus dilakukan?" Biasanya, jika tidak ada pekerjaan mendesak, dengan bersuka-ria aku menjelajah dunia maya, menemukan apa saja yang menarik dan bisa menjadi pengetahuan. Kuintip YMku, tidak ada satu teman pun yang online.
Iseng-iseng, aku bergabung saja dengan grup, siapa tahu bisa dapat kenalan baru? "Hehe." Lalu kutekan button "Messenger" lalu "Yahoo! Chat" lalu "Gabung ke Ruangan". Tidak lama aku sudah terhubung dengan grup, pilih grup "Internasional" lalu berderetlah nama-nama kota di seluruh dunia. "Mmm, mau gabung di mana, ya? Aha, Paris!" Memang sudah dari dulu aku terobsesi dengan kota ini, selain terkenal sebagai kota romantis, Paris juga terkenal sebagai kota yang menyimpan banyak maha karya seni. Mulai dari arsitektur, peninggalan bersejarah, hingga perkembangan seni modern banyak dipelopori oleh kota ini. Benar-benar kota impian untuk dikunjungi.
Masuk di ruangan "Paris" aku cepat-cepat mengetik, "just to find new friends" untuk menghindari orang-orang yang menyalahgunakan situs-situs chat seperti ini. Tidak sampai setengah menit bermunculanlah halaman-halaman privat chat baru. Satu-persatu halaman itu kututup karena isinya biasa saja, "hi", atau "asl please", "wanna chat***". "Huek!" tidak ada yang menarik. Sampai akhirnya aku menemukan halaman yang bertuliskan, “hi, it’s nice to be your friend, could we share some interesting stuff each other?” Oke, I choose you!
Menurut intuisi pertemananku, orang ini benar-benar ingin menjalin pertemanan secara baik dan tetap pada jalan yang lurus. Catatan untuk kalian yang sering nongkrong di dunia chatting pasti mahfum dengan apa yang kumaksud.
Selanjutnya, aku mulai berkenalan. Namanya Tania Louvre dan ternyata dia seumuran denganku. Tania tinggal di Ile Saint-Louis, 10 menit dari Notre Dame de Paris, gereja bersejarah yang memiliki arsitektur gothic yang dirancang oleh Viollet-Leduc selama 23 tahun. Tania juga menceritakan betapa indahnya pemandangan di Notre Dame ketika matahari terbenam dari sungai Siene.
“So, how about you, Ira? Do you live in the capital of Indonesia?”
“Oh, no. I don’t.”
Aku ceritakan kepada Tania bahwa aku tinggal di ibu kota Kalimantan Selatan, salah satu provinsi di Indonesia. Tidak lupa aku ceritakan juga hal-hal menarik yang ada di Indonesia. Orang Indonesia yang terkenal dengan keramahannya, kekayaan alam yang melimpah, dan tempat-tempat wisata yang sering dikunjungi turis asing.
“Oh, yes, Bali. I ever hear that’s beautiful place and I’m so excited to visit it. But, you know. As we are a student, it’s hard to have a spare time.”
Ya, aku mengerti, begitu pula aku. Apalagi menjelang akhir semester ini banyak tugas akhir kuliah yang harus kuselesaikan.
***
Hari-hariku di Banjarmasin berjalan seperti biasa. Kuliah, pekerjaan rumah, dan “berseluncur” di dunia maya dengan teman baruku Tania dari negeri yang terkenal sebagai penghasil anggur terbaik dan menjadi pusat mode dunia itu. Oleh Tania, aku diperkenalkan dengan beberapa temannya yang juga berasal dari Perancis, tetapi dari daerah yang berbeda-beda.
Kami mengobrol, saling bertukar cerita dalam sebuah grup pribadi yang hanya teman-teman yang diundang yang dapat bergabung. Banyak hal menyenangkan yang kutemui. Ternyata tidak semua remaja Eropa berpikiran “brutal dan bebas” seperti adegan di film-film. Mereka mencerikan mengenai budaya sopan-santun yang diajarkan oleh keluarga mereka dari kecil, menjaga warisan leluhur, menghargai waktu, dan bekerja keras untuk mencapai kesuksesan.
Mengenai adegan di film-film tadi, mereka berkomentar kalau itu tergantung bagaimana keluarga mendidik si anak. Jika orang tua kurang memperhatikan anaknya atau anak itu berasal dari keluarga broken home, bisa saja anak itu tumbuh menjadi remaja yang hidup semaunya. “Ya, I see.” Aku pikir apa bedanya dengan remaja di Indonesia. Mereka yang hidupnya kacau memang mereka yang memilih jalan hidup yang kacau.
Lalu mereka bercerita tentang festival tahunan La Fete Nationalle atau Bastille Day yang sebentar lagi akan diadakan di Paris. Akan ada iring-iringan kemiliteran Perancis dengan pakaian yang rapi lengkap dengan topi metal berbulu dan pedang panjang, lalu kuda-kuda yang gagah akan berbaris melewati Arc the Triomphe. Sementara kata Grace, salah satu teman Tania, mengagumi siswa-siswi dari sekolah elit militer Francaise Polytechnique dan taruna dari Saint Cyr Militaru Academy yang berjalan dengan dagu terangkat, anggun, dan maskulin akan lebih menarik.
Dan momen yang paling mereka tunggu adalah Sleepless Night atau tidak tidur semalam suntuk untuk menikmati pesta kembang api di Champs Elysees. Membayangkannya membuatku ingin cepat-cepat menginjakkan kaki di sana. Karena hari sudah beranjak malam, aku berpamitan dengan teman-teman dunia maya untuk salat magrib.
***
Seperti biasa, di siang yang panas, sepulang kuliah tadi aku sempatkan untuk membeli sebotol teh bersoda dingin. “Sluuurp, ahhh!” Nikmat sekali untuk menemaniku keep in touch dengan teman-teman sesama penghuni dunia maya. YMku berbunyi. Ada pesan masuk dari Tania.
“Hi, how are you, dude?”
“Not so bad, Tania. It’s still terribly hot here.”
“Don’t you have an air conditioning?”
“I don’t, I just have a fan, poorly small fan.”
“Hahaha, you should buy that one for your room!”
“Loe pikir gampang nyari kontrakan pake AC tapi murah?! Dasar bule!”
“Ya? What the mean?”
“I mean ok, I will buy it.”
“Good. Ira, I think your name is so unique. Khumaira. What that mean?”
Kujelaskan kepadanya kalau Khumaira adalah panggilan sayang nabi pada istri beliau, Aisyah.
“The Prophet Muhammad? You are a moslem, right? Ok, ok. Actually, I disagree with Islam. About other religions, Christian, Hindu, it doesn’t matter! But, Islam? I don’t like and I can’t accept!”
Aku terkejut. Bukan karena ada seseorang di sana yang tidak suka dengan agamaku, itu sudah sering kutemui. Ini karena dari cara Tania mengungkapkannya, kalimat-kalimatnya, pilihan katanya, ada nada kebencian dari huruf-huruf yang ia kirimkan kepadaku.
“Hello? Are you there? I’m so sorry if it hurt you.”
“Oh, ya. Doesn’t matter. I think it’s a pleasure to discuss it.”
Lalu kutanyakan mengapa ia memiliki pandangan seperti itu. Katanya hal itu karena Islam memandang rendah perempuan, menganggap perempuan lemah dibanding laki-laki, tidak membolehkan perempuan menjadi pemimpin, tidak mengizinkan perempuan untuk bekerja setara dengan laki-laki, Islam memperbolehkan suami memukul istrinya, istri harus tunduk kepada suami, hanya laki-laki yang boleh memiliki istri empat, sedangkan wanita tidak.
Kalimat-kalimat Tania pendek dan cepat, grammarnya sudah tidak beraturan lagi, YMku terus berbunyi, kata-katanya terus saja menghujani dashboardku. Aku tidak sempat menulis satu kalimat pun, berpikir pun tidak. Aku hanya bisa duduk jongkok, memelototi layar, dan memegang kepalaku dengan kedua tangan.
“Ok, Tania.”
“and it’s ….”
“I need ….”
“that’s so bad …”
“Tania, I need time! I will explain about that as far as I know.”
Sejak saat itu kami lebih sering mendiskusikan hal-hal mengenai Islam. Tania mengungkapkan pendapat; aku menanggapi sesuai kapasitas pengetahuanku. Aku menjadi lebih akrab dengan buku-buku Islami. Kubaca artikel, berita, cerita, baik sejarah, maupun terkini. Selain notebook, sekarang tas kuliahku memiliki penumpang baru, “Al-Quran dan Terjemahannya”. Jika ada waktu senggang di kampus kumanfaatkan untuk bertanya dan mendiskusikannya dengan teman yang kuanggap punya pengetahuan agama yang lebih, juga dengan beberapa dosen dan guru disela-sela waktu mengajar mereka. “Merci Tania.” Dibalik keras penolakannya, tanpa ia sadari ada perhatian khusus olehnya terhadap Islam. Ia membaca, mencari tahu, mengomentari, mengkritisi, itu berarti ia peduli.
Dengan uang tabungan akhir bulan, kukirimkan sebuah buku yang ongkos pengirimannya tiga kali lipat dari harga bukunya. “Wanita Bertanya, Islam Menjawab” di bawah judul sampul dalamnya kutulis “Untuk teman Perancisku: Tania Louvre. Votre ami de I’Indonesie: Khumaira.” Agak miris juga melihat sepatu kuliah yang sudah kujadwalkan diganti bulan ini, tetapi sekali lagi kuyakinkan diriku. “Untuk dakwah! Bismillah.”
Sebenarnya buku itu ingin kukirim bersama terjemahan Perancisnya, tetapi tidak akan sempat mengerjakan itu sementara ujian akhir semester tinggal satu minggu. “Hah?! Seminggu? Tugas-tugas akhirkuuu!”
***
“Ujian akhir yang melelahkan dan memeras otak dan keringat telah berhasil kulalui dengan tegar dan tabah dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Wuhuuuw!” Status pertama yang kuupdate setelah beberapa pekan vakum dari dunia “perinternetan”. Apa kabar Tania, ya? Disamping kanan layar, ikon YM tetap tidur dengan pulasnya. “Loh?!” Beberapa kali kumasukkan “ID Yahoo!” dan “kata sandi”, tetapi selalu gagal untuk masuk. Kucoba masuk langsung melalui situs “Yahoo!”, tetap tidak berhasil. “Ono opo iki??!” Sadarlah aku bahwa ternyata akunku sudah dihack. Ingin kubanting saja rasanya notebook ini, tapi ….
***
Jalan raya di 7th Arrondissement agak lengang ketika aku menuju Underground Metro. Sesampainya di stasiun Champ de Mars, aku disuguhi pemandangan yang luar biasa. Daun yang berguguran dari rantingnya berwarna kecoklatan. Suasana musim gugur di Paris. Aku semakin bersemangat. Aku berjalan, agak cepat, berlari. Akhirnya, “Ini dia, Eiffel!”
Kulepas sarung tangan agar aku bisa menyentuhnya dengan tanganku sendiri. “Waau!” Gadis Besi yang dingin, maha karya Alexandre Gustave Eiffel setinggi 324 meter ini benar-benar menakjubkan dilihat dari bawah sini. Puas berkenalan dengan Eiffel aku berjalan-jalan di sekitar taman. Jika kalian bertanya, mengapa aku di sini? Aku akan menetap di Paris untuk mengambil gelar master di Universite Paris 1 Pantheon Sorbonne. Percaya tidak percaya, ini berkat kegemaranku menjelajah dunia maya dan akhirnya aku mendapatkan beasiswa untuk menggali ilmu di sini.
Taman ini ramai sekali oleh pengunjung. Keluarga yang berpiknik, mahasiswa yang berdiskusi, seniman jalanan yang beratraksi, turis yang asik berfoto, dan sepasang kekasih yang sedang …, ups!
Lelah berjalan aku duduk di kursi taman, kursinya terbuat dari besi sehingga dinginnya menusuk hingga ke balik celanaku. Di ujung dekat perempatan ada seorang perempuan duduk dengan setumpuk buku di sampingnya. Wajah bulenya biasa saja, tapi aku suka memandangnya karena ia juga menggunakan tutup kepala sepertiku. “Asik juga punya saudara muslim bule, haha!”
Aku menjadi terbiasa dengan suasana ini, ya memang harus terbiasa! Perempuan tadi meninggalkan kursinya, ia berjalan ke arahku dan tampak tergesa-gesa dengan ponselnya. Satu meter dariku ia tersandung dan jatuh, aku lantas menolongnya untuk berdiri.
“Are you okay?”
“Ya, thanks. I’m in a hurry.”
Kubantu ia memunguti buku-bukunya. Ada sebuah buku bersampul ungu yang judulnya tidak asing bagiku. Aku tercengang sebentar, pikiranku serta-merta membentuk alur regresi, mengingat kejadian-kejadian yang lampau. Aku menarik nafas dalam-dalam. Ku buka buku itu dan di halaman sampul dalam tertulis namaku. Air mataku mengembang, pandanganku kabur, aku langsung memeluk perempuan yang ada di depanku.
“Tania! It’s me! Ira! Khumaira.”
Qis
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI