“Ya? What the mean?”
“I mean ok, I will buy it.”
“Good. Ira, I think your name is so unique. Khumaira. What that mean?”
Kujelaskan kepadanya kalau Khumaira adalah panggilan sayang nabi pada istri beliau, Aisyah.
“The Prophet Muhammad? You are a moslem, right? Ok, ok. Actually, I disagree with Islam. About other religions, Christian, Hindu, it doesn’t matter! But, Islam? I don’t like and I can’t accept!”
Aku terkejut. Bukan karena ada seseorang di sana yang tidak suka dengan agamaku, itu sudah sering kutemui. Ini karena dari cara Tania mengungkapkannya, kalimat-kalimatnya, pilihan katanya, ada nada kebencian dari huruf-huruf yang ia kirimkan kepadaku.
“Hello? Are you there? I’m so sorry if it hurt you.”
“Oh, ya. Doesn’t matter. I think it’s a pleasure to discuss it.”
Lalu kutanyakan mengapa ia memiliki pandangan seperti itu. Katanya hal itu karena Islam memandang rendah perempuan, menganggap perempuan lemah dibanding laki-laki, tidak membolehkan perempuan menjadi pemimpin, tidak mengizinkan perempuan untuk bekerja setara dengan laki-laki, Islam memperbolehkan suami memukul istrinya, istri harus tunduk kepada suami, hanya laki-laki yang boleh memiliki istri empat, sedangkan wanita tidak.
Kalimat-kalimat Tania pendek dan cepat, grammarnya sudah tidak beraturan lagi, YMku terus berbunyi, kata-katanya terus saja menghujani dashboardku. Aku tidak sempat menulis satu kalimat pun, berpikir pun tidak. Aku hanya bisa duduk jongkok, memelototi layar, dan memegang kepalaku dengan kedua tangan.
“Ok, Tania.”