Mohon tunggu...
Khoirotul Ula
Khoirotul Ula Mohon Tunggu... -

penikmat cerita pendek dan novel...\r\ntinggal di bojonegoro\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akhirnya, Aku Tahu

20 Mei 2012   07:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:04 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Hujan mengguyur dengan derasnya, sementara aku masih tetap tergoda dengan kesenyapan tidur yang semakin asyik dengan suhu yang dingin ini. Tampak di ufuk sana fajar menyingsing menandakan subuh telah tiba, sesaat lagi pastilah datang muadzin mengumandangkan adzan subuh dengan begitu sahdunya. " Allahu Akbar Allahu Akbar" Sang muadzin berkumandang. Aku masih lelap dengan nikmatnya berlayar di pulau kapuk tanpa memperdulikan panggilan Allah, aku tidur, aku terlelap dan aku membiarkannya berlalu begitu saja. Sampai fajar sudah tidak menampakkan keindahannya dan digantikan oleh sang mentari yang siap dengan sinarnya yang menyengat bumi nan indah ini dan aku pun masih tetap tertidur.

" Icha, bangun sudah berulang kali aku peringatkan kamu kalau tidur jangan malam-malam! Jadinya kamu nggak bakalan telat Sholat Subuhnya" Kata Zahra teman satu asramaku yang sangat sabar menemaniku. " Hem...aku masih ngantuk nih " . Jawabku seraya manja padanya. " Kamu tahu kan apa konsekuensinya kalau kamu telat subuh, hari ini kita ada kuliyah pagi " Zahra mulai berceloteh. " Iya..iya neng ! aku tahu " Jawabku sambil merasa kesal terhadapnya. Terlalu.

# # #

" Nurma Icha Pratiwi" Dosen Hukum Agraria menyebut namaku, " Belum hadir pak " Jawab Akhwan, teman sekelasku. " Ini sudah jam berapa? Saya ngasih toleransi keterlambatan selama 10 menit, ini sudah lebih dari 15 menit " Kata dosenku. " Dia mungkin terkena macet atau mungkin juga tidak masuk, dia sering kali telat pak" Irna menimpali " Saya tahu itu dan justru karena itu saya ingin memperingatkan dia, saya tidak suka mahasiswa saya tidak disiplin seperti ini" Ucapnya dengan geram.

Aku telat datang ke kampus karena sering bangun kesiangan. Kebiasaan burukku ini muncul sejak aku memasuki bangku perkuliahan. Aku tak tahu semakin lama aku semakin jauh dariNya, padahal seharusnya semakin berkurang umurku semakin taatlah aku padaNya. Namun meski aku menyadari akan kekeliruanku, aku tetaplah aku yang cuek dan tak peduli dengan apapun. Menyedihkan.

Berulang kali Zahra mengingatkanku dengan segudang nasehatnya, aku tetap saja tak memperdulikannya. Padahal hanya dia satu-satunya sahabat yang menemaniku dan menerimaku apa adanya. Aku sering mengecewakannya bahkan membohonginya. Aku tak tahu kenapa aku begini ?. Aku bingung.

# # #

Sore itu tanpa sengaja aku ketemu dengan Akhwan" Assalamu alaikum Ukhti" Sapanya, " Waalaikum salam" Jawabku seraya tiada berani menatapnya. Dia adalah teman sekelasku yang paling religius. Aku sebenarnya kurang suka padanya, sebab dia sering mencampuri urusanku bahkan sampai urusan privasiku dia tahu dan selalu ikut campur. "Icha, hari ini kamu ada acara nggak?" Tanyanya" Nggak, emangnya kenapa?"Jawabku"Baguslah! dengan begitu kamu bisa ikut taushiahnya ust.Badawi sore ini" Ucapnya, " Oh aku lupa , sore ini aku ada acara Wan! Maaf ya , aku nggak bisa ikut taushiyahnya ustadz siapa tadi? Ba..." "Badawi". Selanya"Kenapa?" "Pokoknya ada deh, kamu nggak perlu tahu kok" Jawabku dengan kesal. Sebenarnya aku hanya mencari-cari alasan supaya aku terbebas dari taushiyah-taushiyah yang menurutku tak jelas itu. " Aku perlu tahu tentang jadwal kegiatanmu, kesibukanmu dan rutunitasmu" Katanya tegas, dia menatapku dengan tatapan mata yang tajam tapi lembut. " Apa maksud kamu? Memangnya kamu siapanya aku, walaupun kita teman sekelas bukan berarti kamu harus tahu semua masalah dan urusan pribadi aku!" Bentakku seraya meninggalkannya.

Dulu aku mengagumi Akhwan, tapi sejak saat itu mulai ill feel padanya. Aku benci dengan cara-caranya yang posesif, aku tak mengerti mengapa dia melakukan itu padaku. Apakah dia ingin menyadarkanku atau hanya ingin memamerkan kepandaian intelektualnya padaku yang biasa-biasa saja ini. Aku tak tahu.

# # #

Aku semakin tak menyadari akan kesalahan dan dosa-dosaku. Tiap kali ada yang memperingatkanku aku selalu mengelaknya bahkan menghujaninya dengan argumen-argumen penuh nafsuku. Aku semakin tak peduli dan kondisi keimananku yang kian hari kian menipis. Entah mengapa tiap kali adzan dikumandangkan dan Al Qur'an disenandungkan aku tetap saja acuh tak acuh terhadap ayat-ayatNya. Aku terlalu bangga dengan diriku. Tapi aku tak tahu mengapa aku bangga. Aku merasa kurang dengan yang Tuhan berikan padaku, mengapa nasibku tak sebaik saudara-saudaraku yang disayangi oleh kedua orang tuaku, apa sebabnya? Aku tak tahu.

Sejak kecil aku sudah hidup terpisah dari orang tuaku. Sekalinya aku bertemu dengan keduanya kesan dan kenangan pahitlah yang terukir. Pasangan suami istri yang katanya orang tua kandungku itu selalu membentakku bahkan selalu menyiksaku. Aku memutuskan untuk menjauhkan diri dari keduanya. Tapi aku tetap tak sanggup berpisah terlalu jauh dari keduanya atau bahkan melupakannya. Akhirnya karena tak sanggup lagi aku tinggal di rumah kakekku. Di sana aku merasakan hal yang sama pula. Sampai suatu ketika aku berniat untuk meninggalkan kakekku yang sudah tua renta itu. Untungnya hati nuraniku masih ada, aku tak tega melakukannya. Dan aku memutuskan untuk menjalani semua siksaan dan hinaan ini. Ketika kakekku meninggal, hidupku mulai sedikit membaik, tapi kedua orang tuaku datang dan meminta rumah yang aku tinggali sebagai harta warisan dari kakek. Akhirnya warisan itu jatuh ke tangan orang tuaku. Aku tak punya tempat tinggal lagi. Hidupku sebatang kara, padahal kedua orang tuaku masih ada dan berkecukupan. Aku menderita dengan penderitaan yang dibuat oleh orang yang katanya orang tua kandungku itu. Aku tak tahu mengapa itu terjadi?. Sempat terpikir olehku benarkah mereka orang tuaku? Kalau tidak siapa orang tuaku?.Aku tak tahu.

Waktu terus berjalan. Aku bertemu dengan Zahra teman yang paling baik bagiku. Aku diizinkan untuk tinggal dirumahnya dan oleh orang tuanya aku disekolahkan. Tapi itu tidaklah berlangsung lama. Kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan. Kami berdua laksana saudara yang menjalani penderitaan hidup bersama-sama. Kami memutuskan untuk tetap sekolah meski kami tak punya uang. Perjuanganku menuju kehidupan yang lebih baik membuatku tak mudah patah semangat. Aku dan Zahra saling mendukung dan menasehati satu sama lain serta belajar bersama untuk mengukir prestasi gemilang bersama. Kami sering mendapat juara kelas, meski kami tak punya namun kami tetap bersemangat dan orang-orang bangga dengan kami. Dan aku pun bangga dengan diriku.

Setelah lulus SMA, kami melanjutkan ke Perguruan Tinggi dengan tiada modal sepeserpun di tangan kami. Namun kami tetap yakin bahwa kami pasti bisa. Dan ternyata kami bisa.

Tapi itu dulu. Ketika aku tak seperti ini. Kedua orang tuaku datang menemuiku. Mereka memintaku untuk pulang. Mereka sudah cukup tua dan membutuhkan bantuan dari anak-anaknya. Tapi semua anak yang disayanginya tak ada yang mau merawatnya. Aku tak tega mendengarnya, meskipun sebenarnya aku merasa kesal untuk melakukannya. Mengapa mereka dulu tiada memperhatikanku bahkan sering menyiksaku. Ketika mereka menderita mereka baru meminta pertolonganku. Kemana saudara-saudaraku yang mereka kasihi? Dimana saudara-saudaraku yang dulu mereka bangga-banggakan?. Aku tak tahu. Padahal hidupku sendiri masih sebatang kara, aku harus banting tulang untuk menghidupi keluarga dan membiayai kuliahku sendiri.Meski aku sudah menanggung kebutuhan dan kehidupan kedua orang tuaku, mereka masih tetap saja melakukan hal yang sama terhadapku seperti ketika aku masih kecil. Mereka masih sering membentakku dan menghardikku. Aku tak mengerti mengapa aku masih terzalimi. Mungkinkah aku diciptakan untuk menderita?Ataukah aku hidup untuk jadi bulan-bulanan orang tuaku?. Aku tak tahu.

Penderitaan hidupku yang bertubi-tubi ini kujalani, aku mencoba untuk sabar. Namun kenyataannya hidupku tak juga berubah. Seakan aku tiada berhak mengenyam kasih sayang. Karena asumsiku yang buruk akan arti hidupku ini akhirnya aku melampiaskannya dengan berbuat semena-mena dengan orang lain selain kedua orang tuaku. Aku merasa penderitaan ini harus kubagikan dengan orang lain. Tak adil rasanya jika aku harus menangis sendirian di dunia ini.

Sifatku yang arogan, apatis dan angkuh membuatku dijauhi oleh teman-temanku. Namun lain halnya dengan Zahra dan Akhwan. Aku bahkan bangga dengan sikap teman-temanku yang menjauhiku, aku merasa sukses menanam benih kebencian di kelasku. Tapi aku tak mengerti dengan Zahra dan Akhwan, mengapa mereka berdua tetap setia denganku. Padahal rasanya aku sendiri sudah tak percaya dengan diriku. Rasanya setan telah banyak merasukiku. Aku tak tahu mengapa aku begini. Aku tak tahu.

# # #

Adzan maghrib berkumandang, aku bergegas pergi meninggalkan asramaku untuk segera datang ke club untuk menyanyi. Aku lakukan pekerjaan ini untuk membiayai kuliahku dan kedua orang tuaku. Pergaulan di club cukup bebas dan tak mengenal akhlak, mungkin tempat inilah yang membuatku menjadi seperti ini. Aku tak pernah menjalankan sholat lagi, aku tak pernah menyentuh ayat-ayatNya lagi bahkan menyebut asmaNya pun aku jarang. Tiap kali Zahra mengingatkanku aku selalu mencari-cari banyak alasan supaya dia tidak menghujatku.

Sebenarnya meski aku berani bekerja di club tapi sekalipun aku tak pernah merelakan diriku untuk dinikmati oleh lelaki hidung belang yang berwajah srigala sekaligus berbulu domba itu. Aku masih menghargai nilai-nilai susilaku. Tapi malam ini adalah malam yang naas bagiku. Ketika aku pulang dari club seorang lelaki berkantong tebal dengan Mercedes keluaran Jerman terbarunya datang menghampiriku dan menawariku sejumlah uang untuk menemaninya semalaman. Aku mencoba menolaknya dengan cara yang halus. Hal itu kulakukan agar aku tidak kehilangan relasiku. Tapi seolah dia memaksa dan berbuat tak sononoh terhadapku. Aku mencoba untuk bersikap lembut, tapi dia semakin kurang ajar padaku. Aku lari dia mengejarku. Akhirnya aku melemparkan sepatu hak tinggiku di mukanya. Dia semakin geram dan menyuruh anak buahnya untuk mengejarku. Aku ketakutan, aku lari menyeberangi jalan raya, sebuah mobil Kijang melaju dengan kencangnya menghantam tubuhku. Aku terlempar ke trotoar dan tak sadarkan diri. Namun aku sempat melihat Akhwan berusaha menyadarkanku dan aku tetap tak sadarkan diri.

Dia melarikanku ke rumah sakit terdekat. Tiga hari lamanya aku tak sadarkan diri. Dalam tidur setengah matiku aku menjalani sebuah perjalanan spiritual yang sangat menakjubkan.Aku merasa terbawa ke alam yang sebelumnya aku tak pernah melihatnya. Aku menjalanisiksaan yang begitu pedih di samping itu aku juga melihat orang lain merasakan kenikmatan yang begitu indah. Aku menginginkan keadaanku sama dengan mereka. Tapi aku terbelenggu dengan batas yang tak bisa aku tembus. Aku menjerit menangis dan meraung kesakitan. Akhirnya aku menyadari kesalahanku dan meminta ampun kepada Allah atas kedurhakaanku selama ini. Tapi rasanya itu semua sudah terlambat, seakan Allah tak berkehendak menerima taubatku lagi. Allah ampuni aku. Aku menjerit, meraung kesakitan. " Jangan...jangan...tidaaak!!!" Aku tersadar dari koma selama tiga hari. Akhwan menungguiku. " Akhwan, dimana aku?" "Tenang, kamu di rumah sakit, tiga hari yang lalu kamu kecelakaan dan aku membawamu ke sini." Jawabnya sambil menghiburku. Tak tahu kenapa karena ketakutanku itu tiba-tiba saja aku memeluknya, dia merasa canggung. Aku tahu dia bukan muhrimku tapi aku sudah terbiasa dengan itu. Lama sekali aku memeluknya, mungkin dia menyadari kekalutanku sehingga dia tidak melakukan protes apapun dan tidak pula menghujjahiku.

"Akhwan, maafkan aku, apakah Allah mau menerima taubat hambaNya yang sudah sangat berdosa seperti aku ini?" tanyaku sambil menangis di hadapannya." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Pasti Allah menerima taubat hambaNya yang benar-benar menyesali perbuatannya" Jawabnya sambil menatapku lembut. " Benarkah yang kau katakan itu?" Tanyaku agak tenang. " Ceritakan apa yang terjadi padaku" Pintanya" Aku hampir diperkosauntungnya aku bisa melawan tapi aku mengalami kecelakaan ini, mungkin Allah menghukumku atas kedurhakaanku selama ini. Selama aku koma aku bermimpi aku berada di antara dua tempat yang sangat kontradiktif, yang satu begitu indah, nyaman dan menyenangkan sedang yang satunya lagi menakutkan dan mengerikan penuh siksaan. Apakah itu surga dan neraka? Aku tak tahu. Dan aku berusaha untuk memasuki tempat yang indah itu namun aku tak bisa. Semuanya melarangku. Aku diseret oleh dua orang yang mengerikan wajahnya ke tempat yang penuh siksaan itu. Lalu aku menjerit dan meraung kesakiatan sampai aku tersadar" Aku menjelaskan padanya panjang lebar sambil menangis" Tenanglah, istighfar, Allah Maha Pengampun, kamu tenang dulu ya istirahatlah! Aku pergi kuliah dulu nanti Zahra yang jagain kamu" Ucapnya lalu pergi meninggalkanku.

# # #

Sejak kejadian itu hidupku berubah. Aku insyaf dan menyadari akan semua kesalahan dan dosa-dosaku. Aku sadar bahwa kesengsaraan dan penderitaan tidak harus dilampiaskan dengan balas dendam atau malah mendurhakai Allah. Akan tetapi harus dihadapi dengan sabar dan menganggapnya sebagai ujian dari Tuhan yang akan meningkatkan iman kita jikalau kita lulus dalam ujian itu. Aku memutuskan untuk berjilbab. Aku bersyukur masih ada orang yang mau memperhatikanku dan mau membantuku seperti Akhwan dan Zahra. Mereka adalah sahabat sejatiku. Alhamdulillah, aku bersyukur padaNya. Aku berharap aku selalu dalam bimbingan dan rahmatNya.

Namun yang masih menjadi sebuah pertanyaan yang besar dalam diriku dan belum bisa terjawabkan adalah perihal kedua orang tuaku yang bersikap kejam terhadapku. Aku tak tahu apa sebabnya? Secara naluri jika memang keduanya adalah kedua orang tua kandungku maka tak mungkin mereka tega melakukan hal itu padaku. Mungkinkah aku terpisahkan dari kedua orang tua kandungku sejak kecil? Ataukah aku adalah anak musuh bapakku yang dipungut untuk membalas dendam kepada orang tua kandungku sebagai pelampiasan kekesalannya? Aku tak tahu dan sampai sekarang aku tetap tak tahu. Atau mungkin saja aku anak pancingan kedua orang tuaku? Lalu jika memang semua asumsiku benar, siapakah orang tua kandungku? Siapa ibu yang mengandungku selama sembilan bulan? Siapa lelaki yang menanamkan benihnya di rahim ibuku? Siapa ? dan Siapa mereka? Aku tak tahu.

# # #

Waktu terus berlalu dan berjalan. Aku tetap bertanya-tanya tentang asal-usulku , siapakah aku?Aku belum juga menemukan jawabannya. Berbagai bukti yang otentik telah aku kumpulkan, penyelidikan aku lakukan. Namun tak ada juga indikasi yang bisa membuka rahasia ini. Aku merasa putus asa. Sampai suatu ketika seorang lelaki paruh baya datang menemuiku dan menceritakan perihal kedatangannya padaku. Dia sedang mencari anaknya yang hilang, katanya dulu dia sempat berseteru dengan seorang bernama Prawoto, nama bapakku, yang telah ditipunya. Ayahku yang katanya ayah kandungku itu ditipu oleh lelaki itu dengan dalih investasi saham, namun lelaki itu membohonginya dan melarikan uangnya ke luar negeri sampai akhirnya mereka jatuh miskin. Ketika istri lelaki itu melahirkan seseorang mencuri bayinya dari rumah sakit. Lelaki itu menduga bahwa yang mencurinya adalah Prawoto. Akan tetapi lelaki itu dan istrinya tidak menghiraukan anak yang diculiknya. Sebab dia lebih mencintai harta dan kekayaannya dari pada anaknya. Lambat laun dia dan istrinya menyadari bahwa harta tak selamanya kan membawa kebahagiaan. Kemudian dia memutuskan untuk mencari anaknya. Yaitu anak perempuannya. Aku menebak-nebak, mungkinkah yang dimaksud gadis itu adalah aku?. Ah.. tidak. Lalu dia melanjutkan ceritanya perihal perjalanan hidupnya yang sengsara pasca perilaku penghianatan yang dilakukannya. Dia merasa hidupnya tak ada berkahnya. Dia merasa tiap kali dia membuka usaha, selalu gagal. Sampai akhirnya dia menyadari akan perbuatan dosanya yang merugikan orang lain itu.

Dia menceritakan ciri-ciri anak gadis itu. Dan anehnya dia mempunyai ciri-ciri yang sama persis denganku. Ternyata asumsiku selama ini benar bahwa aku bukan anak kandung kedua orang tuaku. Tapi aku adalah anak kandung si penipu yang bercerita di hadapanku ini. Aku lunglai, lemah, aku merasa tak sanggup menerima kenyataan ini. Meskipun aku diperlakukan tidak baik oleh kedua orang tuaku, setidaknya mereka bukan penipu yang merugikan dan menyengsarakan orang. Aku tak tahu harus bagaimana. Aku tak tahu.

Prawoto, bapakku pun menceritakan yang sebenarnya bahwa dia hanya ingin membalas dendam kepada ayah kandungku agar aku merasakan penderitaan sebagaimana yang mereka rasakan yakni bernaung dalam kemiskinan. Dia pun membuka semua aib ayah kandungku dan merasa menang telah mampu membuat hidupku menderita. Sedangkan lelaki paruh baya itu menangis tak sanggup mendengarkan penderitaan yang aku rasakan. Dia meminta maaf pada Prawoto, tapi dia tak juga memaafkannya bahkan dia bersumpah akan membuat hidupku sengsara sampai mati. Astaghfirullah, batinku bergetar. Betapa penderitaan hidupku diinginkan oleh banyak orang. Aku tak tahu harus memilih siapa. Prawoto dan istrinyakah yang telah menyengsarakan hidupku tetapi mereka adalah korban kekejian ayah kaandungku? Ataukah orang tua kandungku yang telah lama tidak memperdulikanku yang merampok harta orang lain yang bukan haknya? Aku tak tahu.

# # #

Setelah lama aku memikirkannya dan aku telah mengetahui perihal hidupku sendiri akhirnya aku memutuskan untuk mendamaikan keduanya. Prawoto dan ayah kandungku sudah sama-sama jatuh miskin. Prawoto telah berjasa dalam hidupku yakni dengan membiarkanku hidup, sementara ibu dan ayah kandungku telah berjasa dalam proses kelahiranku di dunia ini. Meskipun sebenarnya aku tak pernah minta untuk dilahirkan. Aku terus berfikir dan berfikir. Akhirnya dengan berfikir aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku harus mendamaikan keduanya. Aku mendiskusikan hal ini bersama Akhwan dan Zahra. Mereka setuju dengan inisiatifku bahkan mereka menawari terobosan-terobosan baru untuk menyelesaikan masalah ini.

Alhamdulillah keduanya bisa didamaikan. Persaudaraan antara keduanya terjalin kembali. Mereka mencoba melupakan masa lalu dan berfikir jauh ke depan. Keduanya mengakui kesalahan masing-masing dan meminta maaf padaku. Aku tersenyum melihat semua itu. " Baru kali ini aku melihat senyummu selebar ini, tersenyumlah ukhti, raihlah kebahagiaanmu" kata Akhwan " Terima kasih akh, berkat akhi, aku jadi tahu arti hidup ini dan sadar akan kekeliruanku selama ini" Jawabku. Kami berdua pun tersenyum malu-malu dan saling menatap satu sama lain. Akhirnya aku pun tahu. [ ]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun